Rusia Kini, bak Elang Berkepala Dua

Usai pelantikan Dmitry Medvedev sebagai presiden Rusia, kepemimpinan Kremlin kini mencerminkan simbol negeri itu sendiri, elang berkepala dua. Lanjutkan membaca “Rusia Kini, bak Elang Berkepala Dua”

Rusia Baru di Tangan Vladimir Putin

Tidak salah jika majalah TIME akhir tahun ini menyebut Vladimir Vladimirovich Putin sebagai “Person of the Year”. Pria dengan mata berwarna biru dengan tatapan dingin ini mengalahkan popularitas Al Gore, George W.Bush dan JK Rowling. TIME menyebut Putin sebagai “Tsar of the New Russia”.

Sejumlah kalangan menilai kepemimpinan mantan agen KGB kelahiran 7 Oktober 1952 ini otoriter, tak ubahnya seperti saat Rusia masih bernama Uni Soviet di bawah kekuasaan sosialis. Putin bukan teladan yang baik untuk mewujudkan kebebasan berbicara. Tokoh-tokoh oposisi yang menjadi lawan politiknya dilumpuhkan.

Namun di balik itu semua, Rusia mengalami kemajuan yang signifikan. Perekonomian negeri Beruang Merah ini membaik, dan secara militer, Rusia kembali dipandang dunia internasional dengan obsesi Putin membentuk kutub baru berhadapan dengan Amerika Serikat.

Pertumbuhan ekonomi Rusia kini mencapai 7%, melebihi rata-rata yang pernah dicapai selama tujuh atau delapan tahun sebelumnya. Seluruh hutang negeri itu dilunasinya. Pertumbuhan pendapatan negeri ini berkisar di angka 12%, dengan sektor minyak dan gas menjadi kekuatan penopang utama.

Tak hanya pertumbuhan, pemerintah Rusia juga berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin. Maka tak heran, sejak 2001, laporan tahunan Bank Dunia soal Rusia berisikan pujian.

Di bawah kepemimpinan Putin, Rusia menjadi gudang persenjataan perusak massal terbesar di dunia dan persenjataan nuklir mematikan. Ditambah lagi kekayaan minyak di negara yang dipimpin Putin itu menduduki peringkat kedua terbesar di dunia setelah Arab Saudi. Putin juga memainkan peran penting di Timur Tengah terkait keseimbangan pengaruh Amerika Serikat (AS) dan Rusia.

Kemajuan itu seakan menutupi gaya kepemimpinan Putin yang oleh sejumlah kalangan disebut diktator. Kasus-kasus pembunuhan terhadap sejumlah tokoh dan wartawan pun tak bergaung lebih keras dibanding cerita tentang kesuksesan itu. Kasus kematian wartawan Anna Politkovskaya karena menelisik korupsi di Kremlin tidak terlalu dipersoalkan masyarakat Rusia. Begitu pula dengan kematian penulis eks anggota KGB Alexander Litvinenko.

“Sistem politik yang diterapkan Putin seperti Mafia, bukan demokrasi!” Kalimat itu dilontarkan mantan juara dunia catur Garry Kasparov yang kini menjadi tokoh oposisi utama anti-Putin. Kasparov beberapa waktu lalu dipenjara, saat memimpin unjuk rasa menentang pemerintahan Putin.

Harga Diri Rusia

Putin memiliki obesesi untuk mengembalikan harga diri Rusia. Langkah yang diambilnya untuk mencapai itu salah satunya dengan menarik Rusia dari Pakta Kekuatan Konvensional Eropa (CFE). Artinya, Rusia bisa saja menerjunkan pasukan dalam jumlah besar di dekat kawasan Eropa Barat.

CFE ditandatangani seluruh anggota NATO dan negara-negara yang terikat Pakta Warsawa pada 1990. Berdasarkan Pakta CFE, negara bersangkutan dibatasi dalam menempatkan pasukan, tank, dan perlengkapan militer lainnya di seluruh Eropa.

Keputusan ini dilakukan karena Rusia melihat kekuatan NATO terus berkembang di Rumania dan Bulgaria yang mengancam Rusia.

Sepanjang dipimpin Putin, Rusia bukanlah anak manis yang menurut apapun yang dimaui AS. Tengok saja tatkala AS berupaya menjatuhkan sanksi terhadap Iran, terkait isu nuklir. Rusia bersama China menolaknya.

Kepada AS, Putin tidak malu-malu melontarkan kecamannya. Menurut Putin, AS merupakan kekuatan sembrono yang membuat dunia menjadi lebih berbahaya akibat kebijakan perangnya. Putin juga menuduh AS telah secara liar mempertontonkan kekuatan di berbagai negara hingga memicu perlombaan senjata di tingkat global.

Keberanian Putin pantas dilontarkan. Sebab, Rusia bukan negeri yang hanya memiliki sisa-sisa keruntuhan Uni Soviet. Agustus silam, Rusia menghidupkan kembali patroli jarak jauh pesawat pengebom yang berhenti beroperasi sejak 15 tahun silam. Sebulan sesudahnya, uji coba bom non-nuklir berdaya ledak terhebat digelar. Bom yang dijuluki “ayah segala bom” ini memiliki daya ledak setara 44 ton TNT, jauh mengalahkan “ibu segala bom” milik AS yang hanya berdaya ledak 11 ton TNT.

Dua Tsar

Pada 10 Desember lalu, Putin memilih Deputi Pertama Perdana Menteri Dmitry Medvedev menjadi penggantinya setelah lengser tahun depan. Kandidat pilihan Putin ini diyakini akan memperoleh jaminan kemenangan dalam pemilihan presiden 2 Maret 2008. Medvedev merupakan pilihan sempurna bagi Putin. Ini karena dia merupakan loyalis sejati dan tidak berpotensi ancaman bagi Putin.

Tak lama setelah disebut bakal menggantikan Putin, Medvedev meminta Putin bersedia mendampinginya untuk menjadi perdana menteri. Putin pun menyatakan kesediannya. Ini menunjukkan, meski sudah tidak bisa lagi menjabat sebagai presiden, Putin masih ingin berkuasa di negeri itu.

Sejumlah surat kabar Rusia mempertanyakan bentuk struktur kekuasaan yang baru. Bagaimana seorang presiden yang kuat seperti Putin bisa berada di pos perdana menteri yang secara tradisional lemah. Hal ini dinilai mengancam stabilitas Rusia. Bahkan, harian Moskovsky Komsomolets menyebut bakal ada “dua tsar” di Rusia untuk pertama kalinya sejak abad ke 17, ketika Ivan Romanov dan adiknya Peter Romanov mengumumkan sebagai tsar di tengah persaingan politik.

Stabilitas yang Tak Kunjung Tiba di Pakistan

Di tahun 2007 ini, Pakistan bisa dibilang salah satu negara yang mengalami goncangan politik dan keamanan yang luar biasa.Sejak awal tahun, negeri ini didera sejumlah persoalan keamanan. Tak kurang sebanyak 40 kali serangan bom bunuh diri terjadi. Lebih dari 770 orang tewas, termasuk saat serangan militer ke Masjid Merah. Juga, lebih dari 100 orang tewas saat militer menyerbu kekuatan pro-Taliban.

Serangan bom bunuh diri teranyar terjadi menjelang masa kampanye pemilu. Jumat 21 Desember lalu, serangan bom bunuh diri dengan target mantan Menteri Luar Negeri Aftab Khan Sherpao menewaskan 56 orang. Pada Oktober lalu, saat mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto kembali dari pengasingan, 139 orang tewas.

Presiden Pervez Musharraf yang disponsori Amerika Serikat (AS) menuding kelompok militan Islam yang dibekingi Al Qaeda dan Taliban bertanggung jawab atas serangkaian kekerasan itu.

Serangkaian kekerasan ini jualah yang membuat Musharraf mengeluarkan beberapa kebijakan yang kontroversial pada 3 November lalu, yaitu memberlakukan keadaan darurat, membekukan konstitusi, memberedel media massa, dan memecat ketua mahkamah agung (MA) serta sejumlah hakim yang beroposisi.

Demiliterisasi

Pertarungan antara kelompok sipil dan kekuatan militer dalam perebutan kekuasaan sudah biasa terjadi di Pakistan. Pakistan merdeka pada 15 Agustus 1947, dan resmi menjadi negara republik pada 23 Maret 1956.

Militer Pakistan telah memainkan peran yang sangat berpengaruh dalam sejarah politik negeri itu. Setelah Mirza, militer berkuasa pada 1958-1971, 1977-1988, dan sejak 1999 hingga saat ini. Sepanjang itu pula, stabilitas politik belum tercipta secara mantap dan kokoh di sana. Negeri ini kerap diguncang huru-hara politik baik melalui kudeta maupun pergantian rezim penguasa yang diwarnai kekerasan berdarah.

Untuk mengakhiri kekuasaan militer ini, kelompok oposisi mendesak Musharraf mencopot seragam militernya. Benazir Bhutto ketika masih di pengasingan memperingatkan Musharraf bahwa pihaknya mungkin membentuk aliansi dengan oposisi dan mundur dari Parlemen jika Musharraf bersikeras mencalonkan diri kembali dan menolak melepas seragam militernya.

Akhirnya, tongkat komando yang digenggam Musharraf selama delapan tahun berpindah tangan ke Jenderal Ashfaq Pervez Kiani yang pernah menjabat sebagai kepala intelijen. Kesediaan melepas atribut militer ini dilakukan setelah dia mendapat kepastian diizinkan menjadi presiden untuk periode selanjutnya.

Langkah yang juga mendapat apresiasi adalah pencabutan status darurat yang telah diterapkannya selama enam pekan, pada 15 Desember lalu. Namun sayang, pencabutan ini tidak dibarengai dengan pengembalian konstitusi. Musharraf akan memulihkan konstitusi menjelang pemilu mendatang, setelah dilakukan amandemen untuk memastikan dirinya aman dari jeratan hukum.

Kini, warga Pakistan masih menanti apakah pemilu pada 8 Januari mendatang dapat membawa angina segar terwujudnya demokratisasi di Pakistan.

Seruan Demokrasi Para Biksu

Gelombang unjuk rasa besar-besaran dilakukan biksu beriringan bersama masyarakat di Myanmar pada Agustus-September lalu. Sebuah hal yang tidak biasa terjadi, semenjak unjuk rasa terbesar satu dasawarsa sebelumnya, yang berakhir dengan sikap represif pemerintahan junta militer.

Gerakan yang dimotori kaum agamawan ini turut membangkitkan solidaritas dunia. Sebab, aksi menentang otoritarianisme pemerintahan Than Shwe itu dibalas dengan gas air mata dan tembakan membabi buta ke arah para demonstran.

Ratusan biksu ditangkapi. Beberapa tewas terkena tembakan. Tak terhitung jumlah yang dianiaya. Bahkan, wartawan AFP asal Jepang, Kenji Nagai (50) tewas saat seorang tentara menembaknya dari jarak dekat.

Myanmar dulu dikenal dengan nama Burma. Perubahan nama dari Burma menjadi Myanmar dilakukan oleh pemerintahan junta militer pada 18 Juni 1989. Junta militer mengubah nama agar etnis non-Burma merasa menjadi bagian dari Negara itu.

Sejak memeroleh kemerdekaan pada 4 Januari 1948, negeri seluas 680 kilometer persegi ini tak pernah sepi dari pergolakan. Pada 1962, pemerintahan yang demokratis tumbang setelah terjadi kudeta yang dipimpin Jenderal Ne Win.

Pada 1988, kudeta kembali terjadi di bawah komando Jenderal Saw Maung. Pada 19 September di tahun yang sama, terjadi pemberontakan yang dikenal dengan pemberontakan 8888 yang disokong biksu dan rakyat. Gerakan itu disusul kemenangan Aung San Suu Kyi dari Partai Liga Nasional (NLD) yang memenangi pemilu 1990. Namun, kemenangan itu tak diakui rezim militer. Bahkan, Suu Kyi menjalani tahanan rumah hingga saat ini.

Gerakan yang dimotori para biksu tahun ini dimulai pada 28 Agustus dengan turun ke jalan di kota Sittwe. Pada 24 September jumlah demonstran mencapai puncak mencapai 100 ribu.

Fenomena gerakan massa terbesar sejak 1988 ini merupakan wujud kekecewaan yang tak tertahan lagi dan terungkap sejak 20 tahun terakhir. Alasan ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan rakyat kelas bawah bergerak melakukan perubahan. Harapannya jelas, yaitu perbaikan taraf hidup. Gerakan ini merupakan gerakan spontan karena sudah tidak bisa lagi menahan rasa kecewa dan tidak puas yang menumpuk.

Meski dianugerahi kekayaan alam melimpah seperti gas, kesejahteraan di Myanmar masih jauh panggang dari api. Dengan PDB per kapita yang hanya sebesar USD200 per tahun, Myanmar berada dalam urutan teratas daftar negara termiskin di dunia. Jeritan rakyat semakin keras tatkala junta militer menaikkan harga BBM mencapai 500 persen.

Kondisi itu sangat kontras dengan gaya hidup mewah para penguasa junta. Para anggota keluarga Jenderal Than Shwe dilaporkan bergelimang harta dan gemerlap kekayaan.

Saat Thandar Shwe, putri Than Shwe, menikah dengan Mayor Zaw Phyo Win misalnya, keluarga mempelai menjamu para tamu dengan sampanye mahal. Bahkan, ranjang pengantin mereka dikabarkan berlapis emas. Thandar Shwe pun mengenakan perhiasan mahal. Pasangan ini juga menerima hadiah pernikahan senilai USD50 juta (Rp450 miliar). Hadiah itu antara lain berupa perhiasan dan beberapa rumah.

Lemahnya Tekanan Internasional

Setelah ditekan dari segala penjuru, junta militer Myanmar mengumumkan telah membentuk komite untuk merumuskan konstitusi baru. Langkah itu diklaim sebagai lanjutan dari peta menuju demokrasi.

Namun langkah maju ini dinilai sekadar lipstik untuk meredakan tekanan internasional. Sebab, dalam panduan pembentukan konstitusi baru yang disusun komite itu masih melarang Aung San Suu Kyi untuk maju dalam pemilu. Artinya, junta militer masih ingin mencengkeramkan kekuasaannya di negeri itu. Bahkan, hingga kini belum ada tanda-tanda akan dibebaskannya Suu Kyi.

Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengirimkan utusan khusus Ibrahim Gambari ke Myanmar, namun misi diplomat itu tidak berhasil. Ajakan Gambari untuk mempertemukan tiga pihak –junta, PBB, dan Aung San Suu Kyi– ditolak. Hal ini merupakan tamparan telak bagi PBB, setelah misi serupa pada 1990 gagal.

Terlebih, Jenderal Than She kini masih memiliki daya tawar di hadapan internasional. Sebab, sejumlah negara masih sangat bergantung pada kekayaan alam Myanmar. Thailand misalnya. Sekira 20% negeri itu dihidupkan gas dari Myanmar.

China bahkan menjadi pendukung junta Myanmar, karena memiliki kepentingan strategis. Selain bakal mengeksplorasi minyak dan gas di Teluk Bengal, China sudah meneken kontrak pembangunan jaringan pipa dari Myanmar dengan menggandeng India. Itu dilakukan China untuk mengurangi ketergantungan mereka jika arus BBM melewati Selat Malaka dan Laut China Selatan, yang secara militer dikuasai Amerika Serikat.

Maka wajar saja jika draf berisi kecaman dan sanksi PBB dimentahkan China, juga Rusia. Sebab, dua negara tersebut menjadi pemasok peralatan militer utama bagi Myanmar.

Lemahnya tekanan internasional kembali terjadi tatkala KTT ASEAN gagal mengadili Myanmar atas terjadinya serangkaian pelanggaran HAM. Padahal dalam KTT yang berlangsung di Singapura pada November lalu itu ASEAN melahirkan piagam yang merupakan komitmen penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.

Kini, di saat belum terwujudnya demokrasi di Myanmar, jeritan yang disusul perlawanan para biksu dan rakyat yang lebih dahsyat bakal terjadi. Sejarah mencatat, perlawanan yang digerakkan kelompok moral dan kaum agamawan merupakan kekuatan dahsyat untuk meruntuhkan kelaliman.