Industri Media Online dalam Perspektif Institusional dan Ekologi

Ilustrasi

Konon, kata Dewan Pers, hari ini ada 47 ribu media online di Indonesia. Dari jumlah itu, menurut data per Februari 2022, baru ada sekitar 2.700an media yang terverifikasi. Melihat angka tersebut, ada beberapa pertanyaan yang muncul. Misal, bagaimana cara media-media siber itu bertahan di tengah populasi yang sesak? Adakah diferensiasi di antara mereka?

Yang jelas kini kita dapat melihat, media-media siber saling membentuk koloni bersama atau menginduk pada media online yang memiliki modal dan investasi yang lebih besar. Misalnya kelompok media jejaring Tribunnews, Promedia, Arkadia, dan Pikiran Rakyat. Ekosistem di dalam kelompok Promedia, misalnya, ketika saya akses website korporatnya per tanggal 23 Desember 2022, tercatat memiliki 787 media online, 6.900 jurnalis, dan mengakomodir 2.800 pengusaha media atau mereka menyebutnya mediapreneur.

Ada beberapa alasan mengapa media online begitu menjamur. Pertama, tren digital. Kedua, peralihan cepat dari media cetak ke online. Ketiga, peluang mendapatkan cuan dari traffic.

Tulisan ini tidak membahas soal kualitas yang dihasilkan oleh sebagian besar media online itu, ketika mereka saling berebut perhatian pembaca untuk mendapat traffic kunjungan sebesar-besarnya. Silakan anda nilai sendiri.

Industri media siber Tanah Air usianya belum lama. Kira-kira baru 25 tahun. Saya menandai momentum kelahiran media-media online diawali oleh kelahiran Detik.com, meskipun Republika dan Kompas sebagai domain internet telah hadir dan telah diisi, namun masih sekadar memindahkan konten cetak ke online.

Ada beberapa faktor yang mendorong kelahiran Detik.com dan media-media online lainnya pada saat itu. Pertama, internet sudah mulai massif digunakan oleh masyarakat di era 90an akhir. Kedua, momentum sosial politik saat itu mendorong dan memberikan legitimasi bagi organisasi media, termasuk media online untuk hadir. Kebebasan pers terjadi, dan masyarakat butuh berita yang cepat, realtime, dan terus diperbarui. Pendekatan yang dipakai Detik.com adalah running news. Sebuah genre baru ketika itu. Hal yang tidak mungkin dilakukan oleh media cetak yang harus menunggu berita keesokan hari, sementara televisi dan radio punya keterbatasan durasi, slot, dan mahalnya investasi.

Pada tahap berikutnya, pertumbuhan iklan digital ikut mendorong bermunculannya media online. Tren kenaikan masih terus menanjak saat ini. Iklan di media online dianggap lebih murah, juga bisa menjangkau audiens yang sangat luas. Selain itu beriklan di media onlie juga dapat diukur dengan presisi, berapa reach, impression, akuisisi, atau konversinya.

Tingkat kelahiran organisasi seiring waktu

Saya coba membagi tiga tahapan dalam perkembangan media online, yaitu kurun hingga 2006, 2007, atau 2008an, di mana pada tahun-tahun itu grup-grup media besar mulai serius berinvestasi pada bisnis media online. Trennya diikuti bermunculannya media-media yang dibuat oleh berbagai kalangan, baik individu, para alumni Detik.com, kelompok politik, kelompok bisnis non-media, maupun lainnya. Momentumnya terus melejit hingga menjelang 2014, di mana situasi politik semakin memanas. Ketiga, era pasca 2014 ketika media-media online “terpaksa” konsolidasi satu sama lain untuk memenangkan pertarungan perebutan kue iklan melawan raksasa digital global macam Google, Facebook, dan Amazon. Pada era inilah terbentuk beberapa asosiasi media siber seperti AMSI, SMSI, dan lainnya. Kebetulan saya bersama 25 pimpinan media lainnya turut membidani kelahiran AMSI.

Awal 2000 sampai menjelang 2005 memang sempat muncul beberapa media online dengan investasi yang sangat besar, antara lain kelompok Satunet dan kelompok Astaga. Namun mereka hanya bertahan seumur jagung, terdampak oleh ambruknya perusahaan-perusahaan dotcom dunia, atau disebut krisis dotcom yang terjadi pada masa-masa itu. Ketika itu terjadi gelembung investasi internet pecah.  Akan tetapi, meski jumlah media bertambah sedemikian drastisnya, Detik.com menikmati posisi sebagai nomor satu dari sisi traffic maupun pendapatan iklan. Mungkin hingga hari ini. Detik.com memiliki yang disebut sebagai first-mover advantages.

Sekarang mari masuk pada pendekatan teori institusional dan teori ekologi.

Teori institutional dan ekologi sama-sama masuk dalam open system theory dalam rumpun teori-teori tentang perusahaan. Keduanya melihat perkembangan organisasi dipengaruhi oleh lingkungan secara signifikan.

Tentu kedua teori ini berbeda dalam pendekatannya, dan dalam berbagai riset, kedua teori ini sering kali dipertentangkan satu sama lain. Namun ada beberapa poin kesamaan yang ingin saya sampaikan.

Pertama, institusional dan ekologi sama-sama mengoreksi teori-teori dari kalangan rasionalis yang banyak digunakan pada kurun 1960-1970an, di mana organisasi dilihat sebatas pada kinerja manajerialnya belaka. Pemikiran tokoh-tokoh manajemen stratejik tahun 1960-an banyak dikenal dengan planning approach to strategic management (Horn, 2004). Pendekatan manajerial ada pada strategic planning. Padahal strategic planning bukanlah strategic thinking. Bahkan sering merusak pemikiran strategist dan membingungkan manajer dalam membedakan realitas dan manipulasi.

Kedua, keduanya sama-sama concern untuk menjelaskan variasi organisasi, meskipun terminologi yang dipakai keduanya berbeda. Ekologis bicara soal heterogenitas, sementara instutusional bicara soal homogenitas. Pertanyaan dasar dari kelompok ekologis adalah, mengapa ada banyak jenis perusahaan, sementara instutusionalis mempertanyakan mengapa organisasi-organisasi terlihat mirip.

Dari kedua pertanyaan itu, menurut Heather A Haverman dan Robert J David, kita bisa membuat pertanyaan baru, ada berapa banyak variasi organisasi dan faktor apa saja yang berkontribusi bagi banyak atau sedikitnya variasi itu?

Kalau saya boleh menyimpulkan dalam tiga kata, dua teori itu bicara tentang kelahiran, kematian, dan adaptasi.

Lantas bagaimana strategi yang digunakan media-media online untuk bertahan?

Strategi bersaing perusahaan

Saya mencoba menggunakan pendekatan analisis umur (waktu masuk ke dalam populasi) dan kaitannya dengan penentuan strategi dalam teori ekologi, pada awal-awal kehadiran para pendatang baru. Sebagian besar media baru menggunakan pendekatan K-Generalist atau bermain pada banyak ceruk –membuat banyak kanal berita, konten yang bervariasi (palugada), dan menyasar segmen lebar dari 17-60 tahun, semua profesi, dan pembaca tanah air hingga WNI di luar negeri.

Mereka mengikuti gaya Detik.com yang menggunakan r-Strategy, sebagai pemain pertama.

Belakangan mulai bermunculan media-media yang menggunakan pendekatan strategi r-Specialist atau menyasar segmen spesifik, dengan konten spesifik, dan klien pemasang iklan yang spesifik pula. Beberapa media dengan strategi K-Specialist juga bermunculan, baik sebagai perusahaan media baru atau masuk dalam bagian konglomerasi media yang sudah eksis.

Proses merger dan akuisisi juga terjadi dalam satu dekade terakhir, dimulai oleh akuisisi Detik.com oleh CT Corp, Emtek mengakuisisi kelompok Kapanlagi. Sebelumnya Kapanlagi juga sempat diakuisisi kepemilikannya oleh Mediacorp Singapura, dengan nilai valuasi yang lebih mahal dibanding ketika CT mengakuisisi detik. CT Corp kemudian membeli franchise CNN yang juga memiliki domain CNNIndonesia.com –sebuah keputusan yang sangat berani saat itu di tengah persaingan televisi berita nasional yang luar biasa. Kemudian belakangan CT Corp juga membawa franchise CNBC, membentuk CNBC Indonesia yang juga memiliki domain CNBCIndonesia.com.

Ross Tappsell, akademisi di Australia National University (ANU), dalam buku Kuasa Media di Indonesia bilang, akuisisi ini adalah upaya para oligarki media untuk menjadi konglomerat digital. Membuat ekosistem digital raksasa. Mereka mengakuisisi juga perusahaan-perusahaan kecil, termasuk media-media online kecil.

Apa yang ditulis Ross Tappsell adalah fenomena yang sebenarnya juga memperlihatkan kelemahan population ecology, yang pada mulanya hanya melihat hidup dan matinya organisasi dalam populasi. Sebab perusahaan tidak sama dengan organisme makhluk hidup. Yang terjadi pada perusahaan-perusahaan di dalam populasi itu tidak linier. Ada titik belok (inflection point). Yang sekarat bisa diakuisisi. Yang sakit bisa disehatkan. Yang butuh modal juga bisa diinjeksi dan beralih kepemilikannya.

Di sisi lain konsolidasi dan kolaborasi juga terjadi antara media nasional dan media lokal, dalam dua tiga tahun terakhir ini, dalam pertukaran yang saling menguntungkan.

Perkembangan pada industri media online tersebut cukup menjelaskan alasan mengapa banyak perusahaan baru muncul, yang menjadi basis pertanyaan teori ekologi, atau mengapa media-media online terlihat mirip satu sama lain.

Dari sudut pandang institusional, keseragaman terjadi karena adanya isomorfisme, yang terjadi baik secara koersif, normatif, maupun mimetik, yaitu karena proses meniru begitu saja, meniru dengan berdasar pada standar profesiomal, juga karena adanya tuntutan konsumen yang menginginkan model-model pemberitaan seperti yang disajikan kebanyakan media online. Yang penting cepat dan running.

Yang pasti, legitimasi yang dimaksud dalam teori neoinstitusionalis, selain disebabkan isomorphisme, juga dipengaruhi oleh situasi sosial politik, perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi media, juga legitimasi dari regulasi yang mengaturnya.

Dari sudut pandang ekologi, keberagaman pada media generalis ataupun spesialis terjadi karena adanya tekanan terhadap struktur inersia atau organizational inertia, yang membuat organisasi harus berubah dan membuat diferensiasi yang membedakan dengan pemain lama yang masih bertahan. Strategi ini misalnya dilakukan oleh Katadata, Tirto, Alinea, Tek, CNBCIndonesia, dst.

Kalau kita zoom in lagi meggunakan sudut pandang ekologi, akan terlihat juga mengapa perusahaan media online bisa bertahan dan mengapa banyak pula yang mati. Antara lain disebabkan oleh faktor liability of smallness.

Dunia digital membuat semua berubah begitu cepat. Penetrasi internet dan transformasi digital yang bergerak cepat di semua sektor, khususnya dengan kehadiran media sosial, berdampak luar biasa bagi industri media. Media cetak berguguran. Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Koran Tempo cetak, majalah-majalah di grup MRA atau Kompas Gramedia, tabloid Bola, Republika, dan seterusnya. Daftarnya sangat panjang.

Media online pun terpengaruh. Media-media online harus bertarung berebut pembaca dengan media sosial, dan berebut pemasang iklan yang kini banyak memilih beriklan di media sosial.

Bisa dikatatakan media online sebagai sebuah populasi ataupun dilihat sebagai individu-individu organisasi, berhadapan dengan banyak pihak. Dengan plaftorm-platform media sosial, para influencer, agregator media yang mencuri berita. Bahkan saat ini media online menjadi vendor konten cuma-cuma bagi platform semacam Google dan Facebook.

Bisa dibilang secara tidak sadar media online sudah menjadi sub-sistem dari platform raksasa dunia.

Bisa dikatakan juga saat ini industri media online sedang turun secara bisnis. Kurang lebih faktornya sama. Usia dan ukuran yang masih rentan; miskin inovasi; inersia organisasi, perubahan lingkungan, kegagalan kepemimpinan stratejik, strategic misfit; dst.

Ditambah lagi saat kita memasuki era post-truth di mana hoaks sering dianggap sebagai kebenaran, atau ini adalah era banjir informasi, yang kita sendiri gak bisa mencernanya. Bahkan algoritma media sosial telah menciptakan ruang gema atau echo chamber, yang membuat perspektif kita terhadap sebuah persoalan menjadi sangat sempit.

Lantas mau tak mau industri media online harus beradaptasi.

Bagaimana dengan media sosial? Apakan menjadi rival atau teman?

Suka atau tidak suka, media sosial harus menjadi teman. Keberadaan media sosial harus dimanfaatkan. Bahkan dalam dunia jurnalistik berkembang juga istilahnya social media journalism, alias media sosial dijadikan landing page atau platform utama untuk mendistribusikan berita atau informasi oleh perusahaan-perusahaan media.

Beberapa tahun terakhir perusahaan-perusahaan media juga berkolaborasi dan berkoopetisi dalam berbagai hal. Dalam hal ini proses imitasi, baik secara variasi maupun isomorphism, semakin kuat dan semakin memberikan legitimasi bagi organisasi di dalam populasi.

Ada perubahan dalam pembuatan produk. Namun tidak banyak yang melakukan ini dan kebanyakan media masih terjebak pada organizational inertia mereka.

Dari sisi proses, konvergensi bisnis dan produksi sudah dilakukan, khususnya di perusahaan media besar yang multiplatform. Industri media online juga mengubah model bisnisnya, menambah revenue stream, dan yang terbaru banyak yang sudah menggunakan paywall system. Cek The New York Times.

Nah, yang menarik, soliditas di dalam populasi industri media online sudah terbangun untuk mendorong pemerintah melindungi industri media atau digital tanah air dalam menghadapi raksasa-raksasa digital. Lumayan membuahkan hasil. Misalnya pemerintah sudah mulai tegas dalam penerapan pajak bagi platform digital, terutama asing. Kemudian juga yang masih menjadi persoalan belakangan soal perlindungan data maupun kompensasi bagi media-media yang kontennya diambil oleh platform seperti Google dan Facebook.

Referensi & Saran Bacaan:

  • Gareth R. Jones. 2013. Organizational Theory, Design, and Change. Essex: Pearson.
  • Hannan, M.T. and Freeman, J. 1977. The population ecology of organizations. American Journal of Sociology, Vol. 82, pp.929-64.
  • Hatch, M.J. and Cunliffe, A.L. 2013. Organization Theory: Modern, Symbolic, and Postmodern Perspectives. 3rd Edition, Oxford University Press, New York.
  • Haveman, HA. & David, RJ. Ecologists and Institutionalists: Friends or Foes?. In The Sage Handbook of Organizational Institutionalism. London: Sage Publication.
  • Loi, Kim & Lei, Weng Si & Lourenço, Fernando. 2020. Understanding the reactions of government and gaming concessionaires on COVID-19 through the neo-institutional theory – The case of Macao. International Journal of Hospitality Management. 94. 102755. 10.1016/j.ijhm.2020.102755.
  • Nureev, Rustem. 2005. The Evolution of Institutional Theory and Its Structure. The Institutional Economics of Russia’s Transformation. Routledge.
  • Sherer, S. A., Meyerhoefer, C. D., & Peng, L. 2016. Applying institutional theory to the adoption of electronic health records in the U.S. Information & Management, 53(5), 570–580.
  • Zucker, Lynne G. Aug 1989. Combining Institutional Theory and Population Ecology: No Legitimacy, No History. In American Sociology Review. American Sociological Review.
avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar