Menjaga Reputasi Perusahaan: Tantangannya Kini

Photo source: Unsplash.com

“If I only had two dollars left, I would spend one dollar on PR” — Bill Gates.

Nilai sebuah perusahaan tidak bisa hanya diukur berdasarkan kepemilikan aset atau angka dalam laporan keuangan. Dunia bisnis menyadari pentingnya reputasi dan aset tidak berwujud (intangible asset). Ketika nilai dari aset tak berwujud meningkat, maka kunci keberhasilan adalah kemampuan organisasi mendapatkan kepercayaan, rasa hormat, dan pengakuan dari para pemangku kepentingan.

Kesadaran tentang pentingnya nilai aset tak berwujud kini dipercepat oleh digitalisasi dan globalisasi, dan baru-baru ini oleh penyebaran Covid-19 yang mengubah kehidupan. Walhasil, para pemimpin organisasi membutuhkan aktivitas untuk menghubungkan harapan dengan persepsi di sisi luar mereka.

Dua tahun sejak pandemi Covid-19 terjadi, tiada sesiapapun yang dapat memastikan apa yang akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. Pandemi mengubah pandangan dan cara hidup manusia di seluruh muka Bumi, termasuk mengakselerasi peralihan cara hidup ke digital di semua segmen kehidupan. Adopsi penggunaan internet dan aplikasi online meningkat pesat tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier seperti barang rumah tangga dan layanan konten, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pendidikan dan pangan.

Pergeseran juga terjadi pada lanskap media global ke arah yang semakin digital. Dunia digital telah menjadi ruang penting bagi masyarakat modern untuk mendiskusikan berbagai topik. Jutaan pengguna berpartisipasi secara aktif di media sosial untuk berbagi pengalaman mereka sebagai konsumen, juga untuk meninjau pendapat dari pengguna lain tentang layanan dan produk yang mereka minati. Beriringan dengan itu, media arus utama masih menjadi outlet penting bagi organisasi untuk membangun reputasi dan menyampaikan pesan-pesan penting perusahaan maupun pemasaran.

Pertumbuhan eksponensial dari dunia informasi dan komunikasi yang hyperconnected akan semakin memperumit dinamika di tengah masyarakat global. Keterhubungan di antara umat manusia semakin kompleks, di mana sebagai makhluk digital, setiap orang memainkan peran ganda sebagai konsumen sekaligus produsen informasi. Media sosial memudahkan orang untuk terhubung dengan orang lain di seluruh dunia yang memiliki karakteristik, pandangan, dan keyakinan yang sama. Media sosial dapat menciptakan ruang gema (echo chamber) dari pengguna yang berpikiran sama yang berbagi informasi. Pandangan yang sama itu akan menegaskan penilaian mereka terhadap persoalan, serta membatasi pemahaman terhadap perspektif alternatif. Seiring waktu, dinamika ini meningkatkan kesadaran dan membangun hubungan baru antara kelompok yang sebelumnya terisolasi, sementara juga mempolarisasi persepsi orang tentang kebijakan, lembaga publik, peristiwa, masalah moral, dan tren yang menjadi pembicaraan masyarakat. Polarisasi seperti itu akan mengarah pada munculnya ketegangan sosial, membatasi peluang untuk berkompromi, dan melemahkan kohesi masyarakat.

Sialnya, media sosial juga sekaligus menjadi kekuatan utama di balik kebohongan yang viral dan kemudian banyak dipercaya oleh masyarakat. Inilah era post-truth yang menjadi tantangan dunia public relation. Misinformasi tentang Covid-19 telah menjadi masalah khusus di berbagai negara, di mana rumor dan konspirasi palsu telah menyebar dengan cepat melalui media sosial. Kebohongan yang banal itu turut menjadi persoalan yang dihadapi organisasi bisnis.

Di sebagian besar belahan dunia selatan, termasuk Brasil, Indonesia, India, Nigeria, dan Afrika Selatan, aplikasi perpesanan seperti WhatsApp menjadi perhatian utama. Sifat jaringan yang tertutup dan terenkripsi mempersulit pemeriksa fakta dan pihak lain untuk menemukan dan melawan informasi yang merusak. Sebaliknya, di Inggris dan AS, Facebook dipandang sebagai perhatian utama, dengan Twitter dianggap sebagai jaringan paling signifikan berikutnya. Facebook juga menjadi perhatian utama di Filipina dan Thailand di mana Facebook merupakan platform utama untuk berita.

Menurut analisis yang dirilis The National Intelligence Council pada Maret 2021, selama 20 tahun ke depan, algoritma dan platform media sosial yang mengumpulkan dan menyaring sejumlah besar data akan menghasilkan konten yang membentuk efek politik dan sosial.

Pada akhirnya, menghadapi situasi demikian, publik akan semakin bergantung pada outlet-outlet yang dapat dipercaya, seperti media berita yang memiliki reputasi atau kanal media sosial resmi milik organisasi bisnis dan pemerintah. Pada titik ini peluang muncul sekaligus menegaskan pentingnya aktivitas komunikasi yang direncanakan baik dan matang.

Komunikasi bisnis yang stratejik adalah aktivitas yang harus tetap dilakukan organisasi dalam situasi apapun. Terlebih di era yang penuh ketidakpastian seperti saat ini. Menunda atau membatalkan anggaran komunikasi bukanlah pilihan bijak. Perusahaan tidak dapat menanggung risiko kehilangan pangsa pasar dengan berdiam diri. Dengan demikian, industri tidak punya pilihan selain terus meningkatkan pengeluaran terkait pemasaran mereka ke depan. Selain itu, aktivitas kehumasan yang baik memainkan peran yang lebih penting selama krisis dan situasi menantang, karena perusahaan perlu melindungi merek dan reputasi.

Referensi:

Cision. 2021. 2021 Global State of the Media.

Global Trends 2040, The National Intelligence Council, Maret 2021

Hootsuite. 2021. We Are Social.

Reuters Digital News Report 2021

USC Annenberg Center for Public Relations. 2021. Politics, Polarisation, & Purpose: Global Communication Report.

World PR Report 2020-2021, ICCO, Maret 2021

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar