Pro dan kontra mengenai kenaikan harga BBM ramai dibicarakan di Tanah Air. Meski mendapat tekanan dari berbagai kalangan di dalam negeri, pemerintah tetap ngotot menaikkannya. Alasannya, di tengah kenaikan harga minyak dunia, kenaikan BBM penting untuk menutupi defisit di APBN.
Alasan lainnya, subsidi BBM yang selama ini dikucurkan hanya dinikmati segelintir kelompok masyarakat kaya. Sehingga, mencabut subsidi dan dialihkan ke subsidi lainnya yang bersifat langsung dianggap langkah yang tepat.
Benarkah asumsi yang diajukan pemerintah itu? Tentu salah!
Dalam sebuah slide MS Powerpoint yang bergulir luas di milis-milis di internet, dimuat kutipan pernyataan mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, bahwa tidak benar selama ini ada subsidi BBM oleh pemerintah. Kwik juga berpendapat menaikkan harga BBM bukanlah solusi untuk mengatasi kebocoran APBN. Sebab, pemerintah sebenarnya memiliki kelebihan uang dari hasil penjualan minyak.
Tak ada subsidi BBM. Pemerintah mengambil minyak bumi milik rakyat secara gratis dengan biaya hanya US$ 10/barrel. Tapi karena hanya bisa menjualnya seharga US$ 77/barrel pemerintah merasa rugi jika harga minyak Internasional lebih dari harga itu, kata Kwik.
Alasan lainnya adalah, selama ini Indonesia bukanlah importir minyak. Besaran impor minyak Indonesia hanyalah 0,2 juta bph (barel per hari), dari total kebutuhan 1,2 bph. Sebesar 1 juta bph-nya selama ini merupakan produksi dalam negeri. Artinya, dengan produksi dalam negeri maka pemerintah tidak mengeluarkan uang untuk membeli minyak. Paling-paling hanya biaya eksplorasi hingga pendistribusian ke SPBU-SPBU yang besarnya hanya USD15 per barel. Dengan harga minyak USD77 per barel saja, pemerintah sudah untung luar biasa banyaknya.
Dalam slide yang saya dapatkan itu juga ditulis:
Jika harga minyak Internasional USD 125/barrel dan biaya USD 15/barrel serta impor 200 ribu bph, maka pemerintah Indonesia dengan harga Rp4.500/liter (USD 77/brl) untung USD 49,4 juta per hari atau Rp 165,8 Trilyun dalam setahun (USD1=Rp9.200).
Pemerintah Untung Rp165,8 triliun! Bohong besar jika bilang Pemerintah rugi Rp123 triliun!
Belakangan pemerintah juga menggembar-gemborkan agar masyarakat menghemat BBM, dengan alasan konsumsi BBM Indonesia sangat tinggi. Imbauan yang cukup baik memang. Tapi, mengenai tingkat konsumsi BBM yang tinggi tidak juga benar.
Ternyata, konsumsi BBM Indonesia berada di urutan ke-116, masih lebih rendah dibandingkan konsumsi di negara-negara Afrika seperti Bostwana (87) dan Namibia (98). Singapura adalah negara dengan konsumsi BBM tertinggi di dunia, sedangkan AS berada di nomor 7, jepang nomor 23, dan Malaysia nomor 47.
Dengan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, pantaskah pemerintah menaikkan harga BBM? Tentu tidak!
Banyak cara sebenarnya untuk menghemat penggunaan BBM. Seperti diketahui, besar ekspor batu bara kita saat ini mencapai 70%. Negara kita juga merupakan pengekspor LNG terbesar di dunia. Kita juga masih mengekspor minyak ke luar negeri, yang besarnya sekitar 500.000 bph. Artinya, produksi minyak dalam negeri kita sebenarnya lebih dari cukup, dan kita tidak perlu impor.
Kalang kabutnya pemerintah merupakan akibat dari kesalahannya sendiri. Sudah menjadi fakta umum, mayoritas pengelolaan minyak kita dikuasai asing. Angkanya bahkan mungkin mencapai 90%. Bagi hasil migas yang kita peroleh selama ini pun tidak seberapa, dibandingkan keuntungan beratus-ratus triliun rupiah yang diperoleh satu perusahaan minyak asing saja.
Misalkan saja ExxonMobil. Pendapatan dia pada 2007 mencapai Rp1.057 triliun, dengan laba Rp373 triliun. Bayangkan saja! Pendapatan ExxonMobil jauh lebih besar dari angka APBN kita yang hanya sekitar Rp800 triliun!!! Itu baru ExxonMobil. Bagaimana dengan Chevron, Freeport, Total, dan lain sebagainya.
Sudah saatnya pemerintah memiliki keberanian keras untuk menasionalisasi pengelolaan tambang nasional. Pemerintah sepatutnya mencontoh apa yang dilakukan Hugo Chavez, yang berani menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Venezuela.
Yang terjadi kini memang malah sebaliknya. Pemerintah kita, dari satu presiden ke presiden yang lain, senang memprivatisasi aset-aset strategis nasional. Yang terbaru, pemerintah akan memprivatisasi Krakatau Steel, sebuah Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS). Belum lagi masih ada lebih dari 40 BUMN yang akan dilego…