Calon Ayah

Hari ketiga berpuasa, 15 September 2007 pukul 03.00 WIB, istriku membangunkanku untuk makan sahur. Diciumnya keningku. “Mas, bangun…” katanya saat itu.

Dia lalu melangkah ke meja yang ada di kamar kami, dan mengambil sesuatu. “Alhamdulillah!!!” seruku saat dia menunjukkan test pack yang kubeli malam sebelumnya, sepulang dari kantor. Kantukku hilang seketika.

“Aku akan menjadi seorang ayah,” seruku dalam hati. Hal yang telah kunanti sejak pernikahanku 26 Mei lalu, bahkan jauh sebelumnya.

Sejak hari itu aku melarang istriku berpuasa. Istriku bukan orang yang cukup kuat fisiknya. Lagipula, hingga selama empat bulan usia kandungan, jabang bayi membutuhkan asupan gizi yang memadai untuk pembentukan fisik dan otaknya. Kebetulan pagi itu, seorang ustadzah di televisi menyarankan ibu hamil untuk tidak berpuasa.

Sepekan kemudian, 22 September, aku mengantarkan istriku ke Rumah Sakit Hasanah Graha Alfiah (HGA) Depok. Selain lebih murah dibanding RSIA Hermina, rumah sakit ini kupilih lantaran ada beberapa dokter yang cukup dikenal di Depok. Toh, HGA ternyata juga menerima keterangan seluruh biaya ditanggung perusahaan untuk pasien-pasiennya. Artinya, istriku bisa melahirkan di tempat ini dengan biaya ditanggung perusahaan tempatku bekerja. He..

Utami adalah dokter pertama yang memeriksa kandungan istriku. Dia dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, juga dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Utami masih muda, kira-kira 40 tahun, berjilbab, berkaca mata, ramah, dan tidak pelit memberi penjelasan kepada pasien.

“Janinnya sehat tuh. Tidak ada kistanya juga,” tutur Utami sambil menunjukkan layar USG. Ucapannya ini membuat kami berdua lega. Benar-benar melegakan. Maklum, semasa kuliahnya, istriku sempat mengalami persoalan hormonal, sehingga menstruasinya kacau. Blooding adalah hal yang biasa dialami sebelum terapi hormon diikutinya.

“Kira-kira usia janinnya sudah tujuh pekan kalau melihat ukurannya di USG. Kalau tepat, lahirnya tanggal 16 Mei 2008,” tambah Utami. Kami berdua kaget, ternyata sudah selama itu. Kami kira usianya masih hitungan dua atau tiga pekan. Namun, berdasar hitungan terakhir menstruasi istriku, usia janinku sudah delapan pekan. Berarti tanggal kelahirannya adalah 9 Mei 2008, atau sama dengan tanggal lahirku. Oya, istriku juga lahir di bulan ini, tanggal 27 Mei tepatnya.

Sejumlah vitamin diresepkan Utami untuk istriku. Namun salah satu vitamin yang diresepkannya justru membuat istriku mual. Vitamin itu memiliki aroma kuat yang memang membuat mual. Apalagi, tanpa vitamin itu istriku kerap mual dan muntah selama hamil.

Dua pekan kemudian kubawa kembali istriku ke HGA. Meski belum waktunya untuk kontrol, namun kekhawatiranku membuat tidak tenang. Apalagi, istriku kerap merasakan sakit di bagian bawah perutnya.

Hilman adalah dokter yang menangani istriku dalam kontrol yang kedua ini. Usianya hampir 60. Tasbih putih tergantung di lehernya. Tampilannya santai, hanya berkaus oblong. Dokter Maman, biasa pasiennya menyebut, adalah dokter kandungan yang berpengalaman dan ternama di Depok. Dia berpraktik di RSIA Hermina, juga di sebuah rumah sakit bersalin lain di kota ini. Dokter Maman cukup lama berpraktik di RSUD Pasar Rebo. Istri dia, Huda, adalah dokter anak yang juga terkenal. Setiap malam, lebih dari seratus anak menjadi pasiennya.

Dokter Maman menyarankan vitamin yang diberikan Utami diganti. “Itu memang membuat mual, tapi vitamin bagus.”

Memang, sejak vitamin itu diganti, intensitas mual istriku berkurang. Namun tidak hilang. Aku pun masih harus bolak-balik mendatangi apotek untuk membeli obat mual yang terus habis.

Kini, usia janin di kandungan istriku sekira 13 atau 14 pekan. Tanggal 9 November adalah jadwal kontrol ketiga kandungan istriku. Rasanya aku ingin waktu berjalan cepat. Aku ingin menjadi seorang ayah.