Mahalnya Jakarta, Beban Masyarakat & Tantangan Bisnis

Mercer Human Resource Consulting mengeluarkan laporan survei tahunan yang cukup mengejutkan. Lembaga itu menemukan fakta Jakarta sebagai kota dengan biaya hidup termahal kedua di Asia Tenggara. Bahkan, biaya hidup di Jakarta lebih mahal ketimbang di Washington DC.

Di tingkat dunia, Jakarta menempati urutan ke-82 mengalahkan kota-kota penting di kawasan Asia Tenggara seperti Ho Chi Minh di peringkat 100, Bangkok (105), Kuala Lumpur (106), dan Manila (110).

Temuan tersebut sebenarnya tidak mengherankan. Warga ibu kota sudah merasakan besarnya ongkos bulanan yang harus dikeluarkan untuk hidup di kota yang penuh kemacetan dan polusi ini.

Bagi masyarakat umum, setiap tahunnya terjadi pergeseran rata-rata nilai konsumsi rumah tangga per bulan yang cukup berarti belakangan ini. Dalam survei yang dilakukan BPS pada periode 2002-Mei 2006, perubahan nilai konsumsi di sejumlah daerah rata-ratanya mendekati 50 persen. Ini berarti anggaran yang dikeluarkan rumah tangga dari tahun ke tahun semakin besar. Angka itu belum termasuk dampak dari kenaikan BBM dan gas oleh pemerintah belum lama ini.

Sayangnya, beban hidup yang semakin besar itu tidak diiringi meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Indef menyebutkan angka kemiskinan pada 2008 berada pada posisi 15,7 persen. Angka itu masih akan meningkat pada 2009 menjadi 16,82 persen.

Selain bagi masyarakat umum, mahalnya biaya hidup tentu akan berdampak bagi investor dalam memilih lokasi berbisnis.

Michael Backman (2008) dalam bukunya Asia Future Shock menulis, Indonesia adalah tempat yang tinggi biaya untuk berbisnis. Alasan sebenarnya adalah ruwetnya mengurus segala sesuatu. Belum lagi rendahnya tingkat transparansi dalam pelayanan publik. Ironisnya lagi, banyak pihak yang berkepentingan dalam mempertahankan transparansi yang rendah ini.

Lontaran Backman itu cukup beralasan. Salah satunya terbukti pada 30 Mei lalu saat Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan sejumlah amplop berisikan uang yang diduga sebagai praktik gratifikasi di kantor Bea dan Cukai Tanjung Priok. Total uang yang ditemukan senilai Rp300 Juta. KPK menduga amplop itu berasal dari para eksportir dan importir yang ingin diberi kemudahan dalam pengurusan dokumen bea dan cukai.

Laporan yang dilansir Mercer itu sesungguhnya dapat membantu para pengambil kebijakan untuk melihat betapa beratnya beban hidup yang dirasakan masyarakat. Kondisi demikian tentunya juga menjadi tantangan untuk menjadikan Indonesia, khususnya Jakarta, sebagai tempat yang menarik untuk berbisnis.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar