China dan peran menghadapi krisis

tembok-besar-chinaMeski turut merasakan dampak hebat krisis ekonomi global, China masih optimistis dengan pertumbuhan ekonominya. Optimisme itu terlihat saat Perdana Menteri Wen Jiabao beberapa waktu lalu memastikan ekonomi Negeri Tirai Bambu masih akan tumbuh 8 persen tahun ini.

Optimisme itu bisa jadi berlebihan. Sebab, Bank Dunia yang sebelumnya memprediksikan ekonomi China akan tumbuh 7,5 persen, menjadi hanya 6,5 persen tahun ini. Namun, itu tentu bukan tanpa alasan.

Saat berbicara di forum World Trade Organization (WTO) akhir Januari lalu, Perdana Menteri Wen memastikan ekonomi China dalam kondisi baik. Pada 2008, negeri ini masih bisa tumbuh, di saat negara-negara lain mengalami kontraksi. Indeks Harga Konsumen China juga stabil. Panen padi China juga terus membaik selama lima tahun berturut-turut, dengan total produksi 528,5 juta ton. Selain itu juga penciptaan lapangan kerja yang melewati angka 11 juta.

Di tengah kondisi perekonomian global yang serbatidak pasti ini, keberadaan China sangat diperhitungkan. Semenjak reformasi ekonomi dilakukan 30 tahun lalu, China telah menjadi salah satu perekonomian yang tumbuh paling cepat di dunia. Semenjak 1979 hingga 2007, produk domestik bruto (PDB) China tumbuh rata-rata 9,8 persen per tahun. Bahkan pernah mencapai 11,4 persen untuk tahun 2007, dan menjadi pertumbuhan tahunan tercepat sejak 1994.

Selain itu, perdagangan dan investasi asing terus memainkan peran besar dalam perkembangan ekonomi China. Sejak 2004 hingga 2007, nilai total barang perdagangan China nyaris berlipat dua. Pada 2007, eskpor China (USD1,218 miliar) melampaui ekspor Amerika Serikat (USD1,162) untuk pertama kalinya. Lebih dari separuh perdagangan China diselenggarakan oleh kegiatan perusahaan asing di China.

Sementara impor China tercatat sebesar USD956 miliar dan mencatatkan surplus perdagangan hingga USD262 miliar, tertinggi dalam sejarah.

Fakta-fakta itu pun membuat China diproyeksikan bakal menjadi negara adikuasa baru, di smaping Amerika Serikat, seperti yang pernah dituliskan Michael Backman dalam bukunya, Asia Future Shock.

China memang tengah berjuang untuk bisa menyejajarkan diri dengan Amerika Serikat. Selama ini Beijing gerah dengan dominasi Paman Sam dalam perekonomian dunia. Salah satu upaya yang dilakukan Beijing untuk menggerus dominasi AS adalah dengan mengusulkan sistem cadangan devisa dunia yang baru, yang dikontrol oleh Dana Moneter Internasional. Dengan sistem baru ini, maka dunia tidak akan lagi bergantung pada nilai tukar dolar yang terus fluktuatif.

Ekonomi China kini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemangku kebijakan AS. Satu sisi, konsumen, eksportir, dan investor AS meraup keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan perdagangan China yang cepat. Namun di sisi lain, gelora ekspor China ke AS telah menimbulkan tekanan terhadap berbagai industri AS.

Kekhawatiran itulah yang membuat AS kalangkabut. Berbagai tudingan pun diarahkan kepada Beijing. Misalnya,  banyak kalangan di pemerintahan AS menilai China kerap tidak mematuhi aturan ketika berdagang. Mereka pun mendesak China untuk menerapkan komitmen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan mengubah sejumlah kebijakan ekonomi yang dianggap berbahaya bagi kepentingan ekonomi AS. Misalnya kebijakan mata uang yang digunakan China untuk menyubsidi perusahaan-perusahaan negara, perdagangan, serta menghalangi investasi barang dan jasa AS.

Namun lepas dari itu semua, saat ini dibutuhkan kerja sama yang saling terkait di antara semua negara untuk menyelesaikan krisis yang terburuk semenjak Great Depression 1930an ini. Dunia pun membutuhkan tumbuhnya perekonomian China untuk turut mendongkrak pertumbuhan dunia, yang diprediksikan hanya 1,5 persen tahun ini.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar