Tentang Baik dan Buruk Politik Identitas

Ilustrasi. (Foto: Fajri)

Tulisan ini awalnya adalah pointer yang kusampaikan dalam diskusi dengan seorang kawan. Ia mengajak diskusi tentang politik identitas dan bagaimana posisinya di tengah percaturan demokrasi di Indonesia, sebagai insight sebelum menjadi narasumber di sebuah kampus.

***

Banyak kalangan bilang politik dan demokrasi Indonesia sedang mengalami resesi. Sebenarnya ini fenomena global. Demokrasi sedang merosot di mana-mana. Situasinya diperparah oleh pandemi, di mana banyak transaksi politik atau keputusan kebijakan dilakukan sembunyi-sembunyi, tanpa kontrol publik, karena atensi publik sedang menurun terhadap lembaga-lembaga negara. Krisis politik di Indonesia juga ditandai dengan sikap intoleran pemerintah terhadap perbedaan pendapat. Yang terbaru belum lama ini, seorang pimpinan kelompok relawan pendukung Jokowi yang juga seorang pejabat pemerintah, bersikap ‘fasis’ dengan meminta Presiden menindak mereka yang berbeda pandangan dengan pemerintah. Pernyataannya itu viral dan menuai caci maki selama beberapa hari.

Merosotnya demokrasi Indonesia juga ditandai dengan melemahnya partai-partai politik. Disebabkan ketiadaan ideologi yang mengakar kuat di dalam parpol, maka hubungan parpol dengan para pemilihnya juga seperti terputus. Relasi hanya terjalin lima tahunan di saat pemilu. Party-ID parpol-parpol di Indonesia bisa dikatakan rendah karena faktor tersebut.

Ketiadaan ideologi yang mengakar membuat narasi politik di tengah publik menjadi kacau. Pertarungan mazhab politik juga tidak jelas antara satu sama lain oleh para aktor-aktor politik, baik individu maupun institusi, sehingga narasi apapun digunakan demi menyerang lawan-lawan politik. Termasuk di dalamnya tuduhan terkait politik identitas.

Fenomena post-truth, bermain dengan politik identitas –yang notabene dilakukan hampir semua kubu politik, serta populisme berkelindan satu sama lain mengacaukan kondisi politik Tanah Air. Populisme sejatinya tidak akan muncul di negara dengan institusi parpol yang kuat dan mengakar. Organisasi parpol yang lemah dan rendahnya party-ID membuka ruang bagi figur-figur populis. Tiga fenomena tersebut –post-truth, politik identitas, populisme– memunculkan polarisasi yang dari hari ke hari jurangnya justru semakin melebar. Polarisasi ini menjadi ancaman bagi pembangunan demokrasi yang matang, termasuk mengacaukan stabilitas politik-ekonomi nasional. Media sosial semakin mengobarkan polarisasi. Post-truth tumbuh subuh di era ini. Publik tak lagi peduli dengan fakta atau kebohongan, sepanjang itu bisa memuaskan hasrat politiknya.

Tiga fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Ini merupakan gejala merosotnya demokrasi dunia. Kemenangan populisme di Eropa, Donald Trump di Amerika, Modi di India, atau kemenangan Bolsonaro beberapa tahun lalu di Brasil adalah buah dari fenomena tersebut. Setidaknya itu yang dikatakan para scholar politik

Apakah politik identitas sebuah hal yang buruk? Sejatinya tidak. Sebab, berpolitik adalah tentang memperjuangkan nilai, gagasan, identitas, dan ideologi. Yang salah adalah menggunakan identitas sebagai senjata untuk menyebarkan kebencian atau untuk memanipulasi pencitraan politik, baik oleh figur politik maupun oleh kelompok politik. Komodifikasi identitas dalam kemasan kebencian inilah yang merusak. Bara konflik terus ditiupkan, baik oleh kubu pemenang maupun kalah.

Untuk sementara waktu, rasanya kita perlu kembali kepada gagasan Cak Nur, menjauhkan sejenak hiruk-pikuk politik kita dari unsur-unsur identitas yang bersifat primordial dan simbolik. Politik kita, terlebih menjelang kontestasi 2024, harus didorong pada perdebatan tentang gagasan-gagasan besar untuk menjadikan Indonesia bangsa yang bermartabat, berdaulat, dan mampu berkompetisi di tengah dunia yang kacau balau saat ini.

Sejenak mungkin kita perlu melepaskan baju-baju identitas yang simbolik, namun tetap menyerap nilai-nilai mulia yang dimiliki setiap identitas itu, untuk memulihkan kembali demokrasi Indonesia, yang sebenarnya belum pernah mencapai titik kematangan sejak reformasi lebih dari dua dekade lalu.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar