Ketika angin timur dan angin barat bertemu

angin-timur-angin-barat-koverJudul Asli:
East Wind: West Wind (Terbit tahun 1930)

Judul Terjemahan:

Angin Timur: Angin Barat

Penerbit:
PT Gramedia

Cetakan Pertama:
Februari 2009

Halaman:
240 halaman

ISBN-10:
979-22-4388-0

Kwei-lan adalah seorang perempuan yang hidup dalam tradisi masyarakat China yang kuat. Selama beratus-ratus tahun, leluhurnya yang hidup di kota kuno Kerajaan Tengah atau China, tidak ada yang berpikiran moderen atau berpikiran untuk mengubah dirinya. Lanjutkan membaca “Ketika angin timur dan angin barat bertemu”

Catatan perjalanan di negeri yang menghilang

jalan-jalan-di-palestinaArogansi Israel adalah penderitaan panjang bagi rakyat Palestina, yang negerinya dirampas dari bawah kaki mereka. Ambisi kaum Yahudi untuk menguasai tanah yang konon dijanjikan Tuhan, menjadikan masyarakat Palestina sebagai manusia terisolir, yang diburu, bahkan diperlakukan bak binatang.

Teranyar, arogansi itu dipertontonkan ke hadapan dunia melalui agresi keji terhadap penduduk sipil di Gaza pada akhir Desember 2008 hingga awal tahun 2009 ini. Ironisnya, penghinaan terhadap harkat kemanusiaan yang sudah berlangsung selama lebih dari setengah abad itu tak ada yang bisa mencegahnya.

Konflik berkepanjangan yang terjadi di Palestina tak lepas dari pencaplokan besar-besaran tanah oleh Israel. Ini pun tak lepas dari janji Inggris untuk memberikan bangsa Yahudi negara di tanah Palestina. Inilah awalnya memicu terjadinya tragedi kemanusiaan tak berkesudahan. Awalnya, hanya 5 persen wilayah Palestina yang diduduki oleh Yahudi. Namun, kini lebih dari 80 persen tanah Palestina telah dirampas Israel.

Dahulu, bukit-bukit di sekeliling Ramallah adalah taman yang luas dan subur, dengan sebuah rumah di dekat setiap mata air. Daerah itu adalah negeri dengan perbukitan hijau yang ditumbuhi pohon zaitun dan pinus, juga berbagai macam jenis bebungaan yang tumbuh di setiap pergantian musim. Pohon-pohon zaitun tumbuh berbaris di lereng-lereng dan tanaman anggur menjalar menutupi dinding teras-teras.

Namun itu cerita lama. Pada 1978, ketika Raja Shehadeh, seorang pengacara pulang ke Ramallah di Tepi Barat, setelah menuntut ilmu di London, semua keindahan itu nyaris tinggal cerita. Tak ada lagi penduduk yang bercocok tanam atau membangun qasr (kastil untuk menyimpan hasil bumi) di bukit-bukit itu, seperti yang dituturkan Shehadeh dalam bukunya, Jalan-Jalan di Palestina: Catatan atas Negeri yang Menghilang. Semuanya telah dirusak oleh membabibutanya pembangunan permukiman bangsa Yahudi. Lanjutkan membaca “Catatan perjalanan di negeri yang menghilang”

Membaca Masyarakat dalam Metafor Kebutaan

Sebuah kota tanpa nama tiba-tiba dilanda epidemi kebutaan massal. Tak pandang status. Seorang pelacur, pencuri mobil, polisi, bocah bermata juling, apoteker, bahkan seorang dokter mata. Buta yang putih, seperti lautan susu. Lanjutkan membaca “Membaca Masyarakat dalam Metafor Kebutaan”

resensi: rahasia otak kaum hawa

female brain

Selama bertahun-tahun kalangan medis menyimpulkan problem kegairahan kaum perempuan ditentukan oleh aliran darah ke area klitoris, sama halnya seperti kaum lelaki dengan teori hidrolika dasar dalam gairah laki-laki, yang ditentukan banyaknya darah yang mengalir ke penis.

Asumsi ini tidak terbukti benar. Kenyataannya, perusahaan sekelas Pfizer menghentikan produksi Viagra merah muda untuk perempuan pada tahun 2004, karena ternyata upaya ini ternyata tidak pernah berhasil. Lantas, stimulus apa yang bisa mempengaruhi gairah seksual kaum Hawa?

Jawabannya otak! Louann Brizendine dalam buku Female Brain mengatakan otak perempuan bukanlah versi kecil dari otak laki-laki. Klitoris pun bukan penis kecil, sehingga perlakuannya mesti disamakan.

Buku ini bukanlah panduan seks bagi kaum perempuan. Seks hanyalah bagian dari penjelasan yang diberikan Brizendine, yang sangat detil memberikan gambaran mengenai perempuan.

Penjelasan Brizendine dalam buku ini akan membuat kita manggut-manggut, bahwa sebenarnya perempuan adalah ciptaan Tuhan yang unik, yang dalam banyak hal berbeda dengan laki-laki.

Brizendine membantah banyak teori, seperti yang dikemukakan pakar psikoanalisa Sigmund Freud ataupun Carl Gustav Jung, bahwa faktor penyebab perbedaan gender ada di dalam naluri (insting) yang berada di alam ketidaksadaran manusia. Freud menamakannya faktor ‘edipoesa’ untuk sifat-sifat maskulin, dan ‘electra’ untuk sifat feminim.

Lontaran para psikoanalis itu hingga kini memang masih mengundang kontroversi. Brizendine pun mengakui, saat menulis buku ini dirinya terjebak pada dua pikiran, antara kebenaran ilmiah, atau kepatutan politis yang sudah berkembang di masyarakat.

Pilihan untuk mengedepankan kebenaran ilmiah dengan menulis buku ini sangat tepat. Uraian di buku ini membuat pikiran kita akan terbuka, karena Brizendine bercerita lebih lanjut dan sangat terperinci mengenai pengaruh otak perempuan terhadap kecerdasannya, emosi, karir, pengasuhan anak, hingga kehidupan seksualnya.

Berbeda dengan buku-buku kebanyakan yang ditulis dengan kata-kata yang sangat teknis, pakar neuropsikiatri (saraf-jiwa) ini memberikan penjelasan dengan bahasa yang sangat mudah dipahami, oleh awam sekalipun. Uraian dalam buku ini ditulis berdasarkan pengalaman klinis selama 20 tahun.

Di bab awal “Lahirnya Otak Perempuan” misalnya, contoh-contoh yang diberikan akan mengingatkan kita akan masa kecil, atau tentang si kecil buah hati kita. Kita semua mafhum anak laki-laki berperangai berbeda dengan perempuan. Namun yang belum diberitahukan budaya kepada masyarakat adalah bahwa otaklah mendikte perilaku yang berbeda ini (halaman 28).

Dengan buku ini Brizendine ingin membantu kaum hawa menghadapi berbagai perubahan dalam hidup. Jika perempuan dapat memahami bagaimana hidup dipengaruhi oleh fenomena kimiawi otak, maka perempuan akan dapat melihat jalan yang membentang di hadapannya dengan lebih baik.

Buku ini patut dibaca oleh perempuan untuk memahami dirinya sendiri, untuk ibu dan ayah dalam memahami putrinya, untuk suami agar bisa mengerti istrinya, untuk laki-laki dalam mengenali teman, kekasih, ataupun rekan kerja perempuannya.

(dimuat di okezone.com tahun lalu)

resensi: intel melayu dalam perang adu pintar

intel.jpg

Judul Buku:
Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia

Judul Asli:

Intel : Inside Indonesia’s Intelligence Service

Penulis:
Ken Conboy

Penerjemah:
Danny Raharto

Penerbit:
Pustaka Primatama, Jakarta

Cetakan:
Pertama, Februari 2007

Tebal:
279 halaman

Pada malam hari di tanggal 11 September 2001, Hendropriyono kebetulan sedang berada di kantornya di lantai teratas markas BIN di Pejaten, Jakarta. Kebetulan dia tengah menyiapkan bahan presentasi kertas kerja di hadapan Direktur CIA George Tenet, berbarengan dengan rencana kunjungan Presiden Megawati pekan berikutnya ke negeri Paman Sam.

Di antara kertas kerja itu, ada laporan setebal 20 halaman berisi temuan BIN mengenai alumni Afghanistan asal Indonesia, serta kelompok Islam radikal dalam negeri, seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Di dalam laporan itu tertulis nama-nama seperi Syeh Hussein dan Umar al Faruq, yang belakangan tertangkap dan kabarnya dibawa ke sebuah ‘negara ketiga” oleh Pemerintah AS.

Penggalan cerita tersebut merupakan kisah dari kerja intelijen Indonesia dalam mengungkap jaringan terorisme yang semakin menggencarkan operasinya melalui serangkaian aksi teror dan konflik SARA di Tanah Air, sejak awal era tahun 2000-an. Kerja keras ini belakangan berbuah manis, dengan tertangkapnya anggota-anggota jaringan teroris yang secara estafet direkrut dan diyakini kuat memiliki keterkaitan dengan organisasi besutan Osama bin Laden.

Dalam buku berjudul asli Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service, Ken Conboy menceritakan perjalanan panjang badan intelijen di negeri ini, sejak dirintis oleh spymaster (kepala badan intelijen) pertama Indonesia Zulkifli Lubis.

Dengan alur yang runtut sejak masa kemerdekaan, Ken Conboy menuturkan jatuh bangun Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), hingga menemukan kebangkitannya kembali di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN).

Dalam kisah “Durna” Ken Conboy menuturkan pemanfaatan intelijen untuk perebutan kekuasaan. Saat itu Badan Pusat Intelijen (BPI) dipimpin oleh Subandrio yang dilecehkan dengan sebutan Durna, dan digambarkan sebagai penasihat raja yang penuh tipu daya dalam mitos wayang kulit Jawa. Diceritakan pula bagaimana keterlibatan Subandrio menjelang peristiwa G30S/PKI 1965, dengan munculnya ‘Dokumen Gilchrist’ yang memuat dugaan konspirasi terhadap Sukarno oleh para jenderal Angkatan Darat, termasuk keterlibatan AS dan Inggris. Dokumen ini dibantah keras oleh Panglima Angkatan Darat Achmad Yani, termasuk tuduhan adanya Dewan Jenderal.

Pada Bab Tiga “Satsus Intel”, Ken Conboy bercerita tentang pembentukan unit khusus Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) yang dibentuk dengan dana operasi dan pelatihan dari CIA. Selain CIA, dukungan operasi juga datang dari Dinas Intelijen Luar Negeri Inggris M16 dan badan intelijen Israel Mossad. Saat itu mendapatkan izin mendatangkan instruktur dari Israel bukan perkara mudah, mengingat Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negeri Yahudi itu. “Kita akan mendatangakan istruktur Israel karena mereka yang terbaik di dunia,” tutur pejabat Satsus Intel saat itu.

Dalam tugasnya, Satsus Intel tidak melulu melakukan kerja-kerja kontra intelijen, khususnya menghadapi mata-mata dari negeri-negeri komunis yang sempat berkeliaran di Tanah Air. Kisah-kisah ini dibeberkan Ken dalam “Atraksi Sampingan”.

Yang teraktual dari buku ini, Ken mencoba membeberkan keterlibatan mata-mata BIN untuk mengurai jaringan terorisme yang dilakukan kelompok militan, berikut jaringannya yang tersebar di Asia Tenggara, Pakistan, hingga Timur Tengah. Dalam bab “Faruq” Ken membeberkan kerja-kerja Tim Alfa yang akhirnya berhasil mengungkap sepak terjang warga Kuwait Umar Faruq dan membekuknya di sebuah masjid di Bogor, Jawa Barat.

Berbekal pengalamannya melakukan penelitian dan pengamatan seputar operasi militer di Asia serta operasi-operasi intelijen, Ken berhasil menembus sumber-sumber aktif maupun mantan pejabat di intelijen. Karya Ken ini juga ditulis berdasarkan sumber-sumber di media massa, dan juga berkas-berkas rahasia yang karena perjalanan waktu sudah bisa diungkap.

Meski sebagai orang awam tentunya akan sulit membuktikan apakah sumber-sumber yang digunakan Ken adalah faktual, namun setidaknya buku ini bisa memberikan gambaran mengenai kisah intel Melayu dalam perang adu pintar di dunia spionase.

Buku ini cukup memberikan informasi dan beberan di tengah minimnya dokumentasi mengenai sepak terjang organisasi intelijen di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

(dimuat di okezone.com beberapa tahun lalu)