Transformasi Digital: Visi Saja Tak Cukup!

Ilustrasi: Suasana command center di sebuah perusahaan teknologi. Foto: Fajri.

Sebagian besar transformasi digital yang dijalankan perusahaan mengalami kegagalan. Tony Saldanha dalam bukunya Why Digital Transformations Fail: The Surprising Disciplines of How to Take Off and Stay Ahead menyebut, angkanya mencapai 70%. Banyak organisasi gagal menangkap potensi penuh dari teknologi digital karena pemimpin mereka tidak memiliki visi yang benar-benar transformatif tentang masa depan digital.

Transformasi digital merupakan bagian dari migrasi dunia bisnis dan masyarakat, dari Revolusi Industri Ketiga menuju era Revolusi Industri Keempat. Bagi perusahaan, hal ini bermakna memiliki teknologi digital yang menjadi tulang punggung produk dan layanan, cara baru beroperasi, dan bisnis model baru. Ia menjadi niscaya karena dunia bisnis menghadapi kompleksitas yang semakin tinggi di masa depan. Tidak sesederhana seperti saat ini atau masa-masa sebelumnya. Kompetisi yang keras, perekonomian yang volatile, ketidakpastian yang meningkat, dan banyak terjadi ambiguitas –atau yang dikenal sebagai VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity). Dominasi uncertainty dan ambiguity mengakibatkan sulitnya memprediksi perekonomian global. Penyebab masalah yang ditimbulkan oleh kebijakan yang akan diambil menjadi tidak jelas. Konsekuensinya, arah kebijakan yang diambil para pelaku ekonomi, termasuk otoritas dan pemain pasar, menjadi tidak pasti pula.

Singkatnya, dunia bisnis menghadapi tantangan untuk bertransformasi mengubah berbagai aspek bidang teknis di dalam organisasi. Juga membangun kolaborasi di semua level pekerjaan. Ini sering disebut sebagai pekerjaan 4.0. Dampaknya, digitalisasi tidak diragukan lagi akan menyebabkan hilangnya pekerjaan tertentu yang dapat diambil alih oleh mesin, robot, atau algoritma, meski tetap membutuhkan peran manusia untuk memecahkan banyak masalah jika terjadi kegagalan atau menangani insiden kritis. Peran manusia dengan pengalaman dan wawasan yang relevan untuk menyelesaikan persoalan tetap diperlukan. Dalam aktivitas big data processing, misalnya, anggota organisasi harus mampu menganalisis dan menginterpretasikan hasil dari penambangan data dari berbagai sumber, seperti sensor, dan mengambil keputusan menghadapi informasi yang tidak lengkap atau ketika dihadapkan pada peristiwa atau krisis yang tidak terduga.

Namun, menurut saya, memiliki visi saja tidak cukup. Visi harus transformatif dan memandang jauh ke depan. Karena dunia digital mengubah segalanya secara radikal, maka pemimpin organisasi harus dapat mendorong perusahaan dengan mendefinisikan seperti apa masa depan digital yang sangat berbeda. Di dunia yang baru ini, para manajer dan karyawan organisasi memerlukan kompetensi untuk mengatasi tantangan tempat kerja yang terdigitalisasi. Visi yang bersifat inkremental akan membatasi manfaat yang dapat dicapai dalam transformasi digital. Bahkan jika proses itu berhasil, yang didapatkan hanyalah value yang juga bersifat inkremental. Visi digital biasanya mengambil salah satu dari tiga perspektif: reenvisioning pengalaman pelanggan, reenvisioning proses operasional, atau menggabungkan dua pendekatan sebelumnya untuk reenvision model bisnis. Pendekatan yang diambil harus mencerminkan kemampuan organisasi, kebutuhan pelanggan, dan sifat persaingan di industri. Selain itu, kesuksesan perusahaan di era digital tidak sesederhana menggunakan teknologi yang terkini, memiliki data yang lebih banyak atau lebih baik, tetapi memiliki leadership teams yang menetapkan tujuan dengan jelas dan mendefinisikan kesuksesan yang ingin dicapai.

Menjalankan kepemimpinan dalam transformasi digital menjadi lebih menantang. Di era yang serba akseleratif ini, pimpinan bisnis harus bisa menangani berbagai opsi dan gesit. Selain itu, kepemimpinan dalam ekonomi digital perlu lebih terdesentralisasi dan harus menggunakan kompetensi dan kecerdasan kolektif di perusahaan. Kepemimpinan perlu lebih berjejaring, terbuka, partisipatif, gesit, dan berbasis kepercayaan. Ini menyiratkan bahwa dalam waktu terdistribusi informasi dan pengetahuan juga kepemimpinan perlu didistribusikan dan dibagi. Keputusan harus diambil lebih terdesentralisasi, dan dalam kasus keputusan pusat, kecerdasan kolektif dalam perusahaan harus digunakan.

