Korupsi Politik dan Pemilu

Peluang korupsi semakin tercipta lantaran masih banyaknya celah di dalam sistem pemerintahan, seperti lemahnya sistem perencanaan pembangunan, penganggaran, maupun pengadaan barang dan jasa

Partai politik sejatinya adalah pilar demokrasi. Jika pilar ini tak lagi dipercaya rakyat, maka hal tersebut merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan demokrasi. Menurunnya kepercayaan rakyat terhadap partai politik setidaknya terkonfirmasi lewat survei yang dilakukan Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis Februari lalu, di mana hanya 22,4 persen responden yang menilai partai politik memiliki kinerja baik.

Ketidakpercayaan publik semakin memuncak lantaran partai politik telah dijadikan alat bagi elit-elitnya untuk mencapai kekuasaaan dengan cara-cara korup. Nyaris tak ada partai politik yang memiliki kursi di parlemen yang bersih dari dugaan korupsi. Tak pelak partai politik kemudian dituding sebagai tempat persemaian para koruptor.

Korupsi politik dilakukan oleh orang-orang atau pihak-pihak yang memiliki jabatan atau posisi politik. Bagi mereka, jabatan politik tidaklah lebih dari sekadar bidang pekerjaan yang bisa mendatangkan kekayaan berlimpah dengan cara instan. Motif para politisi yang bermental korup itu tak lebih dari sekadar mempertebal pundi-pundi kekayaan pribadi.

Max Weber dalam esai berjudul Politics as a Vocation (1919) mengemukakan rasa risihnya terhadap para politisi yang menjadikan politik sebagai profesi atau pekerjaan. Politisi yang mengedepankan tujuan politik sebagai sarana mencari hidup adalah sesuatu yang memalukan. Sebab pada dasarnya politisi adalah representasi ideal dari masyarakat umum, yang dipilih melalui sebuah kontestasi yang berat.

Ungkapan Weber itu menemukan bukti konkretnya dalam jagad politik Indonesia. Bagi para politisi bermental korup, semua cabang kekuasaan adalah lahan-lahan subur yang bisa digarap untuk mengalirkan kekayaan. Praktik korupsi tumbuh subur di lembaga parlemen, eksekutif, maupun lembaga-lembaga penegakan hukum. Kesemuanya melibatkan kader-kader partai politik di dalamnya.

Para politisi korup itu bukannya tidak mengerti fungsi dan peran yang seharusnya mereka tunaikan dalam kehidupan publik. Bagi mereka, prestasi dalam memperoleh jabatan-jabatan tertentu dianggap sebagai hadiah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, seraya melupakan bahwa sesungguhnya itu adalah amanat rakyat yang harus dipenuhi. Padahal seorang pejabat publik tak hanya memegang legitimasi politik, tetapi juga legitimasi etis yang harus dipegang teguh. Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral (Franz Magnis-Suseno, 1987). Setiap tindakan yang dilakukan oleh legislatif ataupun eksekutif, dapat dan harus dipertanyakan dari segi-segi norma moral.

Pemilu 2014

Para penggiat antikorupsi telah mewanti-wanti periode antara 2012 hingga 2014 merupakan masa-masa rawan terjadinya korupsi politik, di mana partai-partai politik mulai menyiapkan kemenangan dalam pemilihan umum. Kader partai politik di DPR atau pemerintahan saling bersaing dalam memperebutkan rente untuk mengamankan kebutuhan finansial mereka, atau bahkan saling bekerja sama di dalamnya. Sementara politik saling sandera mereka lakukan untuk mengamankan dari proses hukum.

Praktik korupsi bersama lintas-partai belakangan sudah mulai terlihat dari berbagai kasus yang tegah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baik di pusat maupun daerah. Misalnya KPK menangkap tangan tujuh anggota DPRD Riau pada awal April lalu karena diduga terlibat dalam korupsi pembahasan peraturan daerah tentang persiapan penyelenggaraan PON 2012 di Riau. Sementara pada level pusat, KPK saat ini terus gencar mengusut kasus Wisma Atlet ataupun proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu Hambalang yang melibatkan politisi dari beberapa partai politik.

Selain disebabkan oleh mental individu yang korup, korupsi yang dilakukan para politisi juga terkait dengan sistem politik dan pemerintahan. Dalam sistem politik parlementer, pratik korupsi umumnya dilakukan sebatas untuk membiayai aktivitas partai. Adapun dalam sistem presidensial, terminologi praktik korupsi biasanya mengarah pada pengumpulan dana untuk kepentingan kampanye seorang kandidat. Sementara bagi Indonesia yang menganut sistem presidensial dengan multipartai, di mana proses pemilihan anggota legislatif maupun eksekutifnya dilakukan secara langsung, maka praktik korupsi dilakukan untuk dua kepentingan, yaitu partai politik maupun para kandidat yang bertarung dalam pemilihan umum. Besarnya ongkos yang harus dikeluarkan partai politik untuk memenangkan pemilu dan menempatkan kader-kadernya dalam lembaga eksekutif maupun legislatif memunculkan adanya tekanan bagi kader-kader yang menempati jabatan-jabatan strategis di pusat maupun daerah.

Peluang korupsi semakin tercipta lantaran masih banyaknya celah di dalam sistem pemerintahan, seperti lemahnya sistem perencanaan pembangunan, penganggaran, maupun pengadaan barang dan jasa. Ada juga yang disebabkan oleh kesewenang-wenangan para kepala daerah dalam pemberian izin konsesi lahan untuk perkebunan dan pertambangan.

Maka tak heran jika Presiden SBY kebanjiran permohonan izin pemeriksaan pejabat politik yang diajukan lembaga-lembaga penegakan hukum. Presiden SBY sendiri telah menunjukkan komitmennya dan menegaskan dirinya tidak pernah menunda-nunda penandatanganan surat izin pemeriksaan para pejabat publik, seperti kepala daerah, anggota DPR, maupun para menterinya sekalipun.

Berkaca dari hal itu, maka yang perlu dilakukan adalah melakukan pengaturan esktraketat terhadap pendanaan politik menjelang digelarnya pesta demokrasi pada tahun 2014. Setidaknya ada beberapa pendekatan utama yang perlu dilakukan, yakni pembatasan jumlah sumbangan, pembatasan waktu kampanye, publikasi keuangan partai, dan pembatasan belanja dana kampanye.

Pengaturan tersebut perlu dilakukan, selain dalam rangka meminimalisir praktik-praktik korupsi untuk kepentingan pemenangan pemilu, juga untuk memulihkan kembali kepercayaan publik kepada partai politik. Bagaimanapun juga, kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita sangat tergantung kepada kualitas partai politik di dalam mengemban amanah dari masyarakat. Sedangkan bagi partai politik, ada keharusan untuk berbenah dan menancapkan komitmen untuk menjadi pilar yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Kita tentu berharap Pemilu 2014 kelak menghasilkan elit-elit politik bermartabat untuk duduk di lembaga-lembaga negara.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

2 tanggapan untuk “Korupsi Politik dan Pemilu”

Tinggalkan komentar