Arogansi Israel adalah penderitaan panjang bagi rakyat Palestina, yang negerinya dirampas dari bawah kaki mereka. Ambisi kaum Yahudi untuk menguasai tanah yang konon dijanjikan Tuhan, menjadikan masyarakat Palestina sebagai manusia terisolir, yang diburu, bahkan diperlakukan bak binatang.
Teranyar, arogansi itu dipertontonkan ke hadapan dunia melalui agresi keji terhadap penduduk sipil di Gaza pada akhir Desember 2008 hingga awal tahun 2009 ini. Ironisnya, penghinaan terhadap harkat kemanusiaan yang sudah berlangsung selama lebih dari setengah abad itu tak ada yang bisa mencegahnya.
Konflik berkepanjangan yang terjadi di Palestina tak lepas dari pencaplokan besar-besaran tanah oleh Israel. Ini pun tak lepas dari janji Inggris untuk memberikan bangsa Yahudi negara di tanah Palestina. Inilah awalnya memicu terjadinya tragedi kemanusiaan tak berkesudahan. Awalnya, hanya 5 persen wilayah Palestina yang diduduki oleh Yahudi. Namun, kini lebih dari 80 persen tanah Palestina telah dirampas Israel.
Dahulu, bukit-bukit di sekeliling Ramallah adalah taman yang luas dan subur, dengan sebuah rumah di dekat setiap mata air. Daerah itu adalah negeri dengan perbukitan hijau yang ditumbuhi pohon zaitun dan pinus, juga berbagai macam jenis bebungaan yang tumbuh di setiap pergantian musim. Pohon-pohon zaitun tumbuh berbaris di lereng-lereng dan tanaman anggur menjalar menutupi dinding teras-teras.
Namun itu cerita lama. Pada 1978, ketika Raja Shehadeh, seorang pengacara pulang ke Ramallah di Tepi Barat, setelah menuntut ilmu di London, semua keindahan itu nyaris tinggal cerita. Tak ada lagi penduduk yang bercocok tanam atau membangun qasr (kastil untuk menyimpan hasil bumi) di bukit-bukit itu, seperti yang dituturkan Shehadeh dalam bukunya, Jalan-Jalan di Palestina: Catatan atas Negeri yang Menghilang. Semuanya telah dirusak oleh membabibutanya pembangunan permukiman bangsa Yahudi.
“Permukiman-permukiman itu terhubungkan oleh jalan-jalan lebar yang memotong wadi-wadi. Dan lebih baru lagi, sekarang ada sebuah dinding menjulang di sekeliling ‘blok permukiman,’ menghancurkan keelokan bukit-bukit kami, memisahkan desa-desa dan kota-kota kami, dan mencaplok lebih banyak lagi tanah kami menjadi wilayah Israel, menghancurkan segala prospek yang ada untuk meraih perdamaian.” (hal: 73).
Novel ini adalah kisah nyata yang ditulis berdasarkan perjalanan Shehadeh selama 26 tahun antara 1978 dan 2006, di perbukitan sekitar Ramallah, Jerusalem, dan Laut Mati. Buku ini berisi enam catatan perjalanan Shehadeh, dengan penuturan yang indah dan halus, meski yang dituliskannya adalah untaian-untaian kekecewaan.
Bab awal buku ini adalah kilas balik berupa kenangan dari cerita kakeknya, Hakeem Saleem, yang suka pergi ke Ramallah di musim panas yang terik, dan pergi sarha bersama sepupunya, Abu Ameen. Pergi sarha berarti pergi mengembara bebas, sesuka hati, tanpa harus menahan diri. Tak terkungkung oleh tempat dan waktu, untuk memupuk jiwa dan menyegarkan diri kembali.
“Dalam pergi sarha tersirat makna merelakan. Kau bisa merasa tinggi tanpa narkoba, ala Palestina.” (hal: 2).
Penggambaran Shehadeh tentang sarha perbukitan Ramallah sangatlah elok. Penuturannya tentang kecantikan perbukitan yang pernah dikunjunginya juga membantah tulisan-tulisan para pengembara Barat, yang selama ini menganggap tanah Palestina sebagai daerah terpencil dan tandus. Melalui paparan Shehadeh, ejekan itu akan hilang.
Shehadeh yang seorang pengacara menggunakan hukum internasional dan Israel untuk melawan perampasan tanah yang dimiliki warga Palestina oleh pemerintah Israel. Upayanya memang tak melulu berhasil. Namun ia tetap bermimpi dan memantapkan keteguhan hati dalam mempertentangkan dasar kebijakan pengambilalihan tanah oleh pemerintah Israel.
Perjuangannya di pengadilan mulai dituturkannya di bab kedua, di saat dia menangani kasus sengketa tanah milik seseorang bernama Albina. Dalam pengantar di bukunya, kasus Albina adalah salah satu kasus yang paling mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
Dalam perjalanan terakhirnya di dekat Ramallah, Shehadeh bertemu dengan seorang Israel bersenjata yang lebih muda, yang tumbuh dan mencintai perbukitan sama seperti dirinya. Keduanya terlibat perdebatan mengenai hak atas dua buah wadi di tempat itu. Perdebatan ini menunjukkan bahwa saat ini kawasan tersebut kini pun sudah dianggap menjadi tanah bagi pemukim Yahudi.
Doktrin yang diajarkan di sekolah-sekolah Israel pun telah menjadikan anak-anak mereka menganggap tidak ada lagi peta negara Palestina, sebagaimana ucapan angkuh mantan Perdana Menteri Ariel Sharon saat masih menjadi menteri pertahanan: “Kami akan membuat peta negara yang sama sekali baru, sehingga kami mustahil diabaikan.” (hal: 68).
Novel berjudul asli Palestinian Walks: Notes on a Vanishing Landscape ini diterbitkan pertama kali pada Agustus 2007, dan di Indonesia pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada Juli 2008.
Karya yang mendapatkan penghargaan The Orwell Prize tahun 2008 ini masih akan terus relevan untuk dibaca, karena merupakan penuturan langsung tentang kenyataan yang terjadi di tanah konflik Palestina. Novel ini adalah penggambaran tentang kejamnya pengusiran terhadap sebuah bangsa dari tanah airnya.
Judul:
Jalan-Jalan di Palestina, Catatan atas Negeri yang Menghilang
Penulis:
Raja Shehadeh
Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama:
Juli 2008
Tebal:
237 halaman + xxiv
ISBN:
978-979-22-3878-5