Arsip Lama

Lagi-Lagi Soal Yusril dan Hamid
Beberapa hari belakangan, isu reshuffle kabinet jadi omongan hangat. Banyak yang berlagak bak pengamat. Utak-atik dan menebak-nebak siapa yang bakal diganti.
Partai-partai sibuk kasak-kusuk siapkan calon. Lobi-lobi mulai digalang. Menteri yang disebut-sebut bakal diganti mulai menarik nafas panjang. Kalau ditanya pers, apakah siap diganti, jawaban mereka terserah presiden. Siapa tahu, ternyata jantung pak menteri berdegup kencang. Deg..deg..deg..

Kalau berkaca dari jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang paling pantas diganti adalah tim ekonomi kabinet. Kepuasan publik ternyata hanya 29,7 persen. Ini tentu di luar menteri yang sakit-sakitan.

Tapi kalau berkaca dari asas kepatutan, dua menteri yang paling pantas diganti adalah Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin. Tak perlu dijelaskan lagi, dua orang ini terkait beberapa persoalan hukum.

Meski belum terbukti di pengadilan –karena pastinya sulit menyeret dua orang penting ini–, pembicaraan di publik tentang keterkaitan dua menteri ini dalam kasus uang Tommy sudah mencoreng muka Presiden. Mereka berdualah sesungguhnya onak yang bakal menurunkan apresiasi publik terhadap kinerja penegakan hukum.

Semua orang pantas gemas. Saat reshuffle jilid I, Menteri Hamid selamat. Padahal dia tersangkut kasus dugaan korupsi di KPU. Kini dia tersangkut kasus uang Pangeran Cendana. Beberapa orang yang mengaku dekat dengan lingkaran istana mengatakan, Hamid bakal selamat, atau setidaknya cuma digeser sedikit menempati pos departemen yang lain.

Setali tiga uang dengan Menteri Yusril. Pemeriksaannya oleh KPK sempat membuat dia geram. Publik sempat beropini mengenai keterlibatan dia dalam kasus pengadaan mesin identifikasi sidik jari di Depkum HAM. Belakangan, Presiden Direktur PT Indobuild Co Pontjo Sutowo bernyanyi, Menteri Yusril pernah menawarkan firma hukum miliknya untuk memberikan advise hukum, dalam kasus yang menimpa putra mantan Dirut Pertamina Ibnu Sutowo ini. Orang yang mengaku dekat dengan istana juga menyebut dia bakal selamat.

Bicara jabatan di pemerintahan tak pernah lepas dari tarik menarik kepentingan. Tak ada istilah malu-malu di sini. Sudah tahu dirinya bermasalah, alih-alih mau mengundurkan diri, segala cara kalau perlu ditempuh agar tidak dicopot.

Pernyataan presiden beberapa waktu mengenai rencana perombakan kabinet pada awal Mei, bagi sebagian kalangan dilakukan untuk menghapus kesan peragu dalam diri presiden. Sepatutnya perombakan dilakukan bukan karena ingin menghapus kesan itu, tapi semata-mata agar pemerintahan yang bersih bisa benar-benar terwujud.

Ibarat noda di wajah, tentu harus dibersihkan. SBY-Kalla seharusnya malu berhadapan dengan publik, ketika ternyata di wajah pemerintahannya ada noda yang memperburuk upaya penegakan hukum. Pilihannya, apakah perombakan kabinet akan dilakukan untuk kepentingan elit, atau untuk memenuhi suara rakyat yang mendambakan pemerintahan yang bersih.

———————–
Pak SBY, Kenapa IPDN Tidak Dibubarkan Saja?
Pemerintah memutuskan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tidak menerima praja baru untuk tahun ajaran 2007/2008. Keputusan ini dilontarkan langsung oleh Presiden SBY, setelah menerima laporan tim investigasi kematian Cliff Muntu, praja asal Manado, Sulawesi Utara.

Pertanyaannya, apakah sekadar potong generasi cukup untuk menghilangkan kekerasan yang sudah mendarah daging di kampus ini?

Faktanya, kekerasan sudah berulang kali terjadi. Saya tidak mencoba melakukan generalisasi, hanya saja fakta yang terjadi sudah tidak lagi membuat gerah, bahkan panas perasaan siapapun yang masih memiliki hati nurani.

Ingat! Kekerasan ini bukanlah yang pertama kali. Dari catatan yang beredar luas –meski dibantah oleh Depdagri–, penganiayaan berujung maut di kampus ini sejak tahun 1990 hingga 2004 sudah terjadi 35 kali.

Pembubaran adalah hal yang wajar. Membasmi tikus di lumbung ini tidak lagi bisa hanya dengan menangkapi tikusnya saja, tapi harus dibakar lumbungnya. Lumbung ini seakan tidak memiliki padi yang bisa dimanfaatkan, bahkan dengan nyaman tikus bisa hidup, karena memang difasilitasi oleh pengelola lumbung.

Toh masih banyak lumbung lain yang bisa menyediakan padi dengan kualitas yang baik, yang lebih humanis, dan tidak diajari dengan kekerasan yang kemudian mendarah daging. Anak didik yang dibentuk dengan pola-pola kekerasan, maka jiwa destruktif, emosi, dan rasa kasih di diri anak tersebut sangat minim, bahkan hilang. Bukan tidak mungkin mereka akan  menjadi ‘psikopat-psikopat kecil’ yang ketika turun di masyarakat, kembali menerapkan pola-pola kekerasan yang sama.

Sebagaimana mafhum kita ketahui, kekerasan yang dilakukan sipil bukan barang baru di negeri ini. Tengoklah bagaimana sipil dengan gagahnya merasa berhak menghakimi manusia lainnya dengan kekerasan. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam saja, namun juga terjadi dalam birokrasi pemerintahan, terutama pada aparatur pelaksana di lapangan. Cara-cara kekerasan kerap kali yang digunakan untuk menghadapi rakyatnya.

Abdul Qadir Saleh (2003) membagi tipologi kekerasan ada tiga yaitu, pertama kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor. Kedua, kekerasan sebagai produk dari sistem. Ketiga, kekerasan yang merupakan keterkaitan antara pelaku dengan struktur/sistem.

Atas klasifikasi itu, Kekerasan yang dilakukan para senior praja IPDN terhadap Cliff Muntu termasuk kategori pertama. Karena kekerasan ini merupakan manifestasi dari aktor atau kelompok aktor IPDN yang telah membudaya. Dan kekerasan semacam ini masuk dalam kategori berat, karena para aktor sudah bertindak sebagai pencabut nyawa, merasa dirinya punya hak seperti Tuhan.

Paulo Freire, bapak pendidikan kritis di Brazil, pernah mewanti-wanti agar pendidikan tidak menjadi penjara bagi anak didik. Pendidikan bagi Freire tidak boleh membuat praja di IPDN dibayangi ketakutan, yang akan memandulkan pola pikir yang humanis dalam dirinya.

Kekerasan yang diterapkan kepada anak didik akan mengkristal dalam jiwa, diturunkan ke generasi berikutnya, dan menjadi mesin pembunuh ketika lulus dari sebuah lembaga pendidikan. Moralitas dan kepamongan hanya menjadi slogan di dinding-dinding kantor para pamong praja itu.

Potong satu generasi di kampus ini tentu saja tidak cukup. Karena masih ada dua generasi tertinggal yang juga telah dididik dengan kekerasan.

Jadi Pak SBY, apa lagi alasan untuk tetap mempertahankan kampus ini? Bukankah penanganan  dalam kasus sebelumnya tidak juga tepat untuk menghilangkan kekerasan di kampus ini? [*]

——————-

Ketika Para Elit Mati Rasa
Lagi-lagi kita dipertontonkan tertutupnya kuping para elit politik di negeri ini. Cerita kelaparan rakyat seolah menjadi angin lalu, yang hanya perlu di bahas dalam forum-forum rapat. Sementara di rapat yang lain, sekelompok elit duduk bersidang mencari cara mengenyangkan perutnya sendiri.

Kisah laptop menjadi contoh teraktual saat ini. Kritik publik seakan tidak memiliki arti lagi. Keputusan yang sudah diketuk palu, apapun implikasi ekonomis dan psikologisnya bagi rakyat menjadi tak penting lagi.

Ketua DPR Agung Laksono melalui pernyataannya sudah memastikan pengadaan komputer jinjing senilai Rp12,1 miliar bagi 550 politisi di Senayan. Alasannya, pengadaan perangkat yang tren dengan nama laptop ini sudah dibahas dalam rapat paripurna dan disetujui seluruh fraksi di DPR. Bahkan, sudah masuk dalam APBN 2007. Penolakan publik menjadi mentah.

Mungkin kita bisa menilik ke belakang, kisah para pemimpin besar yang meninggalkan keharuman nama dan ibrah yang patut digugu dan ditiru. Di India kita mengenal nama Mahatma Gandhi. Tanpa pernah duduk di pemerintahan, dia menjadi pemimpin besar di negerinya. Dia merumuskan nilai-nilai kemasyarakatan bangsa India sambil menyelaraskan penampilan dengan filosofi ajaran-ajaran itu. Pakaiannya hanya dua helai kain, kakinya bersandal jepit.

Mantan pemimpin Vietnam Ho Chi Minh juga dikenal dengan kesederhanannya. Sepatu dan sandal dari ban bekas, tak copot menjadi alas kakinya. Bila pergi keluar negeri, dia naik pesawat komersial kelas ekonomi.

Di negeri ini kita mengenal sejumlah nama, seperti KH Agus Salim. Saat mengikuti Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, Agus Salim memakai sarung, peci hitam, dan merokok kretek. Ketika itu dia diprotes karena bau menyengat dari rokoknya, dan dengan entengnya dia berujar, “Tuan-Tuan, benda inilah yang membuat Tuan-Tuan datang dan menjajah negeri kami.”

Kesederhanaan lain yang pernah dipertunjukkan kepada kita adalah kisah Mohammad Hatta, sang proklamator. Kesederhanaan tak tertandingi. Saat gajinya sebagai Wapres akan dinaikkan, dia menolak. Katanya, “Keuangan negara tidak cukup kuat, sementara banyak rakyat melarat yang memerlukan uang itu.”

Kenyataannya, kesederhanaan dan minimnya fasilitas tak membuat kinerja mereka dipandang sebelah mata.

Kontras halnya dengan pencapaian yang ada saat ini, di saat bangsa ini tengah berbenah untuk beranjak dari krisis yang melanda, di tengah angka kemiskinan yang masih berkutat di kisaran puluhan juta, 5,4 juta balita kurang gizi, belum lagi angka pengangguran dan rendahnya daya saing bangsa kita.

Jelas ini menyiratkan matinya rasa dan kepekaan para elit bangsa ini. Fasilitas yang mereka terima selama ini sebenarnya jauh dari lebih, dan bahkan masih menjadi barang-barang silau bagi sebagian besar rakyat. Untuk membeli sebuah laptop seharga Rp21 juta per unitnya tentu masih menjadi mimpi bagi Sumirah, pedagang cabe di Pasar Gondangdia yang berpenghasilan sereceh ratusan ribu sebulannya.

Ah, lagi-lagi alasan kesepakatan dikemukakan. Yang sudah disepakati katanya tidak lagi bisa dianulir. Ini berarti nilai kesepakatan rapat di atas akal dan hati nurani. Benar-benar mati rasa! [*]

———————-
Menteri Yusril, Ada Apa Denganmu?
Menteri Yusril tiba-tiba saja reaktif usai diperiksa KPK, dan langsung mengancam melaporkan balik Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki. Ancaman itu dibuktikannya. Publik pun memanas. Istana juga ikut-ikutan gerah, lantaran nama Presiden SBY ditarik-tarik masuk ke dalam konflik Yusril dan Ruki.

Sebelum Istana berkomentar, opini publik terbagi menjadi dua. Ada yang mendukung Yusril, ada pula yang menganggap laporan Yusril untuk meningkatkan posisi tawarnya, terkait pemeriksaan dirinya oleh KPK dalam kasus pengadaan alat pemindai di Depkeh HAM, tahun 2004 silam.

Tak ingin terjadi kontroversi semakin jauh, Senin 19 Februari, Sudi Silalahi dan Andi Mallarangeng yang notabene all the president man memberikan penjelasan. Namun, penjelasan ini justru memojokkan Yusril. Ini menjadi tanda tanya besar, apakah Yusril tidak lagi diperhitungkan, sehingga Istana dengan mudahnya memojokkan politisi flamboyan itu.

Selama ini Yusril adalah sosok yang cukup diperhitungkan banyak kalangan, termasuk Presiden Yudhoyono. Bagaimana tidak, dengan modal partainya yang tidak lolos electoral treshold, Yusril bisa masuk ke dalam kabinet. Kader Partai Bulan Bintang (kini Partai Bintang Bulan) MS Ka’ban bisa masuk juga.

Sebagai politisi, Yusril dikenal sebagai sosok yang banyak makan asam garam. Dia sempat digadang maju menjadi capres dalam Sidang Umum MPR 1999. Namun dukungan Yusril justru lari ke Gus Dur. Dia selalu bisa masuk ke lingkungan nomor satu di negeri ini, sejak masa Soeharto, hingga SBY.

Reaksi Yusril kali ini terkesan seperti cara orang-orang terpojok untuk menyelamatkan diri. Serangan balik yang dia lakukan seolah ingin menggertak, agar lawannya tidak menyerang lebih jauh, atau akan mendapatkan serangan balik. Ya, Yusril merasa memiliki amunisi untuk menyerang balik.

Namun apa daya, Istana tak ingin orang nomor satu di negeri ini dipersoalkan, lantaran dianggap tidak konsisten dalam menegakkan sistem. Seskab Sudi Silalahi buru-buru menegaskan yang dilakukan SBY adalah tepat, apalagi didasarkan pada rekomendasi Yusril.

Hari ini, Selasa (20/2/2007), Yusril kembali muncul ke publik, setelah sehari sebelumnya menghilang. Anehnya, klarifikasi yang disampaikannya bertolak belakang dengan reaksi sebelumnya. Klarifikasi damaikah, untuk sekadar mengakhiri konflik yang akan semakin melebar?

Meski telah mengibarkan bendera putih, belum tentu Yusril akan selamat. Apa yang dilakukannya beberapa hari lalu telah menjadi catatan merah buatnya. Karena nyanyiannya, terbongkarlah adanya rahasia negara, dalam hal ini adanya alat penyadap milik KPK. Pihak-pihak yang selama ini merahasiakannya, tentu saja akan merasa dongkol. Jelas menjadi pertanyaan, ada apa dengan Yusril?

Persoalan ini tentu akan menjadi tantangan bagi KPK, apakah akan tetap berani melanjutkan pemeriksaan dalam kasus korupsi proyek AFIS yang terjadi di Depkeh, saat Yusril masih menjabat.

(ditulis 20 februari 2007)

———————–

 

Serangan Balik Koruptor Bermetamorfosa

Beberapa waktu lalu saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutus uji materil UU 30/2002 tentang KPK, sejumlah aktivis mengingatkan adanya fight back dari para koruptor. MK diingatkan untuk tidak membubarkan Pengadilan Tipikor dalam putusannya.

Memang saat itu MK tidak membubarkan lembaga yang berada di bawah KPK itu, namun, menyatakan Pengadilan Tipikor memiliki kekuatan hukum yang mengikat hanya sampai tiga tahun. Menanggapi putusan ini, Departemen Hukum dan HAM langsung membentuk tim perumus RUU Pemberantasan Tipikor.

Suara-suara tentang corruptors fight back kemudian redup. Pihak-pihak yang semula bersuara keras ini menaruh asa dengan kehadiran tim yang diharapkan bisa menghadirkan UU payung bagi Pengadilan Tipikor.

Asa putus di tengah jalan. Tim yang belum lama berjalan ini sudah dilanda perpecahan. Salah satu anggota tim dari unsur ICW, Emershon Yuntho, mengundurkan diri karena jengah dengan pola pikir sebagian besar anggota tim yang ingin membubarkan pengadilan bagi para koruptor itu, ketimbang memperkuatnya.

Ketua tim ini, Prof Andi Hamzah, malah terang-terangan akan membubarkan Pengadilan Tipikor. Andi mengacu pada putusan MK yang dibacakan tanggal 19 Desember 2006, yang menyebutkan keberadaan Pengadilan Tipikor bertentangan dengan konstitusi, karena kriteria kekhususan lembaga itu menyebabkan adanya dua pengadilan yang berbeda dalam lingkup peradilan yang sama.

Dia berpendapat, praktik di pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor selama ini menunjukkan standar ganda dalam pemberantasan korupsi. Dia juga mengusulkan tidak bisa dituntutnya kasus korupsi di atas 18 tahun.

Wajar saja jika Andi Hamzah menginginkan penghapusan Pengadilan Tipikor. Ditilik ke belakang, Andi Hamzah pernah mengatakan korupsi tak ubahnya seperti kejahatan lain seperti mencuri, dan bukan kejahatan luar biasa.

Asumsi ini menyedihkan. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary) yang tidak bisa disamakan dengan kejahatan lain. Ini menunjukkan kemunduran dalam perang yang telah ditabuhkan semua kalangan terhadap korupsi.

Pendapat Andi Hamzah –yang saat itu bersama Prof Indrayanto Seno Adji (anggota tim perumus RUU Pemberantasan Tipikor lainnya– dikecam sejumlah kalangan. Lontaran itu dianggap tidak patut, karena Andi dan Indrayanto adalah orang yang ikut mempertahankan kehadiran UU KPK.

Patut dicurigai, ini adalah bentuk lain serangan balik para koruptor. Taktik baru disusun para koruptor yang ingin mencari selamat, dengan memetamorfosakan pola serangan mereka. Pakar hukum Hikmahanto Juwana pernah mewanti-wanti kecenderungan sejumlah ahli hukum yang memberi keterangan di pengadilan sebagai sebuah pesanan. Hikmahanto mengatakan “pendapat mereka (ahli hukum) berdasar pendapatan”.

Sebuah tim tandingan pun dibentuk. Tim ini menargetkan tersusunnya draf RUU Pengadilan Tipikor, bukan RUU Pemberantasan Tipikor. Tim ini dipimpin Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Firmansyah Arifin. Sejumlah pakar hukum dan sembilan LSM yang selama ini menjadi ‘anjing pengawas’ korupsi dilibatkan. Sedangkan tim pengarah diketuai pakar hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita.

Terlepas dari apapun argumentasi, adanya tim tandingan ini menjadi harapan untuh menghadang serangan balik dari para koruptor. Selain itu, desakan sejumlah pihak agar tim perumus RUU yang dibentuk Departemen Hukum dan HAM itu dirombak, tampaknya wajar. Sebab, pelaku korupsi sudah sepatutnya diadili di tempat khusus, karena koruptor adalah penjahat luar biasa yang tidak bisa disamakan dengan pencuri ayam di level kampung.

(ditulis 14 februari 2007)

——————————–
Terjebak Permainan Mafia Beras
Menteri Pertanian Anton Apriantono melontarkan pertanyaan menarik seputar kenaikan harga beras yang terjadi belakangan ini. “Beras sebenarnya ada, tetapi di tangan siapa? Oleh mereka beras dikeluarkan sedikit demi sedikit sehingga harganya naik. Di Jawa Timur ada 300 ribu beras siap panen,” ujar Anton seperti dikutip beberapa media massa hari ini.

Pernyataan Anton jelas membuktikan pemerintah sebenarnya mengetahui adanya permainan dari kelompok tertentu yang ingin mempermainkan harga beras. Mereka adalah para mafia yang memang benar-benar memahami seluk-beluk perberasan. Jelas ini bukan permainan pedagang kecil yang biasa menjual beras dalam skala kecil.

Meski sangat sulit membuktikannya, keberadaan mafia beras ini sudah lama menjadi kecurigaan banyak kalangan, dan diduga melibatkan para pejabat dan orang-orang partai.

Dalam catatan pemerintah, pada Januari 2007 tercatat produksi beras nasional mengalami defisit 1,5 juta ton, dan 377.000 ton pada bulan Februari. Namun, menurut Anton, tidak terdengar adanya masyarakat yang mengalami kelaparan karena kekurangan beras. Apalagi, sejumlah daerah saat ini tengah siap menghadapi panen, seperti Yogyakarta, Sumatera, Banyasun, Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Ya itu tadi, ada pihak-pihak yang menyimpan beras dalam skala besar, dan mengeluarkannya sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka pendek. Stok beras yang pas-pasan ini tentu saja mendorong naiknya harga beras.

Kenyataan naiknya harga makanan pokok inipun terbukti. Operasi pasar yang digelar pemerintah dengan beratus ribu ton beras tak kunjung mampu menurunkan harga. Di sejumlah daerah harga beras justru semakin meningkat drastis dari kisaran Rp100 hingga Rp1.200.

Kebijakan impor beras 500 ribu ton akhirnya digelar untuk menstabilkan harga beras ke kisaran Rp4.000. Impor ini merupakan lanjutan dari impor yang telah masuk pada Februari sebanyak 150 ribu ton, dan 350 ribu ton sisanya yang akan menyusul di bulan Maret ini.

Kebijakan ini tampaknya sangat mudah dikeluarkan. Sehari setelah Presiden SBY mengeluarkan instruksi agar Wapres Jusuf Kalla mempersiapkan langkah penanggulangan kekeringan pada musim tanam, langsung disikapi dengan keputusan impor beras tersebut.

Begitu mudahnya ketika ada segelintir oknum yang mempermainkan harga dan pasokan beras, kebijakan jalan pintas langsung dikeluarkan. Artinya, pemerintah sebenarnya telah terjebak oleh permainan para mafia. Para spekulan ini tentu tidak bodoh. Mereka akan cepat mengeluarkan stoknya sebelum harga berangsur stabil. Inilah bukti pemerintah masih terjebak pada permainan cukong-cukong itu.

Anggota DPR Didik J Rachbini pernah menyatakan jaringan mafia itu sudah lama menguasai impor beras di Indonesia sejak 30 tahun silam. Tahun lalu Menteri Anton juga pernah mengatakan ada beberapa pihak yang memang mampu mengontrol harga. Menurut Anton harga tidak murni berlaku sebagai hukum pasar, karena ada kekuatan yang mampu menguasai stok dalam jumlah besar.

Selama ini pemerintah tidak berupaya mengatasi persoalan yang terjadi dalam hal perberasan, kecuali dengan melulu mengeluarkan kebijakan impor. Data-data yang transparan juga tidak pernah dikeluarkan untuk mendukung kebijakan tersebut.

Petani sebagai ujung tombak perberasan nasional lagi-lagi dilupakan. Alih-alih memberdayakan atau membeli gabah dari mereka, pemerintah lebih memilih membeli beras dari petani Vietnam dan Thailand.

————————-

Belajar dari Menteri Rafidah

Sangat menarik jika mencermati dialog antara Menteri Perdagangan Malaysia Rafidah Aziz dengan Asisten Perwakilan Dagang AS Barbara Weisel, dalam pertemuan kelima antara dua negara itu untuk pembicaraan perjanjian perdagangan bebas (FTA) pada Jumat 9 Februari 2007..

Menteri Rafidah tidak mudah begitu saja tunduk pada keinginan AS dengan kepentingan-kepentingannya. Padahal, jika saja pembicaraan ini berjalan mulus, perjanjian FTA kedua negara akan ditandatangani pada Maret 2007 ini. Aliran barang dan jasa kedua negara akan mudah mengalir.

Mengagumkan, tatkala seorang Rafidah menolak keinginan AS untuk bisa masuk dalam beberapa sektor yang dilindungi pemerintah, dan tidak terbuka untuk investasi asing. AS juga meminta Malaysia melucuti keberpihakan kepada pengusaha Melayu. Tentu saja hal ini ditolak oleh Rafidah. (KCM, 10 Februari 2007)

Ketegasan Rafidah ini sedikit mengingatkan bangsa ini dengan sosok Soekarno dengan kata-kata ‘Go to Hell with Your Aid!’ kepada AS. Rafidah juga mengatakan hal yang tak berbeda saat AS merengek menuntut ini dan itu kepada Malaysia. ‘…Oh, itu tidak bisa..!’

Keberanian Rafidah untuk melindungi kepentingan pribumi dan nasional patut diacungi jempol. Coba kita bandingkan dengan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Dalam sebuah wawancara dengan sebuah media, Mari pernah menyatakan liberalisasi dan perekonomian yang terintegrasi dengan ekonomi regional dan dunia bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah penciptaan industri dan produsen yang dapat bersaing dan terintegrasi dengan dunia. (Bisnis Indonesia, 17 September 2004)

Klise. Liberalisasi bagi Mari dianggap perlu dibebaskan begitu saja. Lantas, di mana peran pemerintah? Apakah dengan mudahnya diberikan kebebasan kepada siapapun yang tak lahir dari rahim Ibu Pertiwi ini untuk menguasainya.

Bagi Mari, adanya liberaliasi membuat masyarakat miskin bisa merasakan barang dengan harga murah dan berkualitas. Lantas, bagaimana dengan industri milik pribumi dalam skala kecil? Lantas, apakah kebijakan konsumerisme lebih dikedepankan, ketimbang dorongan kepada masyarakat untuk menabung dan berinvestasi?

Konsumerisme adalah produk sukses dari kapitalisme. Dia adalah imbas dari produksi massal yang pertama kali digaungkan pada Revolusi Industri di masa abad pertengahan.

Entah apa yang ada di benak Presiden Yudhoyono saat mengangkat Mari yang sangat pro kepada pemiik modal. Sudah berlalu memang. Toh Mari juga telah menjalankan tugasnya sejak lebih dari dua tahun silam.

Tapi ketegasan Menteri Rafidah sudah sepatutnya ditiru Mari. Beranikan dia mempertahankan harga diri bangsa, dari pada sekadar rengekan memaksa dari begundal AS.

Tegakkanlah Trisakti sebagai pilar kemerdekaan nasional. Kedaulatan di bidang
politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Salah satu saja tidak ada lagi, kita tidak lagi merdeka. Apalagi kalau semuanya.

(ditulis 10 februari 2007)

——————

Dicari, Gubernur DKI Pengendali Banjir

di tengah memanasnya persiapan menjelang pilkada, warga ibu kota dihenyakkan dengan datangnya banjir di hampir seluruh wilayah jakarta.

kota ini memang kerap kali dilanda air bah, sejak zaman baheula. namun, kemajuan zaman tidak membuat bencana ini selesai. kebijakan yang seenaknya malah memperparah keadaan.

tengok saja bagaimana tidak terintegrasinya tata kota ini. sudah mafhum bahwa penataan tata ruang kota ini buruk. pembangunan gedung-gedung pencakar langit, perumahan, hingga pusat perbelanjaan, kerap kali mengabaikan aspek keseimbangan alam, misalnya keberlangsungan air tanah dan sinergi sistem drainasenya.

kepala dinas pekerjaan umum pemprov dki jakarta wisnu subagyo mengakui buruknya sistem drainase di jalan-jalan protokol ibu kota karena banyaknya utilitas bawah tanah yang melintang di sepanjang saluran air. akibatnya, saluran air tidak mampu menampung tingginya curah hujan.

jelas, pembuat kebijakanlah yang patut dipersalahkan atas kondisi ini. jika saja setiap pembangunan infrastruktur disinergikan dengan seluruh sistem, setidaknya banjir yang terjadi sejak zaman purba ini bisa dikendalikan.

posisi jakarta secara geografis yang berada di dataran rendah, ditambah banyaknya sungai yang melintas, membuat kota ini mustahil terbebas dari banjir. jika pemangku kebijakan di pusat negeri ini melulu berorientasi dengan pembangunan infrastruktur tanpa sinergi, niscaya banjir akan terus terjadi hingga akhir zaman.

pilkada jakarta tak lama lagi digelar. para kandidat sudah turun untuk mencari simpati dan menjual janji-janjinya. tapi, hingga saat ini belum terlihat kandidat yang memiliki visi pembenahan ibu kota, khususnya untuk mengendalikan banjir.

sesungguhnya dibutuhkan pemimpin yang tidak lagi berambisi dengan kemegahan kota dari segi infrastrukturnya. dibutuhkan pula pemimpin yang berani bersikap tegas terhadap para pemilik modal yang kemaruk untuk meraup untung dari konsumen warga jakarta, dengan segala proyek-proyek kemegahannya.

penting juga mengingatkan masyarakat untuk tidak terjebak membeli begitu saja jualan para kandidat. apalagi banjir tampaknya akan menjadi jualan yang seksi bagi para kandidat. melalui berbagai cara, masyarakat perlu disadarkan perlunya visi lingkungan yang diusung oleh kandidat itu.

banjir tahun ini yang datang menjelang pilkada, sesungguhnya mengingatkan kita bahwa pesta demokrasi yang akan digelar itu tidak hanya untuk mencari gubernur, tapi untuk mencari pemimpin jakarta yang mampu mengendalikan banjir!

keniscayaan megapolitan

sejarah jakarta memang tak pernah lepas dari banjir. banjir besar berkali-kali melanda kota yang dulu bernama batavia ini, seperti tahun 1621, 1654, 1918, 1979, 1996, dan 2002. banjir 2002 yang disebut-sebut sebagai banjir terparah, tampaknya masih kalah dengan yang terjadi kali ini.

banjir di awal februari 2007 mengingatkan kita dengan konsep megapolitan yang pernah diwacanakan pemprov dki jakarta. ide megapolitan tentu saja masih relevan untuk dibicarakan, mengingat persoalan yang terjadi di jakarta tidak lepas dari persoalan di daerah-daerah penyangganya, baik secara ekonomi, sosial, hingga demografis.

selama ini, jakarta terlalu berat mengemban banyak fungsi, dari fungsi pemerintahan, pendidikan, bisnis hingga budaya. hal inilah yang kemudian menimbulkan ketimpangan secara ekonomi antara jakarta dengan daerah-daerah sekitarnya. jakarta terlalu sombong jika masih mengaku mampu menanggung beban itu semua.

ketika wacana ini digulirkan, sempat muncul resistensi dari daerah-daerah penyangga untuk bergabung dalam megapolitan. mereka menganggap okupasi wilayah berada di balik topeng megapolitan. tudingan ini sudah dibantah. sejumlah daerah sudah mengiyakan, meski dengan persyaratan, megapolitan hanyalah sebuah sistem tata kota.

tapi tentu saja konsekuensi dari konsep ini adalah semakin meratanya kue-kue kesejahteraan yang selama ini diperebutkan di jakarta. hal ini tentu saja sarat dengan kepentingan, secara politik dan ekonomi.

tentu saja ini membutuhkan keputusan politik yang tegas, serta pendekatan yang baik dengan daerah, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.

ruu ibu kota yang tengah digodog di dpr seyogianya bisa mengakomodir kebutuhan untuk mewujudkan rencana terintegrasinya ibu kota dengan kota-kota sekitarnya. untuk itu dibutuhkan pemimpin yang tak hanya memiliki visi kelas lokal saja.

(ditulis 6 februari 2007)

——————-

Pertarungan Pengurus, Isu Uang, dan Kado Gus Ipul

perebutan posisi ketua umum selalu menjadi hal yang menarik dari setiap perhelatan besar dalam agenda muktamar atau kongres partai. demikian halnya yang akan terjadi dalam muktamar ke-6 partai persatuan pembangunan (ppp), sejumlah pengurus pusat partai berlambang ka’bah ini akan bertarung untuk menjadi nomor satu.

dari tujuh nama yang beredar, enam di antara mereka duduk dalam kepengurusan dpp. sebut saja arief mudatsir mandan, endin aj soefihara, hasrul azwar, dan suryadharma ali yang duduk di kursi ketua dpp. sementara yunus yosfiah saat ini masih menjabat sebagai sekretaris umum, dan alimarwan hanan menjabat sebagai wakil ketua umum. dari nama-nama kandidat, hanya eggi sudjana yang murni berasal dari luar dpp.

majunya pengurus dpp dalam pencalonan memang merupakan hal yang lumrah. namun hal ini menjadi rentan ketika jabatan itu digunakan untuk menggerakkan dukungan dari pengurus-pengurus di dpw dan dpc. alasan silaturahmi ke daerah sejak jauh hari dilakukan sekaligus untuk menggalang dukungan.

menariknya lagi, dari hasil kunjungan ke pengurus daerah, klaim dukungan yang diperoleh para kandidat sangat luar biasa. sebut saja suryadharma ali (sda). tim sukses sda, emron pangkapi, mengkaim telah mendapatkan dukungan 60,9 persen suara nasional. angka ini merupakan dukungan dari para pimpinan dpw dan dpc di 29 wilayah, dari 32 dpw ppp.

tak mau kalah, arief mudatsir mandan pun mengklaim jumlah yang tak kalah besar. dia mengaku memperoleh 60-70 persen suara seluruh cabang. dukungan datang dari semua kantong ppp terutama basis nu. tak hanya di jawa, namun juga indonesia timur.

terlepas apa yang dijanjikan mereka kepada pengurus dpw ataupun dpc, yang jelas, isu politik uang sudah berhembus sejak lama. eggi sudjana pun mengakui adanya main-main uang dalam muktamar kali ini, meski dia menolak mengungkapkannya. “silahkan dibongkar saja dari kandidat yang curang,” kata eggi ketika dikonfirmasi okezone, senin (29/1/2007).

belum lagi wacana adanya kepentingan pemerintah dalam perhelatan ini. sempat beredar sas-sus pemerintah ikut bermain melalui calon yang dijagokannya. namun tidak ada bukti valid mengenai hal ini.

kado gus ipul

hal menarik lain dari agenda muktamar ini adalah masuknya saifullah yusuf (gus ipul) ke gerbong ppp, di tengah konflik yang melanda pkb. hal ini bertambah menarik setelah adanya restu dari kh idris marzuki. wakil ketua dewan syuro dpp pkb ini merestui jika ada kader pkb yang ingin pindah ke ppp.

secara simbolik, mbah idris menitipkan keponakan gus dur itu kepada kh maemum zubair yang notabene ketua dewan syariah dpp ppp.

dalam kultur nu, ‘restu-restu’ semacam ini dianggap masih manjur. apapun yang dikatakan kyai akan langsung diamini oleh takzim para santri dan pengikutnya. apalagi konflik pkb hingga saat ini semakin membuat kalangan nahdliyin bingung. sebagian dari mereka memilih untuk kembali ke gerbong lama. bahkan sejak lama kh fawaid syamsul arifin (situbondo) memilih kembali ke ppp.

bergabungnya gus ipul tentu saja menjadi kado yang paling menarik buat ppp. sejumlah calon pun mulai melirik keponakan gus dur ini. beberapa mereka sempat menjanjikan gus ipul untuk menjadi sekjen dpp. sementara kandidat lainnya menyatakan akan menariknya ke dalam kepengurusan dpp, karena ketum ppp hamzah haz telah menyatakan gus ipul tidak dapat menjadi sekjen.

apakah gus ipul benar-benar akan menjadi kado menarik, baik untuk ppp maupun para kandidat? lihat saja nanti!

(ditulis 29 januari 2007, di sela pelaksanaan muktamar ppp)

Tinggalkan komentar