Harga minyak dunia hingga kini masih saja tidak terkendali. Tidak ada yang mengetahui pasti apa faktor terkuat yang membuat harga emas hitam itu terus merangsek naik dan menyulitkan kehidupan umat manusia.
Sementara itu, para pemimpin dunia saling berdebat tentang apa penyebabnya, seperti yang terjadi dalam konferensi produsen dan konsumen minyak di Jeddah Minggu 22 Juni kemarin.
Raja Abdullah dari Arab Saudi dan negara-negara OPEC menuduh para spekulanlah yang bertanggung jawab. Sementara peserta konferensi dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat menyalahkan tingkat produksi minyak yang rendah.
Pernyataan AS dan sekutu Baratnya itu senada dengan Badan Energi Internasional (IEA), bahwa dunia butuh investasi baru tak kurang dari USD5,4 triliun menutup kekurangan pasokan minyak dunia. Sementara OPEC berpendapat, saat ini pasokan minyak dunia sudah cukup.
Yang pasti, naiknya harga minyak hingga mendekati USD140 barel per hari atau sebanyak tujuh kali lipat dibandingkan enam tahun lalu itu memberikan keuntungan bagi segelintir kelompok, terutama para spekulan kelas dunia. Para spekulan tentu juga terus menyaksikan perdebatan itu, dan terus berharap harga minyak terus naik. Spekulan membeli minyak dalam kuantitas banyak, bukan untuk kepentingan produksi, melainkan untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
Semua pihak kini saling menunggu. Negara-negara OPEC berharap harga terus naik dan tidak mau mengeluarkan produksinya untuk saat ini. Spekulan yang sudah menimbun minyak berharap harga juga terus naik. Sementara negara-negara konsumen minyak, termasuk Indonesia, hanya bisa berharap-harap cemas menunggu turunnya harga.
Merespons kondisi yang serba tidak pasti ini, penting bagi Indonesia untuk mengambil langkah yang tepat untuk jangka panjang. Terlebih, kondisi geopolitik di Timur Tengah dan pelambatan ekonomi AS juga menambah ketidakpastian itu.
Pemerintah sudah mencabut subsidi dan menaikkan harga minyak hingga mendekati 30 persen sebagai langkah pragmatis. Namun, jika harga minyak terus naik, bahkan hingga mencapai USD150 atau USD200 per barel, penggunaan bahan bakar alternatif adalah salah satu solusi yang harus dipercepat
