Dunia kini memasuki peradaban gelombang keempat, yang disebut dengan era kreatif. Tiga gelombang sebelumnya, mengutip futurolog Alvin Toffler dalam bukunya Future Shock (1970), adalah era pertanian, era industri, dan era informasi. Adapun penggerak utama pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa pada era keempat ini adalah kreativitas dan inovasi. Kedua hal itu menjadi keniscayaan, jika sebuah bangsa ingin bersaing di tengah dinamika ekonomi dunia yang penuh guncangan. Lanjutkan membaca “Kewirausahaan dan Peradaban Kreatif”
Kategori: Ekonomi
Perlukah Ikut TPP?
Kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas terus bermunculan dan berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Hari ini tercatat lebih dari 150 kesepakatan yang minimal melibatkan satu negara Asia, sementara 50-an kesepakatan lain masih dalam proses negosiasi. Di antara kesepakatan tersebut, Trans-Pacific Partnership (TPP) termasuk yang unik, salah satunya adalah karena memiliki sistem keanggotaan yang terbuka. Lanjutkan membaca “Perlukah Ikut TPP?”
Pengaruh Global China, ACFTA, & Posisi Indonesia

Kesepakatan Perdagangan Bebas China-ASEAN (ACFTA) yang mulai berlaku Januari lalu telah membentuk sebuah blok ekonomi 1,9 miliar orang. Perjanjian yang ditandatangani pada 2002 silam ini diyakini memberikan keuntungan yang seimbang bagi negara-negara di dalamnya. Namun kenyataannya, kalangan dunia usaha di negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia, mengkhawatirkan dampak merugikan ACFTA bagi dunia industri, terutama karena banjirnya barang murah asal China. Lanjutkan membaca “Pengaruh Global China, ACFTA, & Posisi Indonesia”
Keluar dari jerat utang
Perdebatan mengenai bertambahnya beban utang Indonesia semakin memanas beberapa waktu belakangan ini, termasuk pula isu mengenai program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang didanai dari utang, yang dilontarkan Ketua BPK Anwar Nasution.
Bagi calon presiden incumbent, isu tersebut tentu saja akan menurunkan tingkat elektabilitas, sehingga membuat pemilih yang rasional akan beralih kepada calon pasangan lainnya. Sebaliknya, bagi lawan politik calon incumbent, isu ini sangat seksi untuk dijadikan alat untuk menyerang. Lanjutkan membaca “Keluar dari jerat utang”
China dan peran menghadapi krisis
Meski turut merasakan dampak hebat krisis ekonomi global, China masih optimistis dengan pertumbuhan ekonominya. Optimisme itu terlihat saat Perdana Menteri Wen Jiabao beberapa waktu lalu memastikan ekonomi Negeri Tirai Bambu masih akan tumbuh 8 persen tahun ini. Lanjutkan membaca “China dan peran menghadapi krisis”
Menunggu turunnya bunga bank

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya angkat bicara mendesak agar perbankan segera menurunkan suku bunga pinjaman. Sebab, selama ini respons perbankan terhadap penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia sangatlah lamban.
Lanjutkan membaca “Menunggu turunnya bunga bank”
Perekonomian suram di Tahun Tikus
Tahun 2008 adalah masa suram bagi perekonomian dunia. Tak ada kawasan yang luput dari krisis yang berpangkal di Amerika Serikat di tahun tikus ini. Kasus kredit perumahan berkualitas rendah (subprime mortgage) di Negeri Paman Sam telah menjadi benih krisis finansial yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Lanjutkan membaca “Perekonomian suram di Tahun Tikus”
Jangan cuma jadi macan ompong
Harga bahan bakar minyak kembali diturunkan. Kebijakan itu sangat melegakan masyarakat, terutama para pemilik kendaraan bermotor. Lebih jauh pemangkasan itu diharapkan mampu memberikan efek domino perekonomian yang lebih besar bagi masyarakat, seperti turunnya harga-harga barang. Lanjutkan membaca “Jangan cuma jadi macan ompong”
Mendesak blanket guarantee
Hingga kini pemerintah masih bersikukuh belum akan menerapkan jaminan penuh atau blanket guarantee terhadap dana deposan di perbankan. Padahal, jaminan itu diperlukan untuk mencegah larinya dana (capital flight) ke luar negeri akibat tidak adanya rasa aman dalam menyimpan uang di perbankan Tanah Air. Lanjutkan membaca “Mendesak blanket guarantee”
Turunkan harga BBM

Harga minyak dunia dalam beberapa pekan terakhir mengalami penurunan yang signifikan. Penurunan ini semestinya disambut dengan turunnya harga bahan bakar minyak (BBM), baik yang bersubsidi atau nonsubsidi. Lanjutkan membaca “Turunkan harga BBM”
Harga Minyak Terus Turun, Baik atau Buruk?

Selain mengamati pergerakan pasar saham yang terus menurun, mata dunia saat ini juga menyoroti terus turunnya harga minyak dunia.
Dalam tiga bulan ini, harga emas hitam itu telah turun hingga 45 persen, dari sekira USD147 per barel pada Juli lalu. Harga minyak sempat menyentuh USD72 per barel pada Rabu 15 Oktober kemarin.
Apakah turunnya harga minyak ini pertanda bagus? Lanjutkan membaca “Harga Minyak Terus Turun, Baik atau Buruk?”
Amerika Masih Layak Disebut Superpower?

Sejumlah institusi keuangan di Amerika Serikat berjatuhan, dan berimbas kepada stabilitas perekonomian dunia, dari Asia hingga Eropa. Kebangkrutan lembaga-lembaga keuangan itu belum berakhir, seperti diprediksi sejumlah kalangan.
Dan kini, masih layakkah Negeri Paman Sam menyandang status superpower, setelah negeri itu menjadi korban krisis keuangan?
Lanjutkan membaca “Amerika Masih Layak Disebut Superpower?”
Krisis Keuangan, Belajar dari Sejarah

Krisis keuangan kembali menghantam dunia. Krisis kali ini diawali oleh kekacauan pada pasar kredit, yang meluas hingga mengacaukan stabilitas di pasas modal. Kini, tak kurang beratus-ratus miliar dolar dana talangan dikucurkan pemerintah sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, dan Jepang.
Krisis keuangan pernah beberapa kali menghantam perekonomian dunia. Seharusnya, krisis yang pernah terjadi sebelumnya bisa dijadikan pelajaran untuk mengatasi krisis yang terjadi saat ini.
Dikutip dari BBC, beberapa pelajaran yang bisa diambil antara lain: pertama, globalisasi telah meningkatkan frekuensi dan penyebaran krisis keuangan; kedua, intervensi sejak awal oleh bank sentral cukup efektif membatasi perluasan krisis, dibandingkan intervensi yang datang terlambat; ketiga, untuk saat ini sulit diprediksi apakah krisis akan memperluas konsekuensi dari perekonomian.
Berikut catatan krisis yang pernah terjadi, dalam hitungan mundur:
Kehancuran Bisnis Dot.Com, 2000
Selama akhir 1990-an, bursa saham dibohongi oleh pertumbuhan perusahaan internet seperti Amazon dan AOL, yang seakan-akan bakal mengantarkan dunia kepada era baru perekonomian.
Saham-saham perusahaan dot com melambung tinggi saat listing di bursa Nasdaq, meski kenyataannya hanya sedikit perusahaan yang menghasilkan laba.
Guncangan mencapai puncaknya ketika AOL membeli perusahaan media tradisional Time Warner seharga USD200 miliar pada Januari 2000. Namun pada Maret 2000, gelembung bisnis dot com pecah, dan membuat indeks Nasdaq jatuh hingga 78 persen pada Oktober 2002.
Krisis perekonomian terus memburuk, yang diikuti kejatuhan investasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Krisis itu semakin diperburuk oleh serangan 11 September, yang juga membuat pasar keuangan ditutup untuk beberapa waktu.
Lanjutkan membaca “Krisis Keuangan, Belajar dari Sejarah”
Menguji Ketangguhan Kapitalisme
Kapitalisme tengah mengalami ujian berat saat ini. Raksasa-raksasa keuangan satu per satu berjatuhan. Dari perusahaan pembiayaan hipotek macam Freddie Mac dan Fannie Mae, bank investasi terbesar keempat di AS Lehman Brothers, hingga raksasa asuransi American International Group (AIG).
Mantan Gubernur Bank Sentral Negeri Paman Sam Alan Greenspan menyebut, krisis yang terjadi saat ini adalah yang terburuk yang pernah dia saksikan. Krisis ini, menurut dia, akan berlangsung lama.
Bahkan, Presiden AS George W Bush, yang semula menganggap krisis ini sebagai sebuah penyesuaian kecil, akhirnya mengakui negerinya tengah menghadapi bahaya.
Hari-hari belakangan ini media massa pun tak surut memberitakan keruntuhan raksasa-raksasa keuangan Negeri Paman Sam, yang diikuti gejolak di pasar-pasar saham di belahan dunia lain. Harian Denmark Information misalnya, menulis kebangkrutan ini terjadi karena rasa percaya diri berlebihan dan spekulasi para investor. Sementara The Times di Inggris menulis, para petinggi bank investasi saat ini harus membayar mahal sikap sombong mereka, yang kerap bermain api dengan dana kliennya.
Lanjutkan membaca “Menguji Ketangguhan Kapitalisme”
Usut Intervensi Asing dalam UU Migas
Adanya intervensi asing dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas sepertinya bukan isapan jempol. Sejumlah dokumen yang diungkap dalam rapat Panitia Angket Bahan Bakar Minyak DPR pada 27 Agustus dan 4 September kemarin memperkuat dugaan itu.
Misalkan saja dokumen Program Reformasi Sektor Energi yang dipampang di situs USAID dan menyebutkan adanya bantuan senilai Rp200 miliar untuk asistensi revisi UU Migas. Juga radiogram (teletex) dari Washington berisi desakan untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan yang diinginkan Negeri Paman Sam, seperti mengkaji ulang RUU Minyak dan Gas. Ada pula laporan Bank Dunia berjudul Proyek Energi Indonesia tertanggal 17 November 2000, dengan nilai proyek sebesar USD730 juta. Lanjutkan membaca “Usut Intervensi Asing dalam UU Migas”
Mahalnya Jakarta, Beban Masyarakat & Tantangan Bisnis
Mercer Human Resource Consulting mengeluarkan laporan survei tahunan yang cukup mengejutkan. Lembaga itu menemukan fakta Jakarta sebagai kota dengan biaya hidup termahal kedua di Asia Tenggara. Bahkan, biaya hidup di Jakarta lebih mahal ketimbang di Washington DC.
Di tingkat dunia, Jakarta menempati urutan ke-82 mengalahkan kota-kota penting di kawasan Asia Tenggara seperti Ho Chi Minh di peringkat 100, Bangkok (105), Kuala Lumpur (106), dan Manila (110).
Temuan tersebut sebenarnya tidak mengherankan. Warga ibu kota sudah merasakan besarnya ongkos bulanan yang harus dikeluarkan untuk hidup di kota yang penuh kemacetan dan polusi ini.
Bagi masyarakat umum, setiap tahunnya terjadi pergeseran rata-rata nilai konsumsi rumah tangga per bulan yang cukup berarti belakangan ini. Dalam survei yang dilakukan BPS pada periode 2002-Mei 2006, perubahan nilai konsumsi di sejumlah daerah rata-ratanya mendekati 50 persen. Ini berarti anggaran yang dikeluarkan rumah tangga dari tahun ke tahun semakin besar. Angka itu belum termasuk dampak dari kenaikan BBM dan gas oleh pemerintah belum lama ini.
Sayangnya, beban hidup yang semakin besar itu tidak diiringi meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Indef menyebutkan angka kemiskinan pada 2008 berada pada posisi 15,7 persen. Angka itu masih akan meningkat pada 2009 menjadi 16,82 persen.
Selain bagi masyarakat umum, mahalnya biaya hidup tentu akan berdampak bagi investor dalam memilih lokasi berbisnis.
Michael Backman (2008) dalam bukunya Asia Future Shock menulis, Indonesia adalah tempat yang tinggi biaya untuk berbisnis. Alasan sebenarnya adalah ruwetnya mengurus segala sesuatu. Belum lagi rendahnya tingkat transparansi dalam pelayanan publik. Ironisnya lagi, banyak pihak yang berkepentingan dalam mempertahankan transparansi yang rendah ini.
Lontaran Backman itu cukup beralasan. Salah satunya terbukti pada 30 Mei lalu saat Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan sejumlah amplop berisikan uang yang diduga sebagai praktik gratifikasi di kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok. Total uang yang ditemukan senilai Rp300 Juta. KPK menduga amplop itu berasal dari para eksportir dan importir yang ingin diberi kemudahan dalam pengurusan dokumen bea dan cukai.
Laporan yang dilansir Mercer itu sesungguhnya dapat membantu para pengambil kebijakan untuk melihat betapa beratnya beban hidup yang dirasakan masyarakat. Kondisi demikian tentunya juga menjadi tantangan untuk menjadikan Indonesia, khususnya Jakarta, sebagai tempat yang menarik untuk berbisnis.
Saling Tuding Soal Minyak
Harga minyak dunia hingga kini masih saja tidak terkendali. Tidak ada yang mengetahui pasti apa faktor terkuat yang membuat harga emas hitam itu terus merangsek naik dan menyulitkan kehidupan umat manusia.
Sementara itu, para pemimpin dunia saling berdebat tentang apa penyebabnya, seperti yang terjadi dalam konferensi produsen dan konsumen minyak di Jeddah Minggu 22 Juni kemarin.
Raja Abdullah dari Arab Saudi dan negara-negara OPEC menuduh para spekulanlah yang bertanggung jawab. Sementara peserta konferensi dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat menyalahkan tingkat produksi minyak yang rendah.
Pernyataan AS dan sekutu Baratnya itu senada dengan Badan Energi Internasional (IEA), bahwa dunia butuh investasi baru tak kurang dari USD5,4 triliun menutup kekurangan pasokan minyak dunia. Sementara OPEC berpendapat, saat ini pasokan minyak dunia sudah cukup.
Yang pasti, naiknya harga minyak hingga mendekati USD140 barel per hari atau sebanyak tujuh kali lipat dibandingkan enam tahun lalu itu memberikan keuntungan bagi segelintir kelompok, terutama para spekulan kelas dunia. Para spekulan tentu juga terus menyaksikan perdebatan itu, dan terus berharap harga minyak terus naik. Spekulan membeli minyak dalam kuantitas banyak, bukan untuk kepentingan produksi, melainkan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
Semua pihak kini saling menunggu. Negara-negara OPEC berharap harga terus naik dan tidak mau mengeluarkan produksinya untuk saat ini. Spekulan yang sudah menimbun minyak berharap harga juga terus naik. Sementara negara-negara konsumen minyak, termasuk Indonesia, hanya bisa berharap-harap cemas menunggu turunnya harga.
Merespons kondisi yang serba tidak pasti ini, penting bagi Indonesia untuk mengambil langkah yang tepat untuk jangka panjang. Terlebih, kondisi geopolitik di Timur Tengah dan pelambatan ekonomi AS juga menambah ketidakpastian itu.
Pemerintah sudah mencabut subsidi dan menaikkan harga minyak hingga mendekati 30 persen sebagai langkah pragmatis. Namun, jika harga minyak terus naik, bahkan hingga mencapai USD150 atau USD200 per barel, penggunaan bahan bakar alternatif adalah salah satu solusi yang harus dipercepat
Berharap Rejeki Nomplok Windfall Tax
Pro dan kontra mengenai kenaikan harga BBM masih panas dibicarakan di Tanah Air. Meski mendapat tekanan dari berbagai kalangan di dalam negeri, pemerintah tetap ngotot menaikkannya. Alasannya, di tengah kenaikan harga minyak dunia, kenaikan BBM penting untuk menutupi defisit di APBN.
Padahal, kenaikan harga minyak dunia seharusnya memberi rejeki nomplok bagi negara ini. Rejeki nomplok itu berupa windfall profit seperti yang diboyong negara-negara anggota OPEC dari kenaikan harga emas hitam itu. Pemerintah Indonesia seharusnya juga bisa mendapatkan windfall tax dari kontraktor minyak dan gas yang beroperasi di Indonesia.
Lanjutkan membaca “Berharap Rejeki Nomplok Windfall Tax”
Harga BBM Tak Pantas Naik!!!
Pro dan kontra mengenai kenaikan harga BBM ramai dibicarakan di Tanah Air. Meski mendapat tekanan dari berbagai kalangan di dalam negeri, pemerintah tetap ngotot menaikkannya. Alasannya, di tengah kenaikan harga minyak dunia, kenaikan BBM penting untuk menutupi defisit di APBN.
Alasan lainnya, subsidi BBM yang selama ini dikucurkan hanya dinikmati segelintir kelompok masyarakat kaya. Sehingga, mencabut subsidi dan dialihkan ke subsidi lainnya yang bersifat langsung dianggap langkah yang tepat.
Benarkah asumsi yang diajukan pemerintah itu? Tentu salah! Lanjutkan membaca “Harga BBM Tak Pantas Naik!!!”
kisruh adamair
ini ada surat dari pembaca yang dimuat di okezone.com, tentang kisruh yang terjadi di adamair. sepertinya si pengirim adalah orang dalam yang benar-benar mengerti skandal yang terjadi di maskapai itu. dia pun membenarkan langkah yang diambil bhakti investama dengan keluar dari kepemilikan di maskapai itu.
Tanggapan Atas Mundurnya Bhakti Investama dari Adam Air
Saya ingin memberikan tanggapan atas berita tentang Mundurnya Bhakti Investama, karena apa yang Anda tulis semata-mata masih terbatas pada hasil wawancara dengan pihak direksi PT AdamAir. Kalaupun Anda mewancarai pramugari itu belum mencerminkan/mewakili kondisi sebenarnya dari karyawan dan apa yang sesungguhnya terjadi.
Untuk itu perlu kiranya saya menambahkan beberapa informasi penting sebagai bahan untuk ditelusuri lebih lanjut lewat wawancara investigasi kepada orang-orang terdekat dari direksi, yang saya tahu hal ini sebenarnya amat mudah dilakukan oleh wartawan Anda.
1. MASALAH KEPEMILIKAN SAHAM BHAKTI
Kalau disimak kembali dari press release dari situs AdamAir (Posted on Dec 11 2007 at 1:51 AM), Hary Djaja, Direktur Utama Bhakti Investama menginformasikan: “Kami telah mencapai kesepakatan dengan pendiri AdamAir. 50% saham yang kami investasikan merupakan saham baru yang diterbitkan oleh AdamAir sehingga dananya akan masuk ke AdamAir”. Dari sumber yang saya peroleh dari sekretaris direksi, penjualan saham kepada Bhakti Investama, sebenarnya merupakan kemenangan pihak Adam Air yang sudah memperoleh keuntungan yang cukup besar karena hasil penjualan saham tersebut sebenarnya sudah menutup semua biaya investasi dan modal kerja yang dikeluarkan untuk mengelola Adam Air. Apalagi komposisi kepemilikan masih bisa dipertahankan 50% dengan hak pengelolaan operasional sebagain besar masih di bawah kendali keluarga Suherman.
Dana segar yang diperoleh dari pihak Bhakti selanjutnya dipakai oleh keluarga Suherman untuk mendirikan perusahaan baru (PT Greenworld, dengan pecarahan puluhan perusahan fiktif) yang bergerak di bidang Tambang Batubara, Emas, Sirkon dan Kelapa Sawit) di wilayah Kaltim, Kalteng, Kalsel, Kalbar, dan Sulawesi. Pengelolaan perusahaan baru ini juga melibatkan investor dari Hong Kong sebagai mitra barunya.
Saking kuatnya dominasi pihak keluarga Suherman, dan kelihaian mereka untuk tetap mempertahankan ketidaktransparan manajemen, sampai-sampai pihak Bhakti tidak sadar bahwa sebagian besar karyawan (orang-orang kepercayaannya) yang ada di lapangan (termasuk Manajer Distrik) dari level operator sampai managerial telah ditarik untuk membantu keluarga Suherman mengelola unit usaha baru yang bergerak di bidang Batubara dan Sawit (degan gaji dan status karyawan yang masih tercatat sebagai karyawan AdamAir). Demikian juga dengan biaya-biaya operasional proyek usaha baru tersebut masih sering dibiayai dari kas operasional AdamAir (terutama yang ada di Cabang Jakarta, Jogja, Surabaya, Banjarmasin, Pontianak, dan Ujungpandang).
Kondisi seperti ini tentu sangat merugikan PT Adam Air yang pada akhirnya tentu sudah bisa dibaca oleh pihak Bhakti Investama, sehingga tidak terlalu mengejutkan apabila Bhakti Investama pada akhirnya menarik seluruh sahamnya.
Kalaupun memang benar sinyalemen keluarga Suherman, bahwa ada skenario tersembunyi akuisisi AdamAir dimakasudkan untuk proses belajar dalam rangka persiapan pembentukan perusahaan baru “Eagle Airline”, hal ini menunjukan satu BUKTI BAHWA BHAKTI INVESTAMA BUKAN PERUSAHAAN YANG GAMPANG DIBODOHI oleh keluarga Suherman.
2. NASIB ADAMAIR
Dengan ditariknya seluruh saham Bhakti Investama, dan latar belakang dari point 1 di atas, seharusnya Bapak Adam Suherman, tidak perlu menyampaikan kekekesalannya, karana apa yang terjadi ini merupakan karma dari perbuatannya sendiri. Kewajiban untuk memikirkan kelangsungan perusahaan dan nasib 3.000 karyawan sudah secara otomatis harus menjadi tanggung jawan keluarga Suherman kembali (karena kini komposisi kepemilikan jadi 100% lagi). Kalau beliau merasa sayang dan tidak ingin AdamAir (yang dibangun dari awal) akhirnya MATI, tentu pilihannya cukup mudah, yakni TUNDA DULU PROYEK TAMBANG DAN PERKEBUNAN dan kembali konsentrasi untuk benahi dan bangun kembali AdamAir. Sebab selama ini (sejak diakuisisi pihak Bhakti) seluruh jajaran kelurga Suherman LEBIH SERING BERKANTOR DI GREENWORLD (Pluit Raya 24) dan NYARIS TIDAK LAGI PUINYA WAKTU UNTUK AKTIF NGURUS ADAM AIR, termasuk pak Adam sendiri selaku Dirut.
Sisa Dana yang saat ini masih ada di tangan keluarga Suherman (terutama dari hasil penjualan ke Bhakti Investama) rasanya masih cukup untuk membiayai kewajiban pembayaran leasing pesawat yang telah ditarik pihak lessor dan membangun kepercayaan kembali dari pihak investor lain untuk dapat menyertakan modal investasinya.
Kalau sampai pada akhirnya terpaksa harus MENUTUP operasional AdamAir (karena belum bisa segera mendapatkan investor yang mau mengakuisisi), maka seyognyanya pihak keluarga Suherman cukup bijak dengan TIDAK TERBURU-BURU MELAKUKAN PHK MASAL. Para karyawan AdamAir yang belum mendapatkan pekerjaan baru di perusahaan Airline lain, tentu bisa ditampung di PT Greenworld group.
3. MANFAATKAN MOMENTUM UNTUK PERBAIKI GAYA MANAJEMEN
Sudah bukan rahasia lagi bahwa gaya manajemen keluarga Suherman dikenal otoritas, bertangan besi dan pantang dikritik. Akibatnya budaya yang lebih berkembang adalah KARYAWAN YANG YESMEN, PENAKUT DAN TIDAK BISA MENGEMBANGKAN DIRI SECARA OPTIMAL (untuk kemampuan profesionalnya). Seluruh Jajaran Strategis lebih banyak diisi oleh KELUARGA dan TEMAN-TEMAN dari keluarga Suherman, yang pada kenyataannya kurang memiliki kemampuan profesional yang memadai di bidangnya. Namun justru lebih banyak memanfaatkan kepercayaan yang diberikan untuk KEPENTINGAN MEMPERKAYA DIRI dengan menghalalkan segala cara termasuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap bersebrangan.
Cukup banyak karyawan BERPOTENSI yang justru menjadi korban PHK dan PENGUNDURAN DIRI SECARA PAKSA, hanya karena BISIKAN/ FITNAH (dari orang-oarang kepercayaan direksi) tanpa mereka TAU APA KESALAHANNYA apalagi punya kesempatan untuk klarifikasi/membela diri. Mungkin apa yang sekarang menimpa Adam Air adalah TERKABULNYA DOA DARI MEREKA YANG TELAH TERANIAYA oleh KESEWENANG-WENANGAN dan AKAL LICIK dari orang-orang kepercayaan direksi yang sampai sekarang masih bercokol di sana.
KALAU SAJA, perusahaan ini bisa dikelola dengan gaya manajaman modern dengan jajaran karyawan profesional yang diseleksi berdasarkan kompetensi profesionalnya, tentu perusahaan ini BISA LEBIH CEPAT BERKEMBANG dan bisa jadi Bhakti Investama URUNG MIUNDUR.
Mumpung masih belum terlambat, sebaiknya pihak keluarga Suherman mau belajar dari kesalahan dengan menggunakan momentum ini untuk melakukan perbaikan gaya manajemen, termasuk seleksi ulang dengan hanya mempertahankan karyawan yang benar-benar kompeten namun juga loyal.
Demikian tanggapan saya selaku orang dalam yang sampai saat ini masih bekerja di AdamAir Group. Harapan saya informasi ini dapat ditindak lanjuti oleh pihak redaksi untuk melakukan konfirmasi langsung di lapangan.
Hormat saya,
Hendrik


