Budaya inovasi ala Google

Kantor pusat Google di Mountain View, San Francisco. (Fajri/2016)

Inovasi adalah mantra yang harus terus dirapal para entrepreneur atau dunia bisnis. Kunci bagi perusahaan kalau mau mempertahankan posisi strategis di pasar atau ingin meraih dan menjaga keunggulan kompetitif.

Ketiadaan inovasi adalah pangkal kematian bagi sebuah organisasi.

Pembicaraan inovasi akhir-akhir ini lebih banyak didominasi pembahasan mengenai perkembangan teknologi informasi dan digital. Semua sektor berlomba-lomba melakukan transformasi bisnis dan menjadikan teknologi digital sebagai enabler untuk mendorong produktivitas, komunikasi, hingga penjualan. Teknologi digital, yang antara lain dimotori oleh masifnya produksi ponsel pintar yang terjangkau, teknologi mahadata, IoT, artificial intelligence, dan media sosial, telah mengubah perilaku individu maupun organisasi.

Temuan McKinsey yang dirilis Oktober 2020 menunjukkan, para eksekutif menyadari strategi teknologi sebagai komponen penting bisnis. Bukan hanya faktor efisiensi biaya. Responden dari perusahaan yang telah berhasil merespons krisis melaporkan serangkaian kemampuan teknologi yang tidak dimiliki perusahaan lain, terutama mengisi celah untuk talenta teknologi selama krisis, penggunaan teknologi yang lebih maju, dan kecepatan dalam bereksperimen dan berinovasi.

Hasil survei McKinsey mengkonfirmasi pergeseran cepat dalam interaksi dengan pelanggan melalui saluran digital. Juga menunjukkan bahwa tingkat adopsi lebih cepat beberapa tahun di depan dibandingkan ketika survei sebelumnya dilakukan.

Proses transformasi digital menjadi tantangan utama bagi kepemimpinan dan manajemen. Eberly (2013) menyebutkan, kepemimpinan tradisional tidak lagi relevan, dan sebaliknya diperlukan bentuk kepemimpinan digital. Para ahli berpendapat bahwa kepemimpinan memainkan peran penting dalam pengenalan dan adopsi inisiatif perubahan digital dalam organisasi.

Pada saat yang sama, kepemimpinan juga dipengaruhi oleh pengenalan dan penggunaan teknologi, karena teknologi mengubah konteks kepemimpinan serta bagaimana kepemimpinan dapat diterapkan dalam konteks baru.

Dalam sebuah diskusi di kelas stratejik mengenai strategic enterpreneurship, ada pembahasan menarik mengenai bagaimana inovasi dan enterpreneurship oleh korporasi dilakukan. Apakah faktor leader yang lebih menentukan ataukah budaya organisasi yang berperan penting?

2016

Jadi teringat saat saya berkesempatan berkunjung ke markas pusat Google di Mountain View, San Francisco. Reportase saya tentang ini sudah pernah dipublikasikan di sini.

Dalam sebuah sesi, Frederik G Pferdt, Head of Innovation and Creativity Google ketika itu, mengungkap rahasia inovasi Google. Kata dia, inovasi di Google selalu diawali dengan pertanyaan “bagaimana jika (what if)”.

Frasa what if itulah rupanya mantra yang memotivasi dan bersifat transformatif bagi setiap anggota organisasi Google.

“Buatlah pertanyaan ‘bagaimana jika kita membuat mobil yang bisa jalan sendiri’ atau bagaimana jika kita bisa memiliki banyak buku yang tersedia di saku kita’,” kata Frederik. 
 
Dari pertanyaan-pertanyaan yang diawali frasa tersebut, banyak inovasi tercipta di Google.
 
Hasilnya, dalam hal inovasi digital, Google adalah salah satu cerita yang paling menarik. Raksasa teknologi ini memiliki sekitar 2,8 miliar pengguna Android di tahun 2020, 2 miliar pengakses (logged-in) YouTube setiap bulannya, lebih dari 70.000 pencarian Google setiap detik.

Frederik G Pferdt, Head of Innovation and Creativity Google (Foto diambil 2016)

Inovasi-inovasi yang dilakukan Google telah meruntuhkan dominasi Yahoo! dalam layanan mesin pencari, mengalahkan kedigdayaan Internet Explorer untuk peramban internet, juga mengalihkan banyak pasang mata penonton televisi ke YouTube. Belum lagi kita bicara Maps, Google Playbook, Google Film, Google Book, Gmail, Android, dan seabrek produk lainnya.
 
Dalam teknologi mesin pencari, Google bukanlah mesin pencari Internet pertama. Setidaknya ada 19 mesin pencari—termasuk Lycos, Alta Vista, Excite, Yahoo!, dan Ask Jeeves—sebelum Google diperkenalkan pada tahun 1998. Google juga bukan satu-satunya mesin pencari Internet yang saat ini beroperasi. Saat ini, setidaknya ada 32 mesin pencari Internet, termasuk Ask.com, Bing, Baidu, dan DuckDuckGo.

Kembali ke cerita si Frederik.

Kata dia, ada sejumlah hal yang mendorong para karyawan Google untuk berinovasi. Pertama adalah pernyataan misi (mission statement). Frederik menyarankan, buatlah misi yang hampir mungkin sulit dicapai. Dengan demikian, setiap individu di dalam organisasi akan terus berupaya bisa meraihnya.
 
“Google misalnya memiliki misi membuat informasi dapat diakses di seluruh dunia. Tentu sangat sulit. Namun akan terus ada usaha untuk membuatnya terwujud,” ucapnya.

Selain itu membangun tradisi kepercayaan adalah hal yang esensial dalam membangun inovasi. Frederik mengatakan jangan pernah menolak gagasan, sekonyol apapun itu.
 
“Katakanlah ‘ya, dan bagaimana selanjutnya’, dan bukan ‘ya, tetapi bagaimana’,” saran dia. “Cobalah menerima ide orang lain dan membuatnya menjadi lebih baik dan lebih besar,” saran pria asal Jerman ini.

Inovasi memang bisa bersumber dari mana saja. Frederik lebih banyak menceritakan inovasi yang berasal dari internal perusahaan, atau lebih banyak didorong oleh knowledge push yang ada di internal. Dari cerita Frederik ini, kultur entrepreneurship dan inovasi memainkan peranan lebih penting. Dia sama sekali tidak menceritakan bagaimana peran dan pengaruh kepemimpinan terhadap budaya yang terbangun.

Pastinya faktor dynamic capabilities banyak mempengaruhi inovasi perusahaan raksasa ini. Namun kapabilitas itu tidak akan bisa diutilisasi jika Google tidak menciptakan kultur inovasi.

Meski begitu, kata Frederik, setiap ide yang dibuat semestinya difokuskan pada kebutuhan pengguna. Ide dibuat sembari melihat masalah dan kebutuhan dari sudut pandang yang diinginkan dari pelanggan. Inilah yang disebut sebagai faktor need pull terkait dorongan munculnya inovasi.

Suasana di salah satu sudut markas pusat Google di Mountain View, San Francisco.

Di kantor pusat Google di Mountain View, California, ada sebuah ruang yang disebut The Garage (Garasi). Ruangan ini merupakan tempat untuk “bermain”, membuat purwarupa, dan menjadi tempat terbuka bagi semua karyawan Google setiap saat.

“Di The Garage, kami mempelajari apa ide yang bisa berjalan dan apa yang tidak,” kata si Frederik.

Sayangnya ketika berkunjung ke sana, kami hanya diperbolehkan melongok dari luar.
 

Referensi:

Eberly, M. B., Johnson, M., D., Hernandez, M.: An Integrative Process Model of  Leadership: Examining Loci, Mechanisms, and Event Cycles. American Psychologist, 68(6), pp. 427–443 (2013).

https://www.mckinsey.com/business-functions/strategy-and-corporate-finance/our-insights/how-covid-19-has-pushed-companies-over-the-technology-tipping-point-and-transformed-business-forever

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Satu komentar pada “Budaya inovasi ala Google”

Tinggalkan komentar