Adanya intervensi asing dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas sepertinya bukan isapan jempol. Sejumlah dokumen yang diungkap dalam rapat Panitia Angket Bahan Bakar Minyak DPR pada 27 Agustus dan 4 September kemarin memperkuat dugaan itu.
Misalkan saja dokumen Program Reformasi Sektor Energi yang dipampang di situs USAID dan menyebutkan adanya bantuan senilai Rp200 miliar untuk asistensi revisi UU Migas. Juga radiogram (teletex) dari Washington berisi desakan untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan yang diinginkan Negeri Paman Sam, seperti mengkaji ulang RUU Minyak dan Gas. Ada pula laporan Bank Dunia berjudul Proyek Energi Indonesia tertanggal 17 November 2000, dengan nilai proyek sebesar USD730 juta.
Hasil dari intervensi itu adalah UU Migas yang hingga kini masih berlaku, dan justru membuat sektor minyak dan gas bumi kita terpuruk. Produksi migas terus menurun dan membuat bangsa yang memiliki minyak melimpah ini menjadi net importer. Imbas yang paling terkini dirasakan masyarakat adalah kenaikan harga BBM pada Mei lalu.
Presiden SBY dan DPR harus membuka mata. Campur tangan asing tak lepas dari proyek liberalisasi ekonomi untuk mengkomersialisasikan sektor energi yang sejatinya ditujukan untuk kepentingan rakyat. Intervensi lembaga-lembaga asing itu juga membuktikan adanya upaya menekan pemerintah Indonesia untuk tunduk dan patuh terhadap keinginan mereka.
Kita ingat betul Letter of Intent yang dipaksakan oleh IMF sejak krisis ekonomi pada awal 1998. Akibat mengikuti nasihat IMF, rakyat semakin menderita. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pun semakin kapitalistik, seperti UU Kelistrikan, UU tentang air, juga UU Penanaman Modal.
Yang jelas, terkuaknya dokumen-dokumen tersebut tentu tidak bisa didiamkan begitu saja. Sebab sejauh ini ke mana aliran dana itu mengalir belum diketahui. Panitia Angket DPR juga perlu memanggil para konseptor di balik lolosnya UU Migas.
Jika intervensi itu terbukti kebenarannya, tentu saja UU Migas harus segera dirombak karena batal demi hukum. Pasal-pasal di dalam undang-undang itu harus direvisi dan dikembaikan agar sesuai dengan semangat UUD 1945.
Bangsa ini baru saja merayakan 63 tauhn kemerdekaan. Namun sayang, di usia yang cukup matang itu, Indonesia belum merasakan hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya, untuk menentukan kebijakan dan masa depan dengan kekuatan sendiri.