Besarnya partai politik, banyaknya anggota koalisi, dan kuatnya dukungan dana tak menjamin bakal diraihnya kemenangan. Setidaknya itu terbukti dari dua pemilihan kepala daerah terakhir, di Jawa Barat dan Sumatra Utara.
Di Jawa Barat, pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf yang diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional berhasil mengalahkan pasangan Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim yang diusung tujuh partai, salah satu di antaranya PDIP, dan juga mengalahkan calon incumbent Danny Setiawan-Iwan Sulandjana yang diusung Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Uniknya lagi, besar dana kampanye pasangan Hade diklaim hanya Rp800 juta, mengalahkan Rp60 miliar dana kampanye pasangan Aman, angka yang pernah disebutkan Ketua Tim Suses Aman, Rudy Harsa Tanaya.
Hal yang sama terjadi di Sumatra Barat. Pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho yang diusung PKS, PPP, dan sejumlah partai kecil hampir dipastikan keluar sebagai pemenang. Sebelumnya lagi, Golkar kalah di Sulawesi Selatan.
Tiga fenomena tersebut menarik untuk disimak. Sebab, Jabar, Sumut, dan Sulsel merupakan basis kuat Partai Golkar, juga PDIP. Ini jelas menjadi tamparan keras bagi dua partai itu. Tamparan lebih keras tentu dirasakan Golkar. Sebab, pemenang di Sulsel dan Sumut merupakan kader Golkar yang diusung partai lain.
Kalau boleh menyimpulkan, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kekalahan partai-partai besar dalam beberapa pilkada.
Pertama, masih mengakarnya kepemimpinan oligarkis, di mana rekrutmen calon tidak didasarkan pada seleksi yang fair dan memperhitungkan kebutuhan masyarakat. Kedua, rekrutmen lebih mengedepankan penguasaan sumber-sumber ekonomi, ketimbang mengusung kader potensial. Ketiga, ketidakmampuan partai pengusung untuk melakukan penetrasi tema perubahan secara efektif ke masyarakat pemilih.
Yang juga menarik untuk diperhatikan adalah, masih tingginya minat partai-partai politik mengajukan kandidat dari militer. Fakta ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kepercayaan partai politik untuk mengusung kandidat sipil untuk mengelola pemerintahan. Ini tentu saja menjadi ironi di tengah upaya penguatan politik sipil, pascareformasi beberapa tahun silam.
Sudah saatnya partai-partai besar berkaca, melihat kondisi yang ada di tubuhnya, sembari memperhatikan pola kelompok-kelompok yang semula tidak diperhitungkan, namun terbukti menjadi pemenang.

Sudah saatnya pastai2 besar beralih menjadi partai2 kecil yg tak berdaya.
hehehehhehe
Peace
SukaSuka