Anakku Lahir

Apa kebanggaan seorang laki-laki dalam hidup? Buatku, adalah memiliki anak yang dilahirkan dari rahim istri.

Sabtu 3 Mei 2008 pukul 05.55 WIB lalu, istriku, Dewi Nurmasari, melahirkan putri pertama kami. Puan Manika Nur Azalia, begitu kami sepakat memberinya nama.

Putriku terlahir melalui proses normal, di klinik milik keluarga istriku, di Tanjung Karang, Bandar Lampung. Ibu mertuaku, Marzunah, dibantu dua perawat menangani persalinan itu. Kakak iparku, Uwo Nana, turut membantu persalinan di menit-menit terakhir, sebelum Puan lahir.

Kelahiran ini lebih cepat dari perkiraan kami. Beberapa hari sebelumnya, tepatnya Rabu 30 April dini hari, flek sudah keluar dari rahim istriku. Menurut bidan di RS Hermina Depok sudah pembukaan satu. Pagi itu juga aku membawa istriku melaju ke Lampung dengan Toyota Kijang milik keluargaku. Namun menurut dokter yang kami datangi sore harinya, proses kelahiran baru akan berlangsung satu pekan hingga 10 hari mendatang. Sebab, meski sudah bukaan satu, istriku belum merasakan mulas. Aku pun kembali ke Depok Kamis paginya.

Namun kenyataan berbeda dari perkiraan. Jumat malam, istriku sudah mengeluh sakit pada bagian bawah perutnya. Saat itu aku tengah berkumpul dengan kawan-kawan sekantor di sebuah restoran Sunda di bilangan Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Aku pun baru tiba di rumah Sabtu pukul 01.00 WIB.

Sekira pukul 02.00 WIB, ibu mertua memintaku segera berangkat ke Lampung saat itu juga, karena menurutnya istriku akan segera melahirkan. Menurut dia, bayiku baru akan lahir sekira pukul 11.00 WIB siang harinya.

Pukul 02.30 WIB, aku langsung berangkat dengan menyopiri sendiri mobil Kijang. Adikku, Riyan, turut serta menemani. Tepat pukul 05.55 WIB, Puan lahir saat aku masih berada di atas kapal.

Meski sedih karena tidak bisa mendampingi istriku, namun aku senang kelahiran berlangsung sangat lancar. “Ini benar-benar normal, tanpa induksi, tanpa dipancing, tanpa didorong,” kata ibu mertuaku menceritakan proses kelahiran yang hanya berlangsung dua jam lebih.

Di menit-menit terakhir saat istriku berjuang melahirkan, telepon aku minta menyala terus. Aku ingin mendengar rintihan sakit istriku saat melahirkan Puan. Saat Puan seutuhnya lahir, aku meminta telepon selular istriku ditempelkan di telinga bayi perempuanku itu. Aku lalu mengazaninya di telinga kanannya, dan membacakan lafal iqamah.

Namun, bapak mertuaku, Rusli Idrus, merasa tidak puas jika azan diucapkan melalui telepon selular. Dia lalu mengazani Puan kembali.

Aku tiba di kediaman istriku sekira pukul 09.10 WIB. Setelah tiba, kucium Puan dan istriku. Lalu, kuambil air wudlu, dan kuazani Puan kembali.

Betapa senangnya, melihat istriku dan Puan dalam keadaan sehat. Puan begitu mungil. Bibir, hidung, rambut, dan alis Puan mirip denganku. Sementara mata dan postur kepalanya mirip istriku. Rambutnya tebal, dan bahkan punggungnya dipenuhi rambut-rambut halus. Maklum, semasa mengandung, istriku banyak mengonsumsi kacang hijau dan susu kedelai.

Setelah dilahirkan, Puan lebih banyak memejamkan mata. Dia terlihat sangat tenang. Satu hari pertamanya, dia tidak diasupi apapun. ASI istriku belum juga keluar di hari pertama. Aku meminta kepada ibu mertuaku untuk tidak memberinya apapun, termasuk susu formula. Aku ingin Puan diberikan ASI eksklusif.

Hingga hari kedua, ASI istriku juga belum keluar. Aku pun luluh dan mempersilakan kakak iparku memberi Puan susu formula. ASI istriku baru keluar Minggu malam. Itu pun sangat sedikit.

Hari Minggu malam, ayah dan ibuku tiba di Lampung untuk melihat cucunya itu, dan Senin siang, kami kembali ke Jakarta. Sungguh berat meninggalkan anakku, meski hanya untuk beberapa hari.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Satu komentar pada “Anakku Lahir”

Tinggalkan komentar