Masa lalu hanya bisa kita datangi lewat kenangan di alam pikiran. Lewat kilasan-kilasan memori yang melintas di kepala, sekaligus merasakannya dalam sanubari atau perasaan batin yang masih tersisa tentang ingatan itu.
Ketika mengenang almarhum papa, misalnya, kupaksakan ingatan untuk menelusuri kembali waktu demi waktu atau langkah demi langkah perjalanan yang pernah kami lalui.
Dini hari 21 September 2021 ini, ketika mata sulit terpejam, kucoba mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi saat tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Kami sekeluarga tinggal di sana, ketika papa bertugas di tahun 1986-1989an. Usiaku mungkin sekitar enam tahun saat pertama menginjakkan kaki di Batam.
Cukup sulit mengingat apa yang terjadi pada masa kecil. Semakin bertambah usia, semakin sedikit memori masa kecil yang bisa dihadirkan.
Kami dulu tinggal di Komplek Telkom, Jalan Palapa II, Tanjung Pinggir, Kecamatan Sekupang. Rumah kami berada di ujung jalan, dikelilingi pepohonan yang nyaris seperti hutan. Ketika itu cukup sering rumah kami disinggahi monyet, biawak, atau ular. Suatu kali ular masuk hingga ke dalam kamar, yang tentu membuat panik sekeluarga.
Di samping rumah ada pohon nangka yang cukup besar. Suatu ketika Mbak Hin, asisten rumah tangga kami, terjatuh ketika memanjat pohon itu. Kebetulan saat itu saya bersama mama sedang duduk di teras yang menghadap ke pohon nangka itu.
Jika berdiri di depan rumah dan memandang ke depan, di malam hari kami bisa melihat cahaya lampu yang ada di pulau-pulau di seberang lautan. Terlihat juga lampu-lampu dari galangan kapal milik PT Bandar Victory Shipyard. Jika ditarik garis lurus, rumah kami memang hanya berjarak sekitar 500 meter kilometer dari galangan tersebut, dan mungkin sekitar satu kilometer hingga laut.
Rumah kami tak jauh letaknya dari Terminal Ferry Sekupang. Hanya sekitar dua kilometer. Lewat pelabuhan inilah suatu kali kami jalan-jalan ke Singapura. Sedangkan Bandara Hang Nadim berjarak cukup jauh, sekitar 30 kilometer. Ketika itu maskapai Garuda masih berwarna merah dan oranye.
Google Street cukup membantu mengangkat kembali memori yang sudah nyaris lenyap dalam ingatan. Kutelusuri jengkal demi jengkal dari pintu masuk komplek, di Jalan RE Martadinata, melewati Jalan Palapa. Sayangnya Google Street hanya menjangkau sampai Palapa I, tak sampai Palapa II tempat kami tinggal.
Persis di pojok Jalan Palapa dan Jalan Palapa II ada lapangan tenis, tempat papa biasa berolahraga bersama beberapa tetangga. Papa juga mengajakku turun lapangan, setelah membelikan sebuah raket tenis merek Yonex berwarna putih untuk ukuran anak-anak. Kuingat suatu saat pernah memecahkan termos berisi teh panas milik kawan saat beristirahat di sela permainan.
Hampir tiga tahun kami tinggal di Batam. Ketika itu papa bertugas sebagai perwakilan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk Otorita Batam. Sebelum kami sekeluarga diboyong, papa sudah terlebih dahulu pulang pergi Depok-Batam sejak 1985an. Selain urusan pekerjaan, tentu untuk mempersiapkan segala sesuatu sebelum kami sekeluarga berangkat. Salah satunya mempersiapkan sekolah untuk kami kakak beradik empat orang. Adik kami kelima, Fahmi, lahir tahun 1987 di pulau ini.
Surat-surat komunikasi antara papa dan mama yang dikirim antara Depok-Batam kini kusimpan rapi. Ketika itu di rumah kami di Depok sepertinya memang belum terpasang pesawat telepon.
Di Batam saya bersekolah sejak TK B sampai pertengahan kelas dua SD, hingga akhirnya kembali ke Depok. Letak sekolahku, TK Kartini dan SD Kartini I Batam, tak jauh dari rumah. Menurut Google Map hanya sekitar 2,3 kilometer. Pagi dan siang hari papa selalu mengantar-jemputku dan mbak ke/dari sekolah.
Semoga suatu hari nanti berkesempatan mengunjungi Batam kembali. Sekadar nostalgia mengenang perjalanan hidup yang pernah kami sekeluarga lalui. Mendatangi kembali beberapa tempat yang pernah kami singgahi: Pantai Nongsa, Nagoya, atau mungkin ke Pulau Bertam, tempat suku laut yang juga pernah kami datangi saat kegiatan bakti sosial.





Satu komentar pada “Mengingat Batam di akhir ‘80an”