Sebuah kota tanpa nama tiba-tiba dilanda epidemi kebutaan massal. Tak pandang status. Seorang pelacur, pencuri mobil, polisi, bocah bermata juling, apoteker, bahkan seorang dokter mata. Buta yang putih, seperti lautan susu.
Pemerintahan panik. Sebuah kamp penampungan disiapkan untuk mengisolasi kaum buta. Satu persatu dalam waktu singkat seluruh orang buta dimasukkan ke tempat itu, layaknya mengandangkan binatang.
Hanya satu orang yang terbebas dari mata. Dialah istri si dokter mata. Namun dia memilih mengikuti suaminya ke penampungan itu. Dia berpura-pura buta.
Dalam kepura-puraannya inilah, dia menjadi saksi interaksi orang-orang buta itu. Menyaksikan sebuah nilai dibentuk diantara mereka. Puncaknya, ketika ada sekelompok orang yang ingin menjadi penentu moral di tempat itu. Tak hanya itu, mereka menunjuk dirinya menjadi penguasa, hanya karena mereka memegang sebuah senjata api. Merekalah yang mengatur pasokan makanan yang didatangkan oleh tentara.
Awalnya mereka meminta para interniran –sebutan untuk mereka kaum buta di tempat ini— untuk menyerahkan harta benda yang dibawa. Ketika tak ada lagi harta yang bisa diserahkan, mereka meminta kaum perempuan untuk memuaskan hasrat seksualnya.
Kondisi ini tidak bisa diterima, hingga akhirnya sebuah pemberontakan terjadi. Istri dokter merencanakan pembunuhan pimpinan kelompok gangster ini. Pria bersenjata itu, pimpinan kelompok, akhirnya tersungkur di puncak orgasme yang didapatnya dari seorang perempuan.
Pemberontakan berlanjut, hingga terjadi sebuah kebakaran hebat membakar tempat itu. Para internir itu akhirnya bisa keluar.
Jose Saramago dalam kisah novel berjudul Blindness ini memberikan metafor terjadinya sebuah kemalangan dan bencana sosial. Kebutaan adalah alegori sebuah masyarakat yang terbatasi dan berjuang secara individu untuk melawan ketidaknyamanan sosial. Saramago, yang menjadi anggota Partai Komunis Portugis sejak 1969 ini ingin menggambarkan sebuah krisis sosial dan politik di sebuah negeri.
Namun persoalan mendasar saat membaca suguhan novel ini adalah dalam menempatkan pesan sosial dan politik dari novel ini. Saramago hanya memberikan sedikit petunjuk untuk menafsirkannya.
Terlebih lagi Saramego tidak memberikan nama tempat dan tokoh dalam kisah ini. Hanya kota tak bernama, dengan pelabelan tokoh sebatas simbol. Si dokter mata, si istri dokter, pelacur berkacamata, bocah bermata juling, pria buta pertama, atau si pelayan hotel.
Tanpa pelabelan inilah yang memberikan ruang bagi pembaca untuk menafsirkan karya Saramago ini.
Di akhir novel ini, saat orang-orang buta itu kembali mendapatkan pengelihatannya, dalam dialog antara dokter dengan istrinya terucap: “Kupikir kita bukannya pernah buta. Kupikir kita buta. Buta tapi melihat. Orang buta yang bisa melihat, tapi tidak melihat (I don’t think we did go blind. I think we blind. Blind but seeing. Blind people who can see, but do not see).”
Namun hingga akhir kisah, pembaca masih akan bertanya-tanya, apa sebenarnya penyebab kebutaan, dan mengapa kebutaan itu berakhir.
Inilah yang khas dari seorang Jose Saramago. Bernama lengkap Jose de Sousa Saramago, pria ini dilahirkan pada 16 November 1922. Di tahun 1998, dia memenangi nobel. Dalam naskah aslinya, novel ini diberi judul Ensaio Sobre a Ceguira (1995), dan diterjemahkan dalam Bahasa Inggris tahun 1997. [*]
Judul Buku:
Blindness
Judul Asli:
Ensaio Sobre a Ceguira (1995); diterjemahkan ke Bahasa Inggris Blindness (1997)
Penulis:
Jose Saramago
Penerjemah:
Arif Bagus Prasetyo
Penerbit:
Ufuk Press
Cetakan:
Maret 2007
Tebal:
447 halaman
