Bumi yang semakin panas

Kanselir Jerman Angela Merkel terlihat di sebuah jembatan di Schuld, Jerman, Minggu, 18 Juli 2021 saat kunjungan di daerah yang dilanda banjir. Hujan deras selama berhari-hari menyebabkan banjir dahsyat di Jerman dan bagian lain Eropa Barat. (Foto: Associated Press via CP24)

Grup musik asal Inggris, Coldplay, mencolek Presiden Joko Widodo melalui akun Twitternya pada 18 September 2021.

.@jokowi, will you join @bankimooncentre and a coalition of Indonesian climate advocates at #GlobalCitizenLive to make a commitment to the planet? Where you lead, others will follow. 🇮🇩 💚

Originally tweeted by Coldplay (@coldplay) on 18 September 2021.

Masyarakat Indonesia heboh. Media-media online ramai memberitakan. Cuitan yang disisipi ikon bendera Indonesia dan ikon hati berwarna hijau itu memang menarik perhatian. Selain karena dicuitkan oleh band ternama dunia, secara konten juga menarik. Isu perubahan iklim menjadi tema penting para pemimpin dunia beberapa tahun terakhir. Setiap tahun juga digelar Konferensi Para Pihak (COP) United Nations Climate Change Conference. Tahun 2021 ini, COP digelar untuk ke-26 kalinya di Glasgow, Skotlandia.

Ban Ki-moon Centre adalah organisasi quasi-internasional berbasis di Wina, Austria yang fokus pada permasalahan global. Organisasi itu menggunakan nama pendirinya, yang juga mantan Sekretaris Jenderal ke-8 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Coldplay mengajak Jokowi bergabung dalam Global Citizen Live, siaran 24 jam yang dimulai pada 25 September 2021. Acara itu bertujuan menyatukan dunia dalam komitmen menyelamatkan planet dan mengentaskan kemiskinan.

Tak hanya Jokowi yang dicolek. Coldplay juga memention Presiden Emanuel Macron, Ketua DPR AS Nency Pelocy, dan politikus Norwegia Erna Solberg untuk menarik perhatian lebih luas terhadap kampanye itu.

Sehari sebelum cuitan Coldplay, para ahli yang bekerja untuk PBB mengkritik rencana sejumlah negara, termasuk Indonesia, dalam mengatasi perubahan iklim.

World Resources Institute and Climate Analytics menyoroti bagaimana China, India, Arab Saudi, dan Turki belum menyerahkan rencana terbaru mereka. Negara-negara ini bertanggung jawab atas 33% gas rumah kaca global. Adapun Australia dan Indonesia memiliki target pengurangan karbon yang sama seperti yang mereka lakukan pada tahun 2015. Padahal Perjanjian Paris terikat pada mekanisme ratchet, yang berarti target yang ditetapkan pada awal perjanjian adalah basis terendah dalam mengejar target pengurangan emisi. (Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58607693)

Laporan United in Science 2021 yang dirilis 16 September menyebutkan, Covid-19 hanya menurunkan emisi global dalam jangka pendek. Tidak ada tanda-tanda Bumi tumbuh kembali lebih hijau, karena emisi karbondioksida kembali meningkat setelah mengalami penurunan sementara akibat perlambatan ekonomi. Angkanya juga tidak mendekati target pengurangan. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer terus melanjutkan rekor, membuat planet ini terus mengalami pemanasan yang semakin membahayakan.

Laporan yang disusun Badan Meteorologi Dunia (WMO) itu mengatakan, meningkatnya suhu global memicu cuaca ekstrem yang menghancurkan di seluruh dunia, yang berdampak pada ekonomi dan masyarakat.

“Miliaran jam kerja telah hilang karena panas saja. Suhu rata-rata global selama lima tahun terakhir termasuk yang tertinggi dalam catatan. Ada kemungkinan yang meningkat bahwa suhu untuk sementara akan menembus ambang batas 1,5 derajat Celcius di atas era pra-industri, dalam lima tahun ke depan,” kata laporan itu.

David Wallace-Wells dalam Bumi yang Tak Dapat Dihuni (The Uninhabitable Earth, 2019) menulis tentang wabah yang dapat muncul akibat pemanasan global.

Kata dia, es bekerja seperti pencatat iklim, membekukan sejarah, yang sebagian bisa hidup lagi jika dicairkan. Ada penyakit-penyakit yang terjebak dalam es dan tak beredar di udara selama jutaan tahun. Bahkan sebelum ada manusia. Artinya, menurut dia, sistem kekebalan tubuh kita tak mengetahui bagaimana cara melawan penyakit purba yang kini masih tersimpan di dalam es.

Ilmuwan telah meneliti berbagai mikroba yang hidup kembali, setelah terperangkap es puluhan ribu tahun lalu. Bahkan penyakit-penyakit yang lebih menakutkan dari masa yang lebih baru juga muncul kembali. Di Alaska, tulis Wells, para peneliti menemukan sisa-sisa flu 1918 yang menulari sampai 500 juta orang dan menewaskan 50 juta (3%) penduduk Bumi.

Yang juga mengkhawatirkan para epidemolog dibanding penyakit purba adalah penyakit yang kini berpindah tempat, berubah, atau mengalami evolusi lanjutan karena pemanasan global. Dan kini kita tidak tahu apakah Covid-19 yang melanda dunia juga tersebar luas karena efek dari pemanasan global tersebut.

Bumi kita sedang tidak baik-baik saja dan keadaannya semakin memburuk, jika upaya mencegah pemanasan global tidak disertai komitmen kuat para pemimpin pemerintahan dunia.

“Ketika manusia sibuk melihat perubahan dalam hidup mereka, sebenarnya ada perubahan yang tak disadari manusia, yaitu alam, bumi. Kita mungkin semua setuju bahwa perubahan iklim adalah masalah mendesak yang harus ditangani. Tapi tidak mudah untuk menyepakati apa yang diyakini sebagai tindakan terbaik,” kata J-Hope, salah satu personel BTS asal Korea Selatan, saat berbicara mengenai isu iklim di hadapan Majelis Umum PBB ke-76, 20 September 2021.

Kelompok musik BTS asal Korea Selatan saat berbicara di hadapan Majelis Umum PBB ke-76.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar