Metaverse, Lantas?

Skrinsut dari about.facebook.com

Metaverse semakin intens menjadi perbincangan di jagat teknologi sejak Mark Zuckerberg mengumumkan perubahan nama perusahaannya, Facebook Inc, menjadi Meta. Para analis, futurolog, peneliti dan praktisi teknologi, pemerintahan, hingga dunia bisnis ramai mendiskusikan, bagaimana mereka memanfaatkan metaverse sebagai dunia parael yang juga bisa bernilai ekonomi dan bisnis.

Pada sisi sebaliknya, banyak pula yang mengerdilkan ide tersebut, menjadikannya lelucon, hingga mengungkapkan kekhawatiran tentang dampak negatif yang akan diakibatkan jika metaverse benar-benar hadir dan menciptakan ‘dunia baru’ bagi umat manusia.

Tapi, bukankah setiap teknologi memiliki sisi baik sekaligus sisi buruk?

Metaverse memang belum sepenuhnya hadir. Teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) pun belum cukup mendapat pasar yang massif dan masih sebatas dimanfaatkan kalangan tertentu, untuk bermain game, misalnya. Sementara itu, sebagian besar gamers masih belum memiliki sistem VR. Hanya 29% dari 169 juta gamers di Amerika Serikat yang mengaku memilikinya, menurut angka dari Entertainment Software Association. Namun raksasa-raksasa teknologi dunia kita mulai berlomba-lomba menciptakan peranti keras maupun peranti lunak agar metaverse segera terwujud. Mereka berinvestasi dalam visi metaverse, sebab tidak ingin mengambil risiko tertinggal.

Metaverse telah menjadi “sasaran” terbaru bagi banyak raksasa teknologi dunia, seperti mendorong pembelian Oculus VR oleh Facebook dan dunia virtual/ruang pertemuan Horizon. Belum lagi banyak proyek lainnya, seperti kacamata AR dan antarmuka dan komunikasi brain-to-machine. Puluhan miliar dolar yang akan dihabiskan untuk game cloud selama dekade berikutnya juga didasarkan pada keyakinan bahwa teknologi semacam itu akan menopang masa depan virtual online-offline.

Metaverse adalah dunia maya yang menghubungkan augmented reality dan virtual reality bersama-sama, memungkinkan avatar, sebagai ‘diri kita’ di dunia maya, untuk melompat mulus dari satu aktivitas ke aktivitas berikutnya. Metaverse mengacu pada lingkungan digital yang imersif, di mana orang berinteraksi sebagai avatar. Istilah “metaverse” sendiri dapat ditelusuri kembali ke buku fiksi ilmiah karya Neal Stephenson tahun 1992, “Snow Crash”. Buku inilah ide awal mengenai apa yang akan menjadi evolusi berikutnya di dunia internet, yang menemukan momentumnya beberapa waktu belakangan ini. Kehadiran metaverse didorong oleh konvergensi teknologi, dan menjadi pintu gerbang ke sebagian besar pengalaman digital di masa mendatang.

Mewujudkan metaverse butuh usaha besar yang membutuhkan standardisasi dan kerja sama di antara berbagai pihak, termasuk raksasa-raksasa teknologi yang kini sebenarnya cenderung enggan berkolaborasi satu sama lain. Sebab, untuk menjadi alam semesta yang seutuhnya, tidak ada satu perusahaan pun yang dapat memiliki metaverse. Sama seperti tidak ada yang memiliki Internet. Tetapi perusahaan mungkin mencoba untuk memonopoli sudut metaverse masing-masing, seperti segelintir perusahaan teknologi besar yang mendominasi konten online saat ini. Perusahaan dapat melakukan ini dengan cara yang mirip dengan cara mereka menghasilkan uang dari aplikasi melalui layanan berlangganan, keranjang belanja, dan iklan (Brown, 2021). Karenanya, untuk menghindari terjadinya market imperfection, kolaborasi di antara raksasa-raksasa teknologi menjadi niscaya.

Metaverse tidak boleh menjadi monopoli satu atau dua perusahaan besar saja, melainkan menjadi ruang bersama yang egaliter bagi dunia bisnis. Sejauh ini belum jelas tentang siapa yang akan memimpinnya atau bagaimana mereka akan membawa kita ke sana. Dan sebenarnya, kemungkinan besar metaverse muncul dari jaringan berbagai platform, badan, dan teknologi yang bekerja bersama dan merangkul interoperabilitas.

Mark Zuckerberg dalam surat yang dipublikasikan di website perusahaannya menulis:

Metaverse tidak akan dibuat oleh satu perusahaan. Ini akan dibangun oleh pembuat dan pengembang yang membuat pengalaman baru dan item digital yang dapat dioperasikan dan membuka ekonomi kreatif yang jauh lebih besar daripada yang dibatasi oleh platform saat ini dan kebijakan mereka. Peran kami dalam perjalanan ini adalah untuk mempercepat pengembangan teknologi dasar, platform sosial, dan alat kreatif untuk menghidupkan metaverse, dan menenun teknologi ini melalui aplikasi media sosial kami. Kami percaya metaverse dapat memungkinkan pengalaman sosial yang lebih baik daripada apa pun yang ada saat ini, dan kami akan mendedikasikan energi kami untuk membantu mencapai potensinya.

Tantangan kolaborasi kemungkinan akan terhambat oleh munculnya kompetisi dalam penciptaan metaverse, di mana pada saat yang sama, kemungkinan China akan mengembangkan sesuatu yang berbeda dari metaverse versi Barat. Konglomerat teknologi/media Tencent berpeluang menjadi jangkar. Perusahaan ini dilaporkan memiliki 40% Epic Games, pembuat game virtual Fortnite.

Lantas, bagaimana kita meresponsnya?

Melihat keseriusan raksasa-raksasa teknologi dunia dan perkembangan yang sudah dicapai sejauh ini, jelas kita tak bisa berdiam dan duduk manis bersiap sekadar menjadi konsumen.

Metaverse adalah dunia paralel yang diciptakan serupa dengan dunia nyata. Karenanya metaverse menjadi ruang bisnis baru bagi perusahaan untuk mengeruk keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Metaverse hadir untuk mengubah cara mengalokasikan dan memonetisasi sumber daya modern. Di dalam metaverse, misalnya, aktivitas kerja dapat dilakukan virtual. Semakin banyaknya aktivitas konsumen yang beralih ke layanan dan pengalaman virtual, kita juga akan melihat metaverse sebagai etalase baru bagi perusahaan untuk memasarkan produknya dengan jangkauan yang luas, seperti e-commerce yang telah berjalan selama ini, namun dengan experience yang lebih menarik bagi pelanggan.

Bagi bisnis ritel, misalnya, dimensi spasial semakin luas karena pengecer dapat beroperasi secara bersamaan di tiga ruang yang berbeda, tetapi saling terkait: pengecer tradisional, pengecer elektronik, dan pengecer metaverse. Dengan munculnya perdagangan digital, metaverse akan membuka peluang baru bagi pembeli dan penjual untuk terhubung dengan cara baru.

Metaverse juga akan mengubah cara mengonsumsi konten. Ini berarti cara kita mengkonsumsi merek juga bergeser. Metaverse adalah pertemuan banyak hal mulai dari sosial, game, hingga cryptoMetaverse adalah dunia virtual di mana pengguna, yang diwakili oleh avatar, dapat berbelanja, bersosialisasi, mengambil bagian dalam kegiatan rekreasi, dan belajar. Metaverse adalah teknologi yang sangat penting di masa depan bagi pemasar dan pengiklan. Ia menjadi media potensial untuk cara beriklan yang baru. Pengalaman periklanan yang bervariasi seperti itu dapat bersifat imersif atau menyerap, aktif atau pasif. Mode iklan potensial misalnya penempatan produk objek 3-D (seperti pakaian bermerek), papan iklan, radio, pertunjukan musik, film dan video, advergames (biasanya mini-worlds atau mini-games), dan penawaran dan aktivitas lintas-promosi.

Dunia virtual adalah fenomena yang kompleks karena menawarkan banyak jenis pengalaman pemasaran yang sampai sekarang tidak terlihat dalam satu saluran. Dunia virtual tidak hanya dirancang untuk menghibur pengguna (pelanggan), tetapi juga untuk melibatkan mereka dalam sebuah pengalaman. Penggunaan berbagai indera dalam pengalaman ini dapat membuatnya jauh lebih efektif, dan ini bahkan lebih terjadi di lingkungan yang merangsang emosional, baru atau tidak terstruktur dari jenis yang terlihat di dunia maya.

Alam semesta virtual menciptakan peluang investasi virtual pula. Perusahaan bisa berinvestasi membeli aset-aset digitalnya. Misalnya berivestasi pada tanah digital. Misalnya membangun kantor virtual, atau membeli tanah digital untuk digunakan sebagai sarana produksi. Republic Real Estate, sebuah perusahaan yang telah mengumpulkan uang untuk membeli kondominium yang tertekan di dunia fisik, meluncurkan dana awal tahun ini yang ditujukan untuk investor yang ingin membeli tanah virtual. Usaha ini berencana untuk membeli parsel di beberapa “metaverse” online dan mengembangkannya menjadi hotel virtual, toko, dan penggunaan lainnya, dengan tujuan meningkatkan nilainya di kalangan penggemar cryptocurrency.

Beragam Tantangan

Tentu saja ada tantangan yang harus kita antisipasi, agar kelak tak muncul dampak sosio-psiko-ekonomi-keamanan yang merugikan umat manusia.

Berkaca dari kasus Cambridge Analytica dan beragam kritik keras terhadap dampak negatif Facebook serta berbagai media sosial lainnya, isu privasi akan menjadi isu terpenting. Privasi berkaitan dengan kebebasan, martabat seseorang, dan keamanan beraktivitas di dunia maya. Di era Web 2.0 saat ini –dan kemudian Web 3.0, informasi pribadi menjadi sesuatu yang mudah untuk dibagikan ole pengguna. Informasi yang dibagikan secara online itu seharusnya dapat dilindungi dan memberikan rasa aman. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Ketika metaverse hadir nantinya, pengguna akan membagikan lebih banyak lagi informasi maupun pengalaman pribadinya di dunia maya. Realitas virtual dan perangkat keras augmented reality, alat dari dunia digital baru ini, semakin memperluas informasi yang dapat dikumpulkan oleh perusahaan teknologi data, termasuk segala sesuatu mulai dari lokasi, detak jantung, hingga gerakan mata dan jari pengguna. Tanpa fokus bersama pada perlindungan data, metaverse akan menjadi ruang lain di mana data pengguna dieksploitasi untuk keuntungan finansial pribadi.

Sebagian besar negara di dunia ini masih kekurangan undang-undang privasi data yang sesuai untuk tujuan tertentu. Dalam konteks ini, pemanenan data di metaverse bisa menjadi mimpi buruk privasi baru. Perusahaan-perusahaan ini akan memiliki akses ke data biometrik sensitif. Informasi semacam itu tidak sama seperti nomor kartu kredit atau kata sandi akun email, melainkan data tentang diri pengguna yang tidak dapat diubah, yang membuat potensi kebocoran atau monetisasi menjadi sangat mengkhawatirkan.

Meskipun perusahaan dan organisasi terus merevolusi sistem keamanan TI, privasi dan keamanan data telah lama menjadi perhatian pengguna di lingkungan online mana pun. Ketika individu maupun organisasi perusahaan beramai-ramai masuk ke dalam metaverse, dibutuhkan metode keamanan ke tingkat yang sama sekali baru, setara dengan ruang metaverse yang semakin berkembang. Diperlukan pengembangan metode baru data pribadi dan perlindungan privasi yang dapat menjamin keamanan identitas dan harta benda seseorang di dunia maya. Dengan itu, verifikasi pribadi mungkin sampai pada titik di mana pengguna harus memberikan lebih banyak data pribadi daripada yang diharapkan saat ini, untuk mengidentifikasi diri sendiri dan memastikan sistem keamanan bekerja secara efisien, menjaga keamanan data pribadi.

Dari sisi pemerintahan-pemerintahan di seluruh dunia, respons dan kesiapan menghadapi kehadiran metaverse tentu beragam. Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional memiliki sikap yang berbeda terhadap metaverse dan teknologi yang menopangnya. Dalam sistem ekonomi metaverse, misalnya, pondasi terpenting adalah ekonomi token berdasarkan blockchainBlockchain adalah teknologi mata uang digital yang paling penting. 

Ya, metaverse mengintegrasikan teknologi paling canggih seperti 5G, komputasi awan, blockchain, kecerdasan buatan, dan lainnya, dan memiliki aplikasi di berbagai bidang seperti video game, seni, dan bisnis. Karena kebijakan yang berbeda dari berbagai negara di metaverse, perusahaan perwakilan dan produk khas mereka serta rencana pengembangan juga berbeda di negara yang berbeda. Misalnya, Amerika Serikat, sebagai pelopor metaverse, memiliki tata letak metaverse yang relatif luas, yang diterapkan di banyak bidang seperti bisnis, permainan, seni, dan urusan sosial. China memiliki pasar yang besar dan perusahaan internet dan aplikasi internet yang kuat. Perusahaan internet domestik berturut-turut memperkenalkan bisnis, video game, dan seni di metaverse. Jepang, misalnya, berfokus pada area aplikasinya dalam animasi dan video game, sementara metaverse di Korea Selatan dipimpin oleh pemerintah dan didorong oleh industri hiburan. Merek mewah Jerman dan Italia mencoba menjadikan lebih banyak orang sebagai pelanggan mereka melalui produk virtual, dan seterusnya.

Menyelami dunia metaverse akan memunculkan pertanyaan tentang undang-undang dan yurisdiksi, yang mengharuskan negara-negara untuk melihat lebih banyak ke dalam domain hukum virtual. Dengan berkembangnya ruang virtual yang dapat diakses oleh pengguna di seluruh dunia, penting untuk mengidentifikasi sarana yang sesuai dengan masalah yurisdiksi yang akan diterapkan. Metaverse terikat untuk menyatukan sejumlah besar pengguna, menjadikannya tempat peluang besar untuk terhubung dan bertukar, namun pada saat yang sama membuat pengguna rentan jika tidak ada undang-undang yang mengatur batasan. Ini akan menjadi tantangan nyata untuk mengidentifikasi yurisdiksi serta menetapkan undang-undang yang dapat memastikan ruang virtual aman dan terjamin bagi penggunanya.

Yang tak kalah rumit tentu tantangan yang berkaitan dengan teknologi. Ketika akan masuk ke dunia metaverse, maka perusahaan harus mampu beradaptasi dan menyiapkan investasi yang tidak murah. Metaverse adalah disrupsi yang akan mengubah lanskap bisnis di masa depan. Kemampuan memanfaatkan teknologi big datainternet of things (IoT), dan blockchain menjadi tantangan yang tidak mudah bagi perusahaan. Tentu saja berkaitan dengan investasi, visi kepemimpinan, change management, dan digitisasi yang menyeluruh.

Ekonomi global sebagian besar berhasil karena keterbukaan, perdagangan, dan arus orang dan data dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya. Hal ini juga harus menjadi model untuk ekonomi metaverse. Orang akan membutuhkan cara untuk memindahkan avatar, aset (mis. non-fungible token/NFT) dan mata uang di seluruh platform, seminimal mungkin tanpa bea masuk atau nilai tukar. Pengguna juga akan membutuhkan cara untuk melihat semua aset digital mereka di satu tempat. Untuk mengelola ini, layanan keuangan baru, seperti dompet metaverse atau fasilitas penyimpanan terkunci yang berbasis blockchain, akan dibutuhkan.

Enabler utama layanan virtual tersebut adalah “kembaran digital”, yaitu replikasi digital entitas dunia nyata di metaverse, misalnya kota kembar, avatar, dan lainnya. Mahadata di dunia nyata yang dikumpulkan oleh perangkat dan sensor IoT adalah kunci untuk sinkronisasi dua dunia.

Referensi

Barnes, Stuart. (2007). Virtual Worlds as a Medium for Advertising. the DATABASE for Advances in Information SystemsVolume 38Issue 4November 2007 pp 45–55. https://doi.org/10.1145/1314234.1314244.

Barnes, Stuart & Mattsson, Jan. (2008). Brand Value in Virtual Worlds: An Axiological Approach. Journal of Electronic Commerce Research, VOL 9, NO 3, 2008 

Bell, Matthew. (2020). The Metaverse: What It Is, Where to Find it, and Who Will Build It. Link: https://www.matthewball.vc/all/themetaverse. Diakses pada 19 Desember 2021.

Bourlakis, M., Papagiannidis, S. & Li, F. Retail spatial evolution: paving the way from traditional to metaverse retailingElectron Commer Res 9, 135–148 (2009). https://doi.org/10.1007/s10660-009-9030-8

Brown, Dalvin. (2021). What is the ‘metaverse’? Facebook says it’s the future of the Internet. The Washington Post, August 30, 2021. Link: https://www.washingtonpost.com/technology/2021/08/30/what-is-the-metaverse. Diakses pada 19 Desember 2021.

Dunford, Kara. (2021). The Metaverse: A Bold, Exciting Digital Future or a Digital Dystopia Like We’ve Never Seen Before? Web Foundation. Link: https://webfoundation.org/2021/12/the-metaverse-a-bold-exciting-digital-future-or-a-digital-dystopia-like-weve-never-seen-before. Diakses pada 19 Desember 2021.

Dziyuba, Alex. & Rohi, Anna. (2021). 7 Challenges of The Metaverse. Link: https://lucidrealitylabs.com/blog/7-challenges-of-the-metaverse. Diakses pada 19 Desember 2021.

Goh, Brenda. (2021). Tencent says Beijing likely to support metaverse – as long as it obeys China rules. Link: https://www.reuters.com/technology/tencent-says-beijing-likely-support-metaverse-long-it-obeys-china-rules-2021-11-11. Diakses pada 19 Desember 2021.

Jeon, Joo-Eon. (2021). The Effects of User Experience-Based Design Innovativeness on User– Metaverse Platform Channel Relationships in South Korea. Journal of Distribution Science 19-11 p81-90.

Kim, Jooyoung. (2021). Advertising in the Metaverse: Research Agenda. Journal of Interactive Advertising, DOI: 10.1080/15252019.2021.2001273 

Porter, Michael E. (1979). Understanding Industry Structure. Harvard Business Review, July-August 1979. Link: https://web.uniroma1.it/dip_management/sites/default/files /Understanding%20Industry%20Structure%20HBR.pdf. Diakses pada 19 Desember 2021.

Rehm, Sven-Volker; Goel, Lakshmi; Crespi, Mattia. (2015). The Metaverse as Mediator between Technology, Trends, and the Digital Transformation of Society and Business. Journal of Virtual Worlds Research Vol 8 No 2.

Squirres, Camille. (2021). Seoul Will be the First City Government to Join the Metaverse. Artikel bertanggal 10 November 2021. Link: https://qz.com/2086353/seoul-is-developing-a-metaverse-government-platform. Diakses pada 19 Desember 2021.

Wang, H. N., Lin, Y., Wang, W., Dhelim, S., Farha, F., Ding, J., & Daneshmand, M. (2021). A Survey on Metaverse: the State-of-the-art, Technologies, Applications, and Challenges. Link: https://arxiv.org/ftp/arxiv/papers/2111/2111.09673.pdf. Diakses pada 19 Desember 2021.

Ward, Matthew & Moar, Colin. (2021). Metaverse & the Disruption of the Internet. Barings. Link: https://www.barings.com/sg/guest/viewpoints/metaverse-the-disruption-of-the-internet. Diakses pada 19 Desember 2021.

Wells, Charlie. (2021). Bloomberg Wealth: Your Money in the Metaverse. Artikel di Bloomberg.com tanggal 16 Desember 2021. Link: https://www.bloomberg.com/news/newsletters/2021-12-16/how-to-invest-in-the-metaverse-do-you-need-a-financial-plan-for-virtual-world. Diakses pada 19 Desember 2021.

Yue, Han; Niyato, Dusit; Leung, Cyril; Miao, Chunyan, Kim, Dong In. (2021). A Dynamic Resource Allocation Framework for Synchronizing Metaverse with IoT Service and Data. Cornell University. Link: https://arxiv.org/abs/2111.00431v1. Diakses pada 19 Desember 2021.

Zuckerberg, Mark. (2021). Founder’s Letter, 2021. Link: https://about.fb.com/news/2021/10/founders-letter. Diakses pada 19 Desember 2021.

Artikel:

https://www.kompas.com/properti/read/2021/12/12/150000721/bill-gates-ramal-3-tahun- mendatang-rapat-kantor-digelar-di-metaverse?page=all

https://www.kompas.com/properti/read/2021/12/09/063000321/korsel-bangun- metaverse-seoul-bakal-jadi-kota-digital-pertama-di-dunia-

Youtube Channel:

Facebook’s Metaverse: Peluang atau Ancaman? https://www.youtube.com/watch?v=IiaEjGjdckI

The Metaverse and How We’ll Build It Together — Connect 2021 https://www.youtube.com/watch?v=Uvufun6xer8

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar