Menanti Keadilan Iklim dari Bangkok

Bongkahan es sebesar tujuh kali Kota Manhattan atau seluas 414 kilometer persegi runtuh dari tepian es di Antartika. Ini dipastikan akibat efek pemanasan global. Kejadian serupa masih mengancam di berbagai belahan dunia lainnya.

Peristiwa itu semakin membuktikan ancaman pemanasan global tidak main-main. Butuh keseriusan seluruh penghuni di muka Bumi ini untuk mengantisipasinya.

Sejak Senin 31 Maret kemarin, para negosiator dari 163 negara berkumpul di Bangkok, Thailand, membahas kelanjutan Konferensi Perubahan Iklim di Bali akhir tahun lalu yang tak berbuah hasil memuaskan.

Dalam perhelatan yang akan digelar sepekan ini, tarik menarik kepentingan dipastikan bakal terjadi, seperti yang terjadi dalam pertemuan Bali.

Para negosiator, terutama dari negara miskin dan berkembang, harus dapat menaklukkan keras kepala Amerika Serikat yang menolak dicantumkannya target-target pengurangan emisi dan pembiayaannya. Target yang ingin dicapai Indonesia, termasuk Eropa dan negara berkembang lainnya, agar negara-negara kaya menetapkