Kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas terus bermunculan dan berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Hari ini tercatat lebih dari 150 kesepakatan yang minimal melibatkan satu negara Asia, sementara 50-an kesepakatan lain masih dalam proses negosiasi. Di antara kesepakatan tersebut, Trans-Pacific Partnership (TPP) termasuk yang unik, salah satunya adalah karena memiliki sistem keanggotaan yang terbuka.
Maka tak heran dalam pertemuan dengan 21 negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Honolulu, Hawaii, beberapa waktu lalu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mempromosikan kawasan perdagangan bebas trans-Pasifik melalui TPP. Kemitraan ini diharapkan menjadi model bagi pakta perdagangan bebas lainnya.
TPP menjadi penting bagi AS karena tahun ini ekspor Negeri Paman Sam lebih banyak ditujukan ke negara-negara Lingkar Pasifik dibandingkan ke Eropa. Berdasarkan data yang dilansir Departemen Perdagangan AS, perusahaan-perusahaan AS lebih banyak menjual produknya ke Korea Selatan dibandingkan ke Prancis, dan lebih banyak ke Taiwan daripada Italia. Tahun lalu, ekspor ke kawasan tersebut menopang 850.000 tenaga kerja dalam negeri (Bloomberg.com, 11/11/2011).
Proses negosiasi hingga saat ini masih berlangsung menyangkut sejumlah hal klasik dalam perdagangan bebas: Paten, hak pekerja, perlindungan lingkungan, dan tarif yang melindungi industri domestik. Selain Amerika Serikat, sejauh ini sudah ada sembilan negara yang menyatakan diri bergabung, yaitu Australia, Brunei Darussalam, Chili, Malaysia, Selandia Baru, Peru, Singapura, Vietnam, dan Jepang.
Nantinya TPP akan menurunkan tarif dan hambatan perdagangan lainnya di antara negara-negara tersebut. Tak main-main, jika terealisasi, pakta itu akan menandai upaya paling ambisius di kawasan dan menciptakan pasar yang 40 persen lebih besar dari Uni Eropa. AS sendiri berharap janji terbukanya akses akan memikat Indonesia, Kanada, Meksiko, dan anggota APEC lainnya untuk bergabung, sehingga memperluas zona perdagangan di Lingkar Pasifik.
AS vs China
Isu integrasi ekonomi kawasan adalah agenda pokok dalam forum APEC, yang merupakan salah satu forum kerja sama ekonomi utama di kawasan Asia Pasifik. Hal ini dapat dilihat dari upaya untuk mewujudkan Kawasan Perdagangan bebas Asia Pasifik (FTAAP) sejak tahun 2006, sebagai salah satu opsi integrasi ekonomi kawasan. TPP sebagai opsi lainnya bahkan menjadi sorotan dalam forum-forum APEC dua tahun terakhir.
TPP, yang semula hanya dikenal sebagai Pacific 4 (Singapura, Brunei Darussalam, Chile, dan Selandia baru), kini semakin menarik perhatian semenjak bergabungnya enam negara lainnya. Jika nantinya benar-benar terbentuk mapan, dapat dipastikan TPP memiliki pengaruh yang cukup diperhatikan dalam pembentukan arsitektur regional dan global. Meskipun masih menjadi pertanyaan, akankah kesepakatan perdagangan bebas ini menciptakan perdagangan yang adil bagi anggota-anggotanya.
Terlepas dari itu, yang menarik adalah gencarnya pemerintahan Barack Obama mempromosikan TPP. Faktanya, TPP memiliki potensi yang signifikan bagi kebijakan perdagangan AS, dalam rangka memperpanjang sekaligus meningkatkan pengaruh dan kepemimpinan AS di kawasan Asia. Hal ini juga tidak lepas dari upaya AS untuk membendung meluasnya pengaruh China di kawasan Asia, khususnya di Asia Tenggara. Adanya persaingan eksistensi di antara dua kekuatan itu di Asia Tenggara, secara tidak langsung memasukkan kawasan ASEAN ke dalam bagian politik strategi AS menghadapi China. Dalam kaitannya dengan TPP, perlu dicatat bahwa lima besar ekonomi Asia Tenggara merupakan anggota APEC. Kawasan ini adalah tempat di mana AS harus menjaga eksistensinya, untuk mengimbangi China yang semakin diperhitungkan di kancah global.
Posisi Indonesia
Pemerintah Indonesia sendiri hingga kini menyatakan belum akan bergabung untuk lebih berkonsentrasi pada penyelesaian Putaran Doha WTO. Hanya saja, lantaran Putaran Doha masih mandek, Indonesia kini berfokus pada kerja sama perdagangan regional dan bilateral.
Konsistensi sikap Pemerintah Indonesia, baik yang dilontarkan oleh Mari Elka Pangestu saat masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan, hingga kini oleh Menteri Gita Wirjawan, adalah tepat. Indonesia saat ini sudah terlibat dalam sejumlah kesepakatan perdagangan bebas, dan belum sepenuhnya berjalan mulus dan memberi hasil yang maksimal bagi Indonesia.
Pilihan tersebut juga tidak terlepas dari kesiapan dan kapasitas daya saing industri Tanah Air. Untuk dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing, Indonesia membutuhkan waktu untuk mempersiapkan diri. Diperlukan proteksi bagi industri-industri yang masih belum mapan hingga cukup kuat untuk bersaing, sehingga dapat menciptakan perdagangan yang adil.
Pemberlakuan TPP memang akan membawa implikasi peningkatan ekspor ke negara-negara besar, seperti AS dan lainnya. Namun sebaliknya juga menghadirkan ancaman dengan membanjirnya produk-produk impor ke dalam negeri. Lebih jauh bahkan diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap titik-titik dari kesepakatan perdagangan bebas yang selama ini masih menimbulkan kerugian bagi Indonesia.
Masih banyak pekerjaan rumah untuk membenahi perekonomian dalam negeri. Apalagi Indonesia tak lama lagi akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economy Community/AEC). Pemerintah masih harus berkutat dengan sejumlah persoalan, seperti tingginya biaya produksi, suku bunga kredit, sumber daya kelistrikan dan gas, serta masih tingginya biaya logistik.
Apabila dipaksakan bergabung dengan TPP pada 2012 nanti, Indonesia baru akan menikmati hasilnya setelah beberapa tahun mendatang. Dalam hal ini kita bisa belajar dari diberlakukannya ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), yang hingga kini masih menimbulkan defisit perdagangan bagi Indonesia terhadap China. Apalagi saat ini posisi Indonesia masih relatif lemah, karena produk ekspor kita masih merupakan produk-produk konvensional.
Kita tentunya juga tak ingin menjadi pelanduk yang mati di antara dua gajah, dalam hal ini AS dan China, yang tengah bertarung menancapkan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara.