Perdebatan mengenai bertambahnya beban utang Indonesia semakin memanas beberapa waktu belakangan ini, termasuk pula isu mengenai program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang didanai dari utang, yang dilontarkan Ketua BPK Anwar Nasution.
Bagi calon presiden incumbent, isu tersebut tentu saja akan menurunkan tingkat elektabilitas, sehingga membuat pemilih yang rasional akan beralih kepada calon pasangan lainnya. Sebaliknya, bagi lawan politik calon incumbent, isu ini sangat seksi untuk dijadikan alat untuk menyerang.
Tak pelak isu tersebut memaksa Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelar jumpa pers pada Minggu sore kemarin untuk membeberkan klarifikasi. Selain membantah bahwa dana BLT dibiayai dari utang, Sri juga menegaskan bahwa rasio utang Indonesia terus menurun dibanding dengan negara lain, dari 89 persen terhadap PDB menjadi 32 persen.
Ketergantungan Indonesia terhadap utang memang berkurang, namun bertambahnya jumlah utang menunjukkan jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menambah pembiayaan selain dari pinjaman. Kita juga melihat kecenderungan hobi pemerintah menerbitkan surat utang negara.
Tengok saja bertambahnya jumlah utang sebesar Rp392 triliun dari Rp1.275 triliun pada 2004 menjadi Rp1.667 triliun pada 2009. Jumlah utang itu meliputi Rp747 triliun pinjaman luar negeri dan Rp920 triliun dalam bentuk surat berharga.
Jika dirata-rata, sebagaimana disampaikan para kritikus, utang negeri ini bertambah Rp80 triliun setiap tahun, mengalahkan rata-rata penambahan utang selama 32 tahun rezim Orde Baru yang mencapai Rp600 triliun.
Yang juga sangat disayangkan, selama ini banyak sekali utang luar negeri yang tidak efektif dan tidak dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, sehingga menjadi beban pemerintah. Soal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah berkomitmen untuk mencari tahu adanya kemungkinan kerugian negara.
Siapapun yang akan menjadi pemimpin negeri ini pada periode mendatang jelas akan terbebani dengan besarnya utang itu, termasuk jika calon incumbent terpilih kembali. Maka solusi yang diusulkan berbagai kalangan salah satunya adalah agar Indonesia tidak hanya meminta penjadwalan utang, namun juga perlu mendesak penghapusan.
Usulan tersebut memang telah ditolak mentah-mentah oleh Sri Mulyani yang khawatir negeri ini akan disejajarkan dengan negara-negara miskin, sehingga berakibat pada menurunnya kepercayaan lembaga internasional. Soal ini memang masih menjadi perdebatan, di tengah upaya kita untuk lepas dari jeratan lembaga-lembaga donor multinasional.
Sebagai masyarakat kita berharap bangsa ini keluar dari jeratan utang yang selama ini telah membunuh kreativitas pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan pembangunan lainnya. Kita juga berharap pemerintah memiliki political will untuk mencari terobosan lainnya, seperti mengefektifkan belanja dan memaksimalkan pajak. Hal tersebut semestinya juga dilakukan oleh siapapun yang akan memimpin negeri ini periode mendatang.
Jangan sampai solusi gali lobang tutup lobang dengan berutang kembali dan menjual aset-aset bangsa yang dipilih sebagai jalan pintas untuk membayar utang. Lebih-lebih jika utang dipakai untuk mengongkosi pengucuran dana jaring pengaman sosial bagi masyarakat. Itu sama saja membungkam dan menyuapi masyarakat dengan utang.
Perdebatan mengenai bertambahnya beban utang Indonesia semakin memanas beberapa waktu belakangan ini, termasuk pula isu mengenai program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang didanai dari utang, yang dilontarkan Ketua BPK Anwar Nasution.
Bagi calon presiden incumbent, isu tersebut tentu saja akan menurunkan tingkat elektabilitas, sehingga membuat pemilih yang rasional akan beralih kepada calon pasangan lainnya. Sebaliknya, bagi lawan politik calon incumbent, isu ini sangat seksi untuk dijadikan alat untuk menyerang.
Tak pelak isu tersebut memaksa Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelar jumpa pers pada Minggu sore kemarin untuk membeberkan klarifikasi. Selain membantah bahwa dana BLT dibiayai dari utang, Sri juga menegaskan bahwa rasio utang Indonesia terus menurun dibanding dengan negara lain, dari 89 persen terhadap PDB menjadi 32 persen.
Ketergantungan Indonesia terhadap utang memang berkurang, namun bertambahnya jumlah utang menunjukkan jika pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menambah pembiayaan selain dari pinjaman. Kita juga melihat kecenderungan hobi pemerintah menerbitkan surat utang negara.
Tengok saja bertambahnya jumlah utang sebesar Rp392 triliun dari Rp1.275 triliun pada 2004 menjadi Rp1.667 triliun pada 2009. Jumlah utang itu meliputi Rp747 triliun pinjaman luar negeri dan Rp920 triliun dalam bentuk surat berharga.
Jika dirata-rata, sebagaimana disampaikan para kritikus, utang negeri ini bertambah Rp80 triliun setiap tahun, mengalahkan rata-rata penambahan utang selama 32 tahun rezim Orde Baru yang mencapai Rp600 triliun.
Yang juga sangat disayangkan, selama ini banyak sekali utang luar negeri yang tidak efektif dan tidak dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, sehingga menjadi beban pemerintah. Soal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah berkomitmen untuk mencari tahu adanya kemungkinan kerugian negara.
Siapapun yang akan menjadi pemimpin negeri ini pada periode mendatang jelas akan terbebani dengan besarnya utang itu, termasuk jika calon incumbent terpilih kembali. Maka solusi yang diusulkan berbagai kalangan salah satunya adalah agar Indonesia tidak hanya meminta penjadwalan utang, namun juga perlu mendesak penghapusan.
Usulan tersebut memang telah ditolak mentah-mentah oleh Sri Mulyani yang khawatir negeri ini akan disejajarkan dengan negara-negara miskin, sehingga berakibat pada menurunnya kepercayaan lembaga internasional. Soal ini memang masih menjadi perdebatan, di tengah upaya kita untuk lepas dari jeratan lembaga-lembaga donor multinasional.
Sebagai masyarakat kita berharap bangsa ini keluar dari jeratan utang yang selama ini telah membunuh kreativitas pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan pembangunan lainnya. Kita juga berharap pemerintah memiliki political will untuk mencari terobosan lainnya, seperti mengefektifkan belanja dan memaksimalkan pajak. Hal tersebut semestinya juga dilakukan oleh siapapun yang akan memimpin negeri ini periode mendatang.
Jangan sampai solusi gali lobang tutup lobang dengan berutang kembali dan menjual aset-aset bangsa yang dipilih sebagai jalan pintas untuk membayar utang. Lebih-lebih jika utang dipakai untuk mengongkosi pengucuran dana jaring pengaman sosial bagi masyarakat. Itu sama saja membungkam dan menyuapi masyarakat dengan utang.
Penulis: NBN
Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.
Lihat semua pos milik NBN
sby yang hutang ank-cucu kita yang nanggung
SukaSuka