Selain tantangan kepemimpinan, transformasi digital menuntut perubahan terjadi secara menyeluruh pada seluruh sendi organisasi. Mengelola perubahan agar transformasi digital tercapai secara kafah bukan perkara mudah, terlebih dalam mengelola manusia. Aspek ini penting, sebab jika organisasi gagal mengadopsi perubahan secara holistik, akan berdampak pada kegagalan seluruh rancangan dari transformasi digital. Aspek manusia dalam proses manajemen perubahan mencakup kompetensi individu, tim, dan kepemimpinan. Sebab bagaimanapun, perubahan digital yang merupakan ruh dari Industri 4.0 tidak menghapus kebutuhan akan wawasan atau pengalaman manusia.

Perubahan yang dilakukan melalui transformasi digital adalah nyata. Bahkan ketika para pemimpin melihat ancaman dalam proses transformasi, seluruh anggota organisasi perlu diyakinkan. Banyak karyawan merasa mereka dibayar untuk melakukan suatu pekerjaan, bukan untuk mengubah pekerjaan itu, –dan mereka telah menjalani inisiatif besar di masa lalu yang gagal menjadi kenyataan. Bagi banyak orang, transformasi digital tidak relevan atau hanya iseng-iseng. Masih ada orang lain yang mungkin tidak mengerti bagaimana perubahan mempengaruhi pekerjaan mereka atau bagaimana mereka bisa melakukan transisi. Peran manajemen adalah untuk menangkap peluang dan mendorong perubahan.

Industri 4.0 merupakan paradigma bisnis baru yang berasal dari digitalisasi atau virtualisasi, yang cenderung banyak mengubah cara barang dan jasa diproduksi. Organisasi, pada gilirannya, perlu memahami secara tepat paradigma baru ini untuk bertahan dalam ekonomi digital. Ini tentang transformasi yang telah terjadi dan berdampak pada masyarakat dan ekonomi sejak awal abad ke-21, melalui teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dengan dampak yang signifikan baik dalam produksi barang maupun penyediaan jasa. Perusahaan harus menemukan cara untuk secara cerdas menggunakan koneksi konsumen barang dan jasa (produk) untuk memenuhi opini, informasi sosial, demografis dan bahkan psikologis yang mempengaruhi konsumsi barang atau jasa (produk) tertentu.

Kekuatan teknologi tidak menghilangkan kebutuhan akan visi atau wawasan dari manusia. Sebaliknya, perusahaan harus tetap memiliki pemimpin yang dapat menangkap peluang besar, memahami bagaimana pasar berkembang, berpikir kreatif, menawarkan ide yang benar-benar baru, mengartikulasikan visi yang menarik, mendorong orang lain untuk melakukan dan bekerja keras merealisasikannya, dan menangani secara efektif para pelanggan, pemangku kepentingan, karyawan, dan pemangku kepentingan lainnya.

Referensi

Blanchet, M., Rinn, T., Thaden, GV., Theulloy, GD. (2014). Industry 4.0: The New Industrial Revolution, How Europe Will Succeed. Roland Berger Strategy Consultant.

Foresti, Fabricio. & Varvakis, Gregorio. 2018. Ubiquity and Industry 4.0.  In: K. North et al. (eds.), Knowledge Management in Digital Change. Springer International Publishing AG . Progress in IS, https://doi.org/10.1007/978-3-319-73546-7_21

Harvard Business Review (HBR). (2012). Big Data: The Management Revolution. HBR.ORG.

Galbraith, JR. (2000). The Role of Formal Structure and Process. In: M. Beer & Nohria (Eds), Breaking the Code of Change. Boston, MA: Harvard University Press, pp. 139-138.

Juhro, S. M. (n.d.). Central Banking Practices in the Digital Era: Salient Challenges, Lessons, and Implications 1. Link: https://www.bi.go.id/id/bi-institute/policy-mix/Documents/CB_in_the_Digital_Era_2021.pdf, diakses pada 16 Desember 2021.

Koss, Thomas. (2021). What is the Role of the Central Bank of the Future. Diambil dari website EY. Link: https://www.ey.com/en_gl/eu-institutions/what-is-the-role-of-the-central-bank-of-the-future.

Maier, E., & Reimer, U. (2018). Digital Change—New Opportunities and Challenges for Tapping Experience and Lessons Learned for Organisational Value Creation (pp. 83–95). https://doi.org/10.1007/978-3-319-73546-7_5

Mittleman, Angelika. (2018). Competence Development for Work 4.0. In: K. North et al. (eds.), Knowledge Management in Digital Change. Springer International Publishing AG. Progress in IS, https://doi.org/10.1007/978-3-319-73546-7_16 

Petry, Thorsten. (2018). Digital Leadership. In: K. North et al. (eds.), Knowledge Management in Digital Change. Springer International Publishing AG. Progress in IS, https://doi.org/10.1007/978-3-319-73546-7_12 

Saldanha, Tony. (2019). Why Digital Transformations Fail: The Surprising Disciplines of How to Take Off and Stay Ahead. Oakland: Berrett-Koehler Publishers.

Westerman, G. Bonnet, D., McAfee. A. (2014). Leading Digital : Turning Technology Into Business Transformation. Boston: Harvard Business School Publishing.

Wihantoro, Yulian. (2021). Transformasi Digital sebagai Respons Bank Indonesia terhadap Perubahan Lingkungan Strategis. Presentasi disampaikan pada Kuliah Umum Manajemen Stratejik PPIM FEB UI, 8 Desember 2021

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar