HARAPAN bakal dicapainya keputusan penting dalam KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, sejauh ini masih kabur. Tarik menarik antara negara-negara miskin dan berkembang mengenai target pengurangan emisi karbon masih cukup kuat.
Tawaran-tawaran yang diajukan negara-negara maju sepanjang konferensi yang dimulai sejak Senin 7 Desember lalu itu masih belum memenuhi rasa keadilan. Target pengurangan emisi yang mereka tawarkan hanya setengah hati, dan masih jauh dari jumlah yang ditargetkan.
Padahal semestinya negara-negara maju harus mengambil tanggung jawab atas emisi-emisinya di masa lalu, dan membantu negara-negara berkembang dengan bantuan pendanaan dan teknologi ramah lingkungan.
Setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi perhatian dalam konferensi yang sangat penting itu. Ketiganya adalah pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca, khususnya oleh negara-negara maju; dukungan dana untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim oleh negara-negara berkembang; dan skema perdagangan karbon yang ditujukan pada berakhirnya perusakan hutan dunia pada 2030.
Pemangkasan yang dibutuhkan saat ini adalah sebesar 25 hingga 40 persen sesuai level tahun 1990 pada 2020. Malahan para aktivis lingkungan berharap angka itu ditingkatkan menjadi 80 hingga 95 persen pada 2050. Sayangnya, tawar-menawar yang terjadi sepanjang beberapa hari ini masih jauh panggang dari api.
Padahal, pencapaian target itu penting sebagai bagian dari keadilan iklim. Sebab, pembangunan yang kini berkiblat pada paham neo-liberalisme dengan jargon liberalisasi perdagangan dan investasi kerap mengabaikan kelestarian lingkungan. Model pembangunan semacam inilah yang menyebabkan ketidakadilan global dalam hal iklim.
Karenanya para negosiator dari negara miskin dan berkembang ditantang untuk dapat menaklukkan sikap keras kepala negara-negara maju seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang. Terlebih beredarnya dokumen “Teks Denmark” yang berisi kongkalikong pihak-pihak tertentu menunjukkan adanya komitmen yang tidak kuat dari negara-negara maju.
Asal tahu saja, dalam dokumen itu disebutkan emisi karbon negara-negara berkembang dibatasi 1,44 ton per orang pada 2050. Namun negara-negara maju justru diperbolehkan menghamburkan 2,67 ton per orang. Padahal negara majulah yang selama ini paling banyak merusak bumi ini.