Mengingat Batam di akhir ‘80an

Masa lalu hanya bisa kita datangi lewat kenangan di alam pikiran. Lewat kilasan-kilasan memori yang melintas di kepala, sekaligus merasakannya dalam sanubari atau perasaan batin yang masih tersisa tentang ingatan itu.

Lanjutkan membaca “Mengingat Batam di akhir ‘80an”

Pondokku

Ini dua video profile Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam di Pabelan, Surakarta, Jawa Tengah. Enam tahun lamanya aku sempat nyantri di sini: menuntut ilmu, belajar mengaji, dan menjalin persaudaraan.

Sudah sekitar empat tahun aku tidak mengunjungi pondok yang konon pernah disebut harian Kompas sebagai salah satu sekolah terbaik di Jawa Tengah ini, selain SMU Taruna Nusantara di Magelang. Sampai akhirnya hari ini, Selasa 3 Februari 2009, secara tak sengaja kutemukan video ini di situs video sharing YouTube.

Melihat video ini membuatku seakan berada kembali di dalamnya. Merasakan kembali beraktivitas sejak sebelum adzan subuh berkumandang, hingga menjelang tidur selepas belajar malam di kelas atau di masjid pukul sepuluh malam. Mengingat kembali setiap sudut ruangan yang pernah kusandari, atau menyapa kawan-kawan lama lewat ingatan.

Ayahku sengaja memilih Assalaam sebagai tempatku menempa diri, atas rekomendasi kawannya semasa di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Berat rasanya ketika itu berpisah dari kedua orangtua dan saudara, sementara saat itu aku belum pula akil baligh.

15 Juli 1993, pertama kali aku mulai resmi menjadi santri di pondok ini, dan perjalanan berakhir pada 9 Mei 1999, tepat di hari ulang tahunku.

Kangen Puan

Kangen Puan
Aku menggendong Puan, beberapa saat setelah dia dilahirkan...

Pulang bekerja adalah hal yang menyenangkan buatku. Maklum, jam kerjaku bisa dibilang cukup panjang, jika dibandingkan dengan menjadi pegawai negeri. Pulang pukul delapan malam terhitung cepat. Dan jika sudah tidak ada yang dikerjakan, pada pukul itulah aku pulang. Teman-teman di kantor, terutama yang masih bujang, bahkan pulang lebih larut. Lanjutkan membaca “Kangen Puan”

Puan Manika Nur Azalia

Sampai sekarang aku belum mendapatkan nama yang pasti untuk calon bayi perempuanku. Masih terjadi sedikit perbedaan keinginan antara aku dengan istriku.

Dari beberapa pilihan nama yang muncul, nama yang kini sama-sama diterima kami berdua adalah: “Puan Manika Nur Azalia”. Lanjutkan membaca “Puan Manika Nur Azalia”

Dua Jumat

Dua salat Jumat terakhir yang kujalani, memberi kesan berbekas. Dalam dua pekan ini, jadwal di kantor memang memungkinkanku untuk salat di masjid Al Ikhlas, di dekat rumah. Masjid ini sudah berdiri semenjak saya masih kecil, dan di masjid inilah saya mendapatkan banyak pengetahuan dasar tentang Islam, semenjak sebelum saya nyantri di pondok pesantren.
Lanjutkan membaca “Dua Jumat”

AKU dan 111001

ini puisi-puisi-an yang pernah kubuat untuk istriku –ketika masih berpacaran– hehe…

————————

AKU dan 111001


Aku menemukan banyak titik terang, pun yang gelap;
di banyak tempat yang kusinggahi..

Aku menyadari hidup adalah dua sisi kenisbian;
tidak dikotomis, saling melengkapi, saling beroposisi.

Ya, hidup adalah seperti angka binari..
1 untuk maskulinitas, 0 untuk sebaliknya..
1 tidak mengungguli, namun 0 adalah asal kehidupan.
Aku menyebutnya binari kehidupan.

Dan aku telah memiliki angka binariku..

111001… Sebuah awal! Untuk keabadian..

Hanya aku, dia, dan tentu Dia saja yang tahu..

Aku slalu ingin bersama mereka; saat ini,
dan dalam dimensi yang lain, nanti…

Nama Bayi

Memilih nama untuk bayi memang gampang-gampang susah. Kalau William Shakespeare mengatakan apalah arti sebuah nama, sebaliknya, bagiku sangat penting. Nama adalah doa. Nama adalah harapan orangtua kepada anaknya.

Bagaimana kriteria nama yang ideal? Yang pasti, tersusun menjadi kalimat yang indah, memiliki makna, mudah diingat, dan mudah diucapkan.

Istriku menginginkan anak pertama kami yang insya Allah akan lahir Mei nanti diberi nama dengan nama-nama Jawa.

“Mas, aku ingin namanya ada ‘Puan’ atau ‘Gemintang’-nya,” usul istriku untuk nama calon anak perempuan kami itu.

Saran yang bagus, menurutku. Tapi, aku pun punya keinginan yang berbeda. Aku ingin memakai nama ‘Adawiyah’ di belakang namanya. Nama ‘Adawiyah’ kuambil dari Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang terkenal dengan syairnya “Ketaatan sejati adalah demi ketaatan itu sendiri, bukan karena mengharap surga atau takut pada neraka”.

Atau, aku juga ingin ada nama Arundhati –diambil dari Arundhati Roy–, seorang novelis feminis asal India. Arundhati dikenal dengan novelnya “God of Small Things”, meski dia dikecam karena adanya adegan vulgal dalam novelnya.

Hmmm… Pilihan yang tidak mudah. Aku dan istriku sampai kini masih memutar kepala mencari nama yang baik untuk anak kami.

“Bagaimana kalau Ken Dedes?” selorohku menyebut nama istri Ken Arok, Raja Singosari itu.

Calon Ayah

Hari ketiga berpuasa, 15 September 2007 pukul 03.00 WIB, istriku membangunkanku untuk makan sahur. Diciumnya keningku. “Mas, bangun…” katanya saat itu.

Dia lalu melangkah ke meja yang ada di kamar kami, dan mengambil sesuatu. “Alhamdulillah!!!” seruku saat dia menunjukkan test pack yang kubeli malam sebelumnya, sepulang dari kantor. Kantukku hilang seketika.

“Aku akan menjadi seorang ayah,” seruku dalam hati. Hal yang telah kunanti sejak pernikahanku 26 Mei lalu, bahkan jauh sebelumnya.

Sejak hari itu aku melarang istriku berpuasa. Istriku bukan orang yang cukup kuat fisiknya. Lagipula, hingga selama empat bulan usia kandungan, jabang bayi membutuhkan asupan gizi yang memadai untuk pembentukan fisik dan otaknya. Kebetulan pagi itu, seorang ustadzah di televisi menyarankan ibu hamil untuk tidak berpuasa.

Sepekan kemudian, 22 September, aku mengantarkan istriku ke Rumah Sakit Hasanah Graha Alfiah (HGA) Depok. Selain lebih murah dibanding RSIA Hermina, rumah sakit ini kupilih lantaran ada beberapa dokter yang cukup dikenal di Depok. Toh, HGA ternyata juga menerima keterangan seluruh biaya ditanggung perusahaan untuk pasien-pasiennya. Artinya, istriku bisa melahirkan di tempat ini dengan biaya ditanggung perusahaan tempatku bekerja. He..

Utami adalah dokter pertama yang memeriksa kandungan istriku. Dia dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, juga dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Utami masih muda, kira-kira 40 tahun, berjilbab, berkaca mata, ramah, dan tidak pelit memberi penjelasan kepada pasien.

“Janinnya sehat tuh. Tidak ada kistanya juga,” tutur Utami sambil menunjukkan layar USG. Ucapannya ini membuat kami berdua lega. Benar-benar melegakan. Maklum, semasa kuliahnya, istriku sempat mengalami persoalan hormonal, sehingga menstruasinya kacau. Blooding adalah hal yang biasa dialami sebelum terapi hormon diikutinya.

“Kira-kira usia janinnya sudah tujuh pekan kalau melihat ukurannya di USG. Kalau tepat, lahirnya tanggal 16 Mei 2008,” tambah Utami. Kami berdua kaget, ternyata sudah selama itu. Kami kira usianya masih hitungan dua atau tiga pekan. Namun, berdasar hitungan terakhir menstruasi istriku, usia janinku sudah delapan pekan. Berarti tanggal kelahirannya adalah 9 Mei 2008, atau sama dengan tanggal lahirku. Oya, istriku juga lahir di bulan ini, tanggal 27 Mei tepatnya.

Sejumlah vitamin diresepkan Utami untuk istriku. Namun salah satu vitamin yang diresepkannya justru membuat istriku mual. Vitamin itu memiliki aroma kuat yang memang membuat mual. Apalagi, tanpa vitamin itu istriku kerap mual dan muntah selama hamil.

Dua pekan kemudian kubawa kembali istriku ke HGA. Meski belum waktunya untuk kontrol, namun kekhawatiranku membuat tidak tenang. Apalagi, istriku kerap merasakan sakit di bagian bawah perutnya.

Hilman adalah dokter yang menangani istriku dalam kontrol yang kedua ini. Usianya hampir 60. Tasbih putih tergantung di lehernya. Tampilannya santai, hanya berkaus oblong. Dokter Maman, biasa pasiennya menyebut, adalah dokter kandungan yang berpengalaman dan ternama di Depok. Dia berpraktik di RSIA Hermina, juga di sebuah rumah sakit bersalin lain di kota ini. Dokter Maman cukup lama berpraktik di RSUD Pasar Rebo. Istri dia, Huda, adalah dokter anak yang juga terkenal. Setiap malam, lebih dari seratus anak menjadi pasiennya.

Dokter Maman menyarankan vitamin yang diberikan Utami diganti. “Itu memang membuat mual, tapi vitamin bagus.”

Memang, sejak vitamin itu diganti, intensitas mual istriku berkurang. Namun tidak hilang. Aku pun masih harus bolak-balik mendatangi apotek untuk membeli obat mual yang terus habis.

Kini, usia janin di kandungan istriku sekira 13 atau 14 pekan. Tanggal 9 November adalah jadwal kontrol ketiga kandungan istriku. Rasanya aku ingin waktu berjalan cepat. Aku ingin menjadi seorang ayah.