Perlukah Ikut TPP?

Kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas terus bermunculan dan berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Hari ini tercatat lebih dari 150 kesepakatan yang minimal melibatkan satu negara Asia, sementara 50-an kesepakatan lain masih dalam proses negosiasi. Di antara kesepakatan tersebut, Trans-Pacific Partnership (TPP) termasuk yang unik, salah satunya adalah karena memiliki sistem keanggotaan yang terbuka. Lanjutkan membaca “Perlukah Ikut TPP?”

Keluar dari jerat utang

Perdebatan mengenai bertambahnya beban utang Indonesia semakin memanas beberapa waktu belakangan ini, termasuk pula isu mengenai program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang didanai dari utang, yang dilontarkan Ketua BPK Anwar Nasution.
Bagi calon presiden incumbent, isu tersebut tentu saja akan menurunkan tingkat elektabilitas, sehingga membuat pemilih yang rasional akan beralih kepada calon pasangan lainnya. Sebaliknya, bagi lawan politik calon incumbent, isu ini sangat seksi untuk dijadikan alat untuk menyerang.
Tak pelak isu tersebut memaksa Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelar jumpa pers pada Minggu sore kemarin untuk membeberkan klarifikasi. Selain membantah bahwa dana BLT dibiayai dari utang, Sri juga menegaskan bahwa rasio utang Indonesia terus menurun dibanding dengan negara lain, dari 89 persen terhadap PDB menjadi 32 persen.
Ketergantungan Indonesia terhadap utang memang berkurang, namun bertambahnya jumlah utang menunjukkan jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menambah pembiayaan selain dari pinjaman. Kita juga melihat kecenderungan hobi pemerintah menerbitkan surat utang negara.
Tengok saja bertambahnya jumlah utang sebesar Rp392 triliun dari Rp1.275 triliun pada 2004 menjadi Rp1.667 triliun pada 2009. Jumlah utang itu meliputi Rp747 triliun pinjaman luar negeri dan Rp920 triliun dalam bentuk surat berharga.
Jika dirata-rata, sebagaimana disampaikan para kritikus, utang negeri ini bertambah Rp80 triliun setiap tahun, mengalahkan rata-rata penambahan utang selama 32 tahun rezim Orde Baru yang mencapai Rp600 triliun.
Yang juga sangat disayangkan, selama ini banyak sekali utang luar negeri yang tidak efektif dan tidak dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, sehingga menjadi beban pemerintah. Soal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah berkomitmen untuk mencari tahu adanya kemungkinan kerugian negara.
Siapapun yang akan menjadi pemimpin negeri ini pada periode mendatang jelas akan terbebani dengan besarnya utang itu, termasuk jika calon incumbent terpilih kembali. Maka solusi yang diusulkan berbagai kalangan salah satunya adalah agar Indonesia tidak hanya meminta penjadwalan utang, namun juga perlu mendesak penghapusan.
Usulan tersebut memang telah ditolak mentah-mentah oleh Sri Mulyani yang khawatir negeri ini akan disejajarkan dengan negara-negara miskin, sehingga berakibat pada menurunnya kepercayaan lembaga internasional. Soal ini memang masih menjadi perdebatan, di tengah upaya kita untuk lepas dari jeratan lembaga-lembaga donor multinasional.
Sebagai masyarakat kita berharap bangsa ini keluar dari jeratan utang yang selama ini telah membunuh kreativitas pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan pembangunan lainnya. Kita juga berharap pemerintah memiliki political will untuk mencari terobosan lainnya, seperti mengefektifkan belanja dan memaksimalkan pajak. Hal tersebut semestinya juga dilakukan oleh siapapun yang akan memimpin negeri ini periode mendatang.
Jangan sampai solusi gali lobang tutup lobang dengan berutang kembali dan menjual aset-aset bangsa yang dipilih sebagai jalan pintas untuk membayar utang. Lebih-lebih jika utang dipakai untuk mengongkosi pengucuran dana jaring pengaman sosial bagi masyarakat. Itu sama saja membungkam dan menyuapi masyarakat dengan utang.

Perdebatan mengenai bertambahnya beban utang Indonesia semakin memanas beberapa waktu belakangan ini, termasuk pula isu mengenai program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang didanai dari utang, yang dilontarkan Ketua BPK Anwar Nasution.

Bagi calon presiden incumbent, isu tersebut tentu saja akan menurunkan tingkat elektabilitas, sehingga membuat pemilih yang rasional akan beralih kepada calon pasangan lainnya. Sebaliknya, bagi lawan politik calon incumbent, isu ini sangat seksi untuk dijadikan alat untuk menyerang. Lanjutkan membaca “Keluar dari jerat utang”

Menunggu turunnya bunga bank

singapura-gedung-bloomberg

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya angkat bicara mendesak agar perbankan segera menurunkan suku bunga pinjaman. Sebab, selama ini respons perbankan terhadap penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia sangatlah lamban.
Lanjutkan membaca “Menunggu turunnya bunga bank”

Jangan cuma jadi macan ompong

Harga bahan bakar minyak kembali diturunkan. Kebijakan itu sangat melegakan masyarakat, terutama para pemilik kendaraan bermotor. Lebih jauh pemangkasan itu diharapkan mampu memberikan efek domino perekonomian yang lebih besar bagi masyarakat, seperti turunnya harga-harga barang. Lanjutkan membaca “Jangan cuma jadi macan ompong”

Mendesak blanket guarantee

gedung

Hingga kini pemerintah masih bersikukuh belum akan menerapkan jaminan penuh atau blanket guarantee terhadap dana deposan di perbankan. Padahal, jaminan itu diperlukan untuk mencegah larinya dana (capital flight) ke luar negeri akibat tidak adanya rasa aman dalam menyimpan uang di perbankan Tanah Air. Lanjutkan membaca “Mendesak blanket guarantee”

Sri Mulyani akan dicopot?

Sri Mulyani
Sri Mulyani

Sri Mulyani, Menteri Keuangan, termasuk keras terhadap kelompok Bakrie. Beberapa waktu lalu, Sri mendesak agar suspensi saham enam perusahaan di grup Bakrie dibuka. Dia juga menentang upaya penyelamatan bisnis Bakrie yang tengah terperosok sangat dalam oleh sejumlah BUMN. Lanjutkan membaca “Sri Mulyani akan dicopot?”

Harga Minyak Terus Turun, Baik atau Buruk?

Pengeboran minyak lepas pantai di AS
Pengeboran minyak lepas pantai di AS (ist)

Selain mengamati pergerakan pasar saham yang terus menurun, mata dunia saat ini juga menyoroti terus turunnya harga minyak dunia.

Dalam tiga bulan ini, harga emas hitam itu telah turun hingga 45 persen, dari sekira USD147 per barel pada Juli lalu. Harga minyak sempat menyentuh USD72 per barel pada Rabu 15 Oktober kemarin.

Apakah turunnya harga minyak ini pertanda bagus? Lanjutkan membaca “Harga Minyak Terus Turun, Baik atau Buruk?”

Krisis Keuangan, Belajar dari Sejarah

Bank of England
Bank of England

Krisis keuangan kembali menghantam dunia. Krisis kali ini diawali oleh kekacauan pada pasar kredit, yang meluas hingga mengacaukan stabilitas di pasas modal. Kini, tak kurang beratus-ratus miliar dolar dana talangan dikucurkan pemerintah sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan Jepang.

Krisis keuangan pernah beberapa kali menghantam perekonomian dunia. Seharusnya, krisis yang pernah terjadi sebelumnya bisa dijadikan pelajaran untuk mengatasi krisis yang terjadi saat ini.

Dikutip dari BBC, beberapa pelajaran yang bisa diambil antara lain: pertama, globalisasi telah meningkatkan frekuensi dan penyebaran krisis keuangan; kedua, intervensi sejak awal oleh bank sentral cukup efektif membatasi perluasan krisis, dibandingkan intervensi yang datang terlambat; ketiga, untuk saat ini sulit diprediksi apakah krisis akan memperluas konsekuensi dari perekonomian.

Berikut catatan krisis yang pernah terjadi, dalam hitungan mundur:

Kehancuran Bisnis Dot.Com, 2000

Selama akhir 1990-an, bursa saham dibohongi oleh pertumbuhan perusahaan internet seperti Amazon dan AOL, yang seakan-akan bakal mengantarkan dunia kepada era baru perekonomian.

Steve Case, bos AOL, saat mengumumkan pembelian Time WarnerSaham-saham perusahaan dot com melambung tinggi saat listing di bursa Nasdaq, meski kenyataannya hanya sedikit perusahaan yang menghasilkan laba.

Guncangan mencapai puncaknya ketika AOL membeli perusahaan media tradisional Time Warner seharga USD200 miliar pada Januari 2000. Namun pada Maret 2000, gelembung bisnis dot com pecah, dan membuat indeks Nasdaq jatuh hingga 78 persen pada Oktober 2002.

Krisis perekonomian terus memburuk, yang diikuti kejatuhan investasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Krisis itu semakin diperburuk oleh serangan 11 September, yang juga membuat pasar keuangan ditutup untuk beberapa waktu.
Lanjutkan membaca “Krisis Keuangan, Belajar dari Sejarah”

Menguji Ketangguhan Kapitalisme

Kapitalisme tengah mengalami ujian berat saat ini. Raksasa-raksasa keuangan satu per satu berjatuhan. Dari perusahaan pembiayaan hipotek macam Freddie Mac dan Fannie Mae, bank investasi terbesar keempat di AS Lehman Brothers, hingga raksasa asuransi American International Group (AIG).

Mantan Gubernur Bank Sentral Negeri Paman Sam Alan Greenspan menyebut, krisis yang terjadi saat ini adalah yang terburuk yang pernah dia saksikan. Krisis ini, menurut dia, akan berlangsung lama.

Bahkan, Presiden AS George W Bush, yang semula menganggap krisis ini sebagai sebuah penyesuaian kecil, akhirnya mengakui negerinya tengah menghadapi bahaya.

Hari-hari belakangan ini media massa pun tak surut memberitakan keruntuhan raksasa-raksasa keuangan Negeri Paman Sam, yang diikuti gejolak di pasar-pasar saham di belahan dunia lain. Harian Denmark Information misalnya, menulis kebangkrutan ini terjadi karena rasa percaya diri berlebihan dan spekulasi para investor. Sementara The Times di Inggris menulis, para petinggi bank investasi saat ini harus membayar mahal sikap sombong mereka, yang kerap bermain api dengan dana kliennya.
Lanjutkan membaca “Menguji Ketangguhan Kapitalisme”

Usut Intervensi Asing dalam UU Migas

Adanya intervensi asing dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas sepertinya bukan isapan jempol. Sejumlah dokumen yang diungkap dalam rapat Panitia Angket Bahan Bakar Minyak DPR pada 27 Agustus dan 4 September kemarin memperkuat dugaan itu.

Misalkan saja dokumen Program Reformasi Sektor Energi yang dipampang di situs USAID dan menyebutkan adanya bantuan senilai Rp200 miliar untuk asistensi revisi UU Migas. Juga radiogram (teletex) dari Washington berisi desakan untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan yang diinginkan Negeri Paman Sam, seperti mengkaji ulang RUU Minyak dan Gas. Ada pula laporan Bank Dunia berjudul Proyek Energi Indonesia tertanggal 17 November 2000, dengan nilai proyek sebesar USD730 juta. Lanjutkan membaca “Usut Intervensi Asing dalam UU Migas”

Mahalnya Jakarta, Beban Masyarakat & Tantangan Bisnis

Mercer Human Resource Consulting mengeluarkan laporan survei tahunan yang cukup mengejutkan. Lembaga itu menemukan fakta Jakarta sebagai kota dengan biaya hidup termahal kedua di Asia Tenggara. Bahkan, biaya hidup di Jakarta lebih mahal ketimbang di Washington DC.

Di tingkat dunia, Jakarta menempati urutan ke-82 mengalahkan kota-kota penting di kawasan Asia Tenggara seperti Ho Chi Minh di peringkat 100, Bangkok (105), Kuala Lumpur (106), dan Manila (110).

Temuan tersebut sebenarnya tidak mengherankan. Warga ibu kota sudah merasakan besarnya ongkos bulanan yang harus dikeluarkan untuk hidup di kota yang penuh kemacetan dan polusi ini.

Bagi masyarakat umum, setiap tahunnya terjadi pergeseran rata-rata nilai konsumsi rumah tangga per bulan yang cukup berarti belakangan ini. Dalam survei yang dilakukan BPS pada periode 2002-Mei 2006, perubahan nilai konsumsi di sejumlah daerah rata-ratanya mendekati 50 persen. Ini berarti anggaran yang dikeluarkan rumah tangga dari tahun ke tahun semakin besar. Angka itu belum termasuk dampak dari kenaikan BBM dan gas oleh pemerintah belum lama ini.

Sayangnya, beban hidup yang semakin besar itu tidak diiringi meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Indef menyebutkan angka kemiskinan pada 2008 berada pada posisi 15,7 persen. Angka itu masih akan meningkat pada 2009 menjadi 16,82 persen.

Selain bagi masyarakat umum, mahalnya biaya hidup tentu akan berdampak bagi investor dalam memilih lokasi berbisnis.

Michael Backman (2008) dalam bukunya Asia Future Shock menulis, Indonesia adalah tempat yang tinggi biaya untuk berbisnis. Alasan sebenarnya adalah ruwetnya mengurus segala sesuatu. Belum lagi rendahnya tingkat transparansi dalam pelayanan publik. Ironisnya lagi, banyak pihak yang berkepentingan dalam mempertahankan transparansi yang rendah ini.

Lontaran Backman itu cukup beralasan. Salah satunya terbukti pada 30 Mei lalu saat Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan sejumlah amplop berisikan uang yang diduga sebagai praktik gratifikasi di kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok. Total uang yang ditemukan senilai Rp300 Juta. KPK menduga amplop itu berasal dari para eksportir dan importir yang ingin diberi kemudahan dalam pengurusan dokumen bea dan cukai.

Laporan yang dilansir Mercer itu sesungguhnya dapat membantu para pengambil kebijakan untuk melihat betapa beratnya beban hidup yang dirasakan masyarakat. Kondisi demikian tentunya juga menjadi tantangan untuk menjadikan Indonesia, khususnya Jakarta, sebagai tempat yang menarik untuk berbisnis.

Saling Tuding Soal Minyak

Harga minyak dunia hingga kini masih saja tidak terkendali. Tidak ada yang mengetahui pasti apa faktor terkuat yang membuat harga emas hitam itu terus merangsek naik dan menyulitkan kehidupan umat manusia.

Sementara itu, para pemimpin dunia saling berdebat tentang apa penyebabnya, seperti yang terjadi dalam konferensi produsen dan konsumen minyak di Jeddah Minggu 22 Juni kemarin.

Raja Abdullah dari Arab Saudi dan negara-negara OPEC menuduh para spekulanlah yang bertanggung jawab. Sementara peserta konferensi dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat menyalahkan tingkat produksi minyak yang rendah.

Pernyataan AS dan sekutu Baratnya itu senada dengan Badan Energi Internasional (IEA), bahwa dunia butuh investasi baru tak kurang dari USD5,4 triliun menutup kekurangan pasokan minyak dunia. Sementara OPEC berpendapat, saat ini pasokan minyak dunia sudah cukup.

Yang pasti, naiknya harga minyak hingga mendekati USD140 barel per hari atau sebanyak tujuh kali lipat dibandingkan enam tahun lalu itu memberikan keuntungan bagi segelintir kelompok, terutama para spekulan kelas dunia. Para spekulan tentu juga terus menyaksikan perdebatan itu, dan terus berharap harga minyak terus naik. Spekulan membeli minyak dalam kuantitas banyak, bukan untuk kepentingan produksi, melainkan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.

Semua pihak kini saling menunggu. Negara-negara OPEC berharap harga terus naik dan tidak mau mengeluarkan produksinya untuk saat ini. Spekulan yang sudah menimbun minyak berharap harga juga terus naik. Sementara negara-negara konsumen minyak, termasuk Indonesia, hanya bisa berharap-harap cemas menunggu turunnya harga.

Merespons kondisi yang serba tidak pasti ini, penting bagi Indonesia untuk mengambil langkah yang tepat untuk jangka panjang. Terlebih, kondisi geopolitik di Timur Tengah dan pelambatan ekonomi AS juga menambah ketidakpastian itu.

Pemerintah sudah mencabut subsidi dan menaikkan harga minyak hingga mendekati 30 persen sebagai langkah pragmatis. Namun, jika harga minyak terus naik, bahkan hingga mencapai USD150 atau USD200 per barel, penggunaan bahan bakar alternatif adalah salah satu solusi yang harus dipercepat

Berharap Rejeki Nomplok Windfall Tax

Pro dan kontra mengenai kenaikan harga BBM masih panas dibicarakan di Tanah Air. Meski mendapat tekanan dari berbagai kalangan di dalam negeri, pemerintah tetap ngotot menaikkannya. Alasannya, di tengah kenaikan harga minyak dunia, kenaikan BBM penting untuk menutupi defisit di APBN.

Padahal, kenaikan harga minyak dunia seharusnya memberi rejeki nomplok bagi negara ini. Rejeki nomplok itu berupa windfall profit seperti yang diboyong negara-negara anggota OPEC dari kenaikan harga emas hitam itu. Pemerintah Indonesia seharusnya juga bisa mendapatkan windfall tax dari kontraktor minyak dan gas yang beroperasi di Indonesia.
Lanjutkan membaca “Berharap Rejeki Nomplok Windfall Tax”