Transparency International (TI) melansir temuan berdasar persepsi publik bahwa Kepolisian Negara RI sebagai institusi paling korup di Indonesia, dibandingkan dengan 14 instansi lainnya. Polisi mendapat skor 4,2, disusul pengadilan dan parlemen (4,1), serta partai politik (4,0).
Temuan ini sebenarnya tidak mengejutkan. Semenjak lepas dari TNI, kelembagaan polisi memang berkembang pesat, bahkan kalau boleh dibilang, gengsi kepolisian meningkat.
Seiring itu pula, pandangan masyarakat terhadap kepolisian semakin minor, dengan pandangan “kalau bertemu dengan polisi, siap-siap dimintai uang”. Pandangan semacam ini diperkuat dengan Global Corruption Barometer (GCB) 2007 yang dikeluarkan TI, yakni, satu dari empat anggota masyarakat di dunia yang pernah berhubungan langsung dengan polisi dimintai uang pelicin, dan satu dari enam orang mengaku pada akhirnya mereka membayar suap.
Itu baru kepolisian. Hal serupa juga terjadi di lembaga peradilan. Temuan TI ini membuktikan masih bergentayangannya mafia peradilan dalam penanganan kasus hukum, termasuk korupsi. Ibarat kata, begitu tindak pidana korupsi diselidiki, disidik, dan disidangkan, mafia peradilan ikut membayangi.
Bagaimana dengan parlemen? Ah, sama saja! Contoh saja mantan anggota DPR Noor Adenan Razak yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi senilai Rp 1,5 miliar dalam proyek pengadaan tanah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Contoh lainnya adalah laporan Ketua BPK Anwar Nasution tentang aliran dana puluhan miliar rupiah ke anggota DPR periodel lalu, dan beberapa penerima di antaranya kini masih menjabat.
Kondisi semacam ini membuat pesimisme dalam pemberantasan korupsi. Sebab, para penegak hukum dan perundang-undangan yang diharapkan mampu membersihkan kotor yang dibuat para koruptor, justru juga menjadi pelaku.
Hampir berbarengan dengan laporan TI, publik kini menyoroti terpilihnya Antasari Azhar sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan membuat keraguan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas praktik korupsi. Keraguan yang sangat beralasan, mengingat banyaknya kejanggalan dalam rangkaian proses hingga terpilihnya Antasari, bahkan mencuat dugaan terjadi rekayasa.
Kini, publik hanya bisa menunggu dalam keraguan. Dan temuan TI, seharusnya menjadi cambuk bagi para penegak hukum untuk bisa membersihkan diri. Sebab, publik menginginkan sapu yang bersih untuk membabat habis praktik korupsi yang sudah menggurita di negeri ini.