G20, adu kepentingan dan nasib dunia ketiga

g20-protes-telegraph

Pertemuan para pemimpin negara-negara ekonomi maju yang tergabung dalam Kelompok 20 (Group of Twenty/G-20) baru akan digelar 2 April esok. Namun, sejumlah ketegangan sudah mewarnai saat-saat menjelang pertemuan penting itu, setidaknya semenjak sebulan terakhir.

Ketegangan terjadi karena masing-masing negara memiliki cara pandang dan pendekatannya sendiri dalam menghadapi krisis keuangan global. Perbedaan inilah yang menjadi bahan perdebatan di antara para pemimpin dunia.

Misalnya Perdana Menteri Jepang Taro Aso yang menolak peringatan Kanselir Jerman Angela Merkel mengenai risiko pembiayaan publik yang berlebihan, di tengah menurunnya ekonomi global. Aso malah mengatakan Jerman gagal memahami bahwa langkah fiskal yang kuat adalah hal penting dalam pemulihan ekonomi.

Pernyataan Aso itu merespons lontaran Merkel pekan lalu, bahwa pembelanjaan uang publik dalam jumlah yang besar sebagai bagian dari stimulus berisiko menciptakan pemulihan yang tidak berkelanjutan.

Namun begitu, Aso mengatakan, pengalaman krisis gelembung nilai aset pada awal 1990an di Jepang telah menunjukkan pentingnya stimulus fiskal dalam mengembalikan pertumbuhan. Pengalaman 15 tahun silam itulah yang membuat Jepang merasa memahami apa yang dibutuhkan. Sebab, dalam pandangan Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa baru menghadapi situasi seperti ini sekarang.

Seperti diketahui, Amerika Serikat sebelumnya telah mendesak negara-negara di Eropa untuk menambah dana stimulus. Namun bagi Eropa, langkah itu ibarat jalan menuju neraka. Eropa beranggapan hal yang terpenting adalah pembahasan reformasi arsitektur keuangan global. Namun, dalam hal ini Eropa sadar akan menemui hambatan dari AS.

Hubungan AS dan Eropa memanas akibat perbedaan kepentingan di pertemuan G-20. Padahal, krisis ekonomi global membutuhkan kerja sama keduanya.

Eropa tidak main-main dengan keinginan agar dilakukan reformasi sistem keuangan global. Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, misalnya, telah mengancam untuk walk out dari meja perundingan jika permintaannya tidak terpenuhi. Sarkozy telah mengatakan kepada para koleganya di kabinet bahwa bakal ada “kursi kosong”, jika pemimpin negara-negara ekonomi terbesar gagal menyepakati regulasi keuangan baru terkait krisis global.

Ketegangan lainnya yang bakal mencuat adalah antara AS dengan China dan Rusia. Sebagaimana diketahui, China dan Rusia mendesak dibentuknya sistem mata uang baru dunia, untuk menggantikan dominasi dolar selama ini. Dua negara ini menganggap nilai tukar dolar yang tidak stabil telah mengacaukan perekonomian dunia.

Namun tuntutan China dan Rusia –yang juga didukung banyak negara– itu ditentang habis-habisan oleh AS. Presiden Barack Obama menganggap dunia tidak membutuhkan mata uang baru. Nilai tukar dolar, ditegaskan Obama, adalah yang terkuat di dunia.

Pada Minggu 29 Maret lalu Financial Times memberitakan isi rancangan komunike yang akan disepakati para pemimpin G-20. Rancangan itu antara lain berisi penegasan para pemimpin Kelompok 20 terhadap proteksionisme dan komitmen untuk menyelesaikan pembicaraan perdagangan dunia yang kini tengah mandek.

Namun rancangan itu tidak memuat rencana spesifik untuk paket stimulus, yang sebelumnya didesakkan AS untuk diterapkan di semua negara, namun mendapatkan penolakan dari negara-negara Eropa.

Yang jelas, mata dunia kini berharap agar pertemuan yang digelar di London itu memberikan angin segar bagi perbaikan ekonomi dunia yang kini tengah karut-marut. Dunia berharap forum sebesar G20 berakhir buntu, disebabkan arogansi masing-masing negara.

Yang paling penting pula, G20 harus bisa memastikan dilakukannya reformasi terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional semacam IMF dan Bank Dunia. Sistem keuangan dunia yang dimotori dua lembaga tersebut, serta ditopang lembaga regional seperti ADB, African Development Bank, dan Inter American Development Bank, nyata-nyata telah gagal mengentaskan kemiskinan, terutama di dunia ketiga.

Hal penting yang tak boleh dilupakan para pemimpin G20, yaitu imbas resesi global ini dalam jangka panjang. Di tengah kondisi ekononi yang kacau-balau ini, negara-negara miskin dan berkembanglah yang paling membutuhkan dukungan.

Penderitaan yang terjadi di negara-negara dunia ketiga disebabkan oleh ketiadaan permintaan. Saat ini, Amerika Latin dan Asia Timur menderita akibat merosotnya permintaan dari pasar ekspor mereka. Afrika dan Asia Tengah mengalami kerugian akibat jatuhnya harga komoditas dan anjloknya arus remiten dari pekerja migran mereka di luar negeri.

Dunia memang tidak bisa berharap sepenuhnya pada G20. Forum ini tidak memiliki legitimasi sebagai ajang pengambilan keputusan bagi masyarakat dunia, khususnya di negara miskin dan berkembang. Kalangan anti-neoliberalisme terutama meyakini forum ini akan terus mempertegas liberalisasi investasi dan perdagangan, serta pasar keuangan.

Hal itu sudah terlihat dari isi draf komunike G20 yang bocor. Dalam draf itu termuat komitmen para pemimpin G20 untuk meneruskan pembicaraan perdagangan bebas, serta untuk menolak proteksionisme.

Namun setidaknya, komitmen untuk membantu negara-negara dunia ketiga harus termaktub dalam komunike yang nantinya akan disepakati. Para pemimpin dunia pun harus legowo untuk mendorong upaya penyelesaian krisis oleh lembaga yang lebih kredibel, dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Indonesia sebagai anggota permanen semestinya berperan mendorong hal tersebut. Dan yang terpenting, pertemuan G20 jangan sampai dijadikan ajang negara-negara maju untuk memanfaatkan negara-negara berkembang semacam Indonesia.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar