Setelah Bibit-Chandra tersangka

Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah

Serangan balik para koruptor terus digencarkan. Dengan dukungan para politisi dan institusi hukum, taktik baru disusun dengan meragamkan pola serangan mereka. Dugaan semakin gencarnya serangan balik koruptor semakin terlihat dengan banyaknya hantaman bertubi-tubi dan sistematis yang mengarah kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Lanjutkan membaca “Setelah Bibit-Chandra tersangka”

Budaya Kekerasan yang Beranak Pinak

PRAKTIK kekerasan tak henti-hentinya mengisi ruang pandang anak bangsa. Bukan hanya disebabkan sentimen agama, seperti yang terjadi pada insiden Monas 1 Juni lalu. Kekerasan terjadi karena banyak faktor dan sangat kompleks, dari yang sepele, hingga bermotif agama, ras, yang terkadang dibumbui kepentingan ekonomi dan politik.

Kekerasan sepertinya sudah membudaya di negeri ini. Elizabeth Fuller Collins, peneliti Ohio University untuk kajian Asia Tenggara pernah menyebutkan itu. Kekerasan yang dahulu banyak dilakukan oknum militer dan aparatur negara, kini telah beranak pinak dan banyak dilakukan masyarakat biasa. Lanjutkan membaca “Budaya Kekerasan yang Beranak Pinak”

Urip, Tanda Tanya Lagi untuk Kasus BLBI

Korps Adhyaksa kembali tercoreng. Jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) yang merupakan Ketua Tim Penyelidik Kasus BLBI tertangkap tangan menerima suap dari Artalita Suryani (AS) sebanyak USD660.000 atau sekira Rp6,1 miliar.

Dugaan sementara, suap tersebut terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dugaan itu sangat beralasan. Wajar saja, kasus yang ditangani Urip adalah kasus dana BLBI khususnya yang diterima Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki Syamsul Nursalim.

Terlebih, AS diduga kuat sebagai orang suruhan Syamsul Nursalim, dan Urip ditangkap di kediaman Syamsul di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Tertangkapnya Urip kembali menambah kekecewaan masyarakat setelah Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan kasus BLBI, dan membubarkan tim yang beranggotakan 35 jaksa, karena tidak ditemukannya unsur tindak pidana korupsi oleh Bank Central Asia (BCA) dan BDNI.

Posisi jaksa yang strategis dalam penanganan sebuah perkara hukum hingga kini masih menjadi komoditas jual beli perkara kasus-kasus besar. Tertangkapnya Urip kembali membuka mata publik bahwa perkara-perkara yang berkaitan dengan uang besar sangat rentan dipermainkan.

Kasus Urip ini bukan yang pertama. 2006 lalu, dua jaksa kasus korupsi PT Jamsostek menerima suap dari mantan direktur utama perusahaan itu, Ahmad Djunaidi. Isu suap terhadap jaksa juga menyeruak dalam kasus yang menimpa pengusaha Probosutedjo.

Penanganan kasus BLBI terbilang lama, dan diproses oleh empat presiden pasca-Soeharto. Jaksa Agung Hendarman Supandji yang dahulu dikenal tegas itu kini tak berkutik menghadapi kasus kakap ini.

Pengusutan kasus ini yang berlarut-larut sejak awal memang sudah menimbulkan tanda tanya besar. Sinyalnya, Anthony Salim yang berkali-kali dipanggil Kejaksaan Agung tak pernah muncul. Bahkan, Kejaksaan Agung juga membiarkan Syamsul Nursalim pergi ke luar negeri.

Hal-hal tersebut cukup membuat korps Adhyaksa sulit lagi dipercaya. Dan, tertangkapnya Urip lagi-lagi menimbulkan tanda tanya baru terhadap Kejaksaan Agung. Jangan-jangan, Urip hanyalah satu dari sekian banyak pemain kasus.

Dengan demikian, sudah seharusnya kasus BLBI ini ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, secara institusi, lembaga pimpinan Hendarman Supanji itu harus dibersihkan dari jaksa-jaksa nakal yang suka memain-mainkan perkara.

“Sapu Kotor” Pemberantasan Korupsi

Transparency International (TI) melansir temuan berdasar persepsi publik bahwa Kepolisian Negara RI sebagai institusi paling korup di Indonesia, dibandingkan dengan 14 instansi lainnya. Polisi mendapat skor 4,2, disusul pengadilan dan parlemen (4,1), serta partai politik (4,0).

Temuan ini sebenarnya tidak mengejutkan. Semenjak lepas dari TNI, kelembagaan polisi memang berkembang pesat, bahkan kalau boleh dibilang, gengsi kepolisian meningkat.

Seiring itu pula, pandangan masyarakat terhadap kepolisian semakin minor, dengan pandangan “kalau bertemu dengan polisi, siap-siap dimintai uang”. Pandangan semacam ini diperkuat dengan Global Corruption Barometer (GCB) 2007 yang dikeluarkan TI, yakni, satu dari empat anggota masyarakat di dunia yang pernah berhubungan langsung dengan polisi dimintai uang pelicin, dan satu dari enam orang mengaku pada akhirnya mereka membayar suap.

Itu baru kepolisian. Hal serupa juga terjadi di lembaga peradilan. Temuan TI ini membuktikan masih bergentayangannya mafia peradilan dalam penanganan kasus hukum, termasuk korupsi. Ibarat kata, begitu tindak pidana korupsi diselidiki, disidik, dan disidangkan, mafia peradilan ikut membayangi.

Bagaimana dengan parlemen? Ah, sama saja! Contoh saja mantan anggota DPR Noor Adenan Razak yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi senilai Rp 1,5 miliar dalam proyek pengadaan tanah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Contoh lainnya adalah laporan Ketua BPK Anwar Nasution tentang aliran dana puluhan miliar rupiah ke anggota DPR periodel lalu, dan beberapa penerima di antaranya kini masih menjabat.

Kondisi semacam ini membuat pesimisme dalam pemberantasan korupsi. Sebab, para penegak hukum dan perundang-undangan yang diharapkan mampu membersihkan kotor yang dibuat para koruptor, justru juga menjadi pelaku.

Hampir berbarengan dengan laporan TI, publik kini menyoroti terpilihnya Antasari Azhar sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan membuat keraguan masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas praktik korupsi. Keraguan yang sangat beralasan, mengingat banyaknya kejanggalan dalam rangkaian proses hingga terpilihnya Antasari, bahkan mencuat dugaan terjadi rekayasa.

Kini, publik hanya bisa menunggu dalam keraguan. Dan temuan TI, seharusnya menjadi cambuk bagi para penegak hukum untuk bisa membersihkan diri. Sebab, publik menginginkan sapu yang bersih untuk membabat habis praktik korupsi yang sudah menggurita di negeri ini.