Potret buruk alutsista

Lagi-lagi kita ditunjukkan dengan bukti betapa buruknya alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI dengan insiden jatuhnya pesawat Hercules di Magetan, Jawa Timur, pagi tadi.
Semenjak awal tahun hingga saat ini sudah terjadi tiga kasus jatuhnya pesawat milik militer. 6 April lalu, Fokker 27 TNI-AU buatan tahun 1975 jatuh di hanggar Lanud Hussein Sastranegara, Bandung dan menewaskan 23 orang. 11 Mei 2009, sebuah pesawat Hercules jatuh tergelincir saat akan mendarat di Bandara Wamena, Papua. Belum lagi catatan-catatan musibah yang terjadi di tahun-tahun belakangan ini.
Tak lama setelah kejadian, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa kecelakaan tersebut merupakan buntut dari minimnya porsi anggaran bagi alutsista. Saat ini saja porsi anggaran bagi militer hanya memenuhi 40-an persen dari kebutuhan minimalnya. Imbasnya tentu kelaikan menjadi dikorbankan. TNI mau tak mau pun dipaksa untuk terbiasa dengan keterbatasan. Jelas sangat menyedihkan.
Sayangnya kenyataan itu dibantah oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyebut kecelakaan di Magetan itu bukan akibat dari pemotongan anggaran. Menurut dia, pemerintah hanya memangkas anggaran untuk pengadaan, bukan untuk pemeliharaan.
Anggota Komisi Pertahanan Yuddhy Chrisnandi berpendapat, semestinya pemerintah memenuhi 75 persen dari kebutuhan minimal TNI. Angka yang masih berada di kisaran 40-an persen menunjukkan tidak adanya keberpihakan kebijakan anggaran pemerintah terhadap TNI.
Dengan anggaran yang serbaterbatas, saat ini TNI dipaksa untuk memelihara mesin-mesin perang yang sudah tua, yang semestinya sudah harus dimuseumkan. Tentu yang namanya mesin memiliki ambang batas kemampuan dalam beroperasi, dan jika dipaksa beroperasi akan fatal akibatnya, seperti yang telah banyak terjadi.
Kita memaklumi adanya keterbatasan anggaran dan prioritas anggaran pemerintah untuk sektor yang lebih bisa dirasakan masyarakat banyak. Namun bukan berarti pemerintah bersikap abai dengan kondisi serbaminim pada sektor pertahanan negeri ini.
Harus dicatat, dunia kemiliteran di dunia terus berkembang dan didukung oleh teknologi yang canggih. Kemampuan yang dimiliki militer kita semestinya tidak hanya sekadar ada, namun harus memiliki kapabilitas yang memadai untuk menjaga kedaulatan bangsa. Kita tentu tidak mau negeri ini diremehkan lantaran tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk memproteksi diri, yang bahkan armada tempurnya kalah dibandingkan dengan negeri sekecil Singapura.

Lagi-lagi kita ditunjukkan dengan bukti betapa buruknya alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI dengan insiden jatuhnya pesawat Hercules di Magetan, Jawa Timur, pagi tadi.

Semenjak awal tahun hingga saat ini sudah terjadi tiga kasus jatuhnya pesawat milik militer. 6 April lalu, Fokker 27 TNI-AU buatan tahun 1975 jatuh di hanggar Lanud Hussein Sastranegara, Bandung dan menewaskan 23 orang. 11 Mei 2009, sebuah pesawat Hercules jatuh tergelincir saat akan mendarat di Bandara Wamena, Papua. Belum lagi catatan-catatan musibah yang terjadi di tahun-tahun belakangan ini.

Tak lama setelah kejadian, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa kecelakaan tersebut merupakan buntut dari minimnya porsi anggaran bagi alutsista. Saat ini saja porsi anggaran bagi militer hanya memenuhi 40-an persen dari kebutuhan minimalnya. Imbasnya tentu kelaikan menjadi dikorbankan. TNI mau tak mau pun dipaksa untuk terbiasa dengan keterbatasan. Jelas sangat menyedihkan.

Sayangnya kenyataan itu dibantah oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyebut kecelakaan di Magetan itu bukan akibat dari pemotongan anggaran. Menurut dia, pemerintah hanya memangkas anggaran untuk pengadaan, bukan untuk pemeliharaan.

Anggota Komisi Pertahanan Yuddhy Chrisnandi berpendapat, semestinya pemerintah memenuhi 75 persen dari kebutuhan minimal TNI. Angka yang masih berada di kisaran 40-an persen menunjukkan tidak adanya keberpihakan kebijakan anggaran pemerintah terhadap TNI.

Dengan anggaran yang serbaterbatas, saat ini TNI dipaksa untuk memelihara mesin-mesin perang yang sudah tua, yang semestinya sudah harus dimuseumkan. Tentu yang namanya mesin memiliki ambang batas kemampuan dalam beroperasi, dan jika dipaksa beroperasi akan fatal akibatnya, seperti yang telah banyak terjadi.

Kita memaklumi adanya keterbatasan anggaran dan prioritas anggaran pemerintah untuk sektor yang lebih bisa dirasakan masyarakat banyak. Namun bukan berarti pemerintah bersikap abai dengan kondisi serbaminim pada sektor pertahanan negeri ini.

Harus dicatat, dunia kemiliteran di dunia terus berkembang dan didukung oleh teknologi yang canggih. Kemampuan yang dimiliki militer kita semestinya tidak hanya sekadar ada, namun harus memiliki kapabilitas yang memadai untuk menjaga kedaulatan bangsa. Kita tentu tidak mau negeri ini diremehkan lantaran tidak memiliki kekuatan yang memadai untuk memproteksi diri, yang bahkan armada tempurnya kalah dibandingkan dengan negeri sekecil Singapura.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar