resensi: intel melayu dalam perang adu pintar

intel.jpg

Judul Buku:
Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia

Judul Asli:

Intel : Inside Indonesia’s Intelligence Service

Penulis:
Ken Conboy

Penerjemah:
Danny Raharto

Penerbit:
Pustaka Primatama, Jakarta

Cetakan:
Pertama, Februari 2007

Tebal:
279 halaman

Pada malam hari di tanggal 11 September 2001, Hendropriyono kebetulan sedang berada di kantornya di lantai teratas markas BIN di Pejaten, Jakarta. Kebetulan dia tengah menyiapkan bahan presentasi kertas kerja di hadapan Direktur CIA George Tenet, berbarengan dengan rencana kunjungan Presiden Megawati pekan berikutnya ke negeri Paman Sam.

Di antara kertas kerja itu, ada laporan setebal 20 halaman berisi temuan BIN mengenai alumni Afghanistan asal Indonesia, serta kelompok Islam radikal dalam negeri, seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Di dalam laporan itu tertulis nama-nama seperi Syeh Hussein dan Umar al Faruq, yang belakangan tertangkap dan kabarnya dibawa ke sebuah ‘negara ketiga” oleh Pemerintah AS.

Penggalan cerita tersebut merupakan kisah dari kerja intelijen Indonesia dalam mengungkap jaringan terorisme yang semakin menggencarkan operasinya melalui serangkaian aksi teror dan konflik SARA di Tanah Air, sejak awal era tahun 2000-an. Kerja keras ini belakangan berbuah manis, dengan tertangkapnya anggota-anggota jaringan teroris yang secara estafet direkrut dan diyakini kuat memiliki keterkaitan dengan organisasi besutan Osama bin Laden.

Dalam buku berjudul asli Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service, Ken Conboy menceritakan perjalanan panjang badan intelijen di negeri ini, sejak dirintis oleh spymaster (kepala badan intelijen) pertama Indonesia Zulkifli Lubis.

Dengan alur yang runtut sejak masa kemerdekaan, Ken Conboy menuturkan jatuh bangun Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), hingga menemukan kebangkitannya kembali di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN).

Dalam kisah “Durna” Ken Conboy menuturkan pemanfaatan intelijen untuk perebutan kekuasaan. Saat itu Badan Pusat Intelijen (BPI) dipimpin oleh Subandrio yang dilecehkan dengan sebutan Durna, dan digambarkan sebagai penasihat raja yang penuh tipu daya dalam mitos wayang kulit Jawa. Diceritakan pula bagaimana keterlibatan Subandrio menjelang peristiwa G30S/PKI 1965, dengan munculnya ‘Dokumen Gilchrist’ yang memuat dugaan konspirasi terhadap Sukarno oleh para jenderal Angkatan Darat, termasuk keterlibatan AS dan Inggris. Dokumen ini dibantah keras oleh Panglima Angkatan Darat Achmad Yani, termasuk tuduhan adanya Dewan Jenderal.

Pada Bab Tiga “Satsus Intel”, Ken Conboy bercerita tentang pembentukan unit khusus Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) yang dibentuk dengan dana operasi dan pelatihan dari CIA. Selain CIA, dukungan operasi juga datang dari Dinas Intelijen Luar Negeri Inggris M16 dan badan intelijen Israel Mossad. Saat itu mendapatkan izin mendatangkan instruktur dari Israel bukan perkara mudah, mengingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negeri Yahudi itu. “Kita akan mendatangakan istruktur Israel karena mereka yang terbaik di dunia,” tutur pejabat Satsus Intel saat itu.

Dalam tugasnya, Satsus Intel tidak melulu melakukan kerja-kerja kontra intelijen, khususnya menghadapi mata-mata dari negeri-negeri komunis yang sempat berkeliaran di Tanah Air. Kisah-kisah ini dibeberkan Ken dalam “Atraksi Sampingan”.

Yang teraktual dari buku ini, Ken mencoba membeberkan keterlibatan mata-mata BIN untuk mengurai jaringan terorisme yang dilakukan kelompok militan, berikut jaringannya yang tersebar di Asia Tenggara, Pakistan, hingga Timur Tengah. Dalam bab “Faruq” Ken membeberkan kerja-kerja Tim Alfa yang akhirnya berhasil mengungkap sepak terjang warga Kuwait Umar Faruq dan membekuknya di sebuah masjid di Bogor, Jawa Barat.

Berbekal pengalamannya melakukan penelitian dan pengamatan seputar operasi militer di Asia serta operasi-operasi intelijen, Ken berhasil menembus sumber-sumber aktif maupun mantan pejabat di intelijen. Karya Ken ini juga ditulis berdasarkan sumber-sumber di media massa, dan juga berkas-berkas rahasia yang karena perjalanan waktu sudah bisa diungkap.

Meski sebagai orang awam tentunya akan sulit membuktikan apakah sumber-sumber yang digunakan Ken adalah faktual, namun setidaknya buku ini bisa memberikan gambaran mengenai kisah intel Melayu dalam perang adu pintar di dunia spionase.

Buku ini cukup memberikan informasi dan beberan di tengah minimnya dokumentasi mengenai sepak terjang organisasi intelijen di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

(dimuat di okezone.com beberapa tahun lalu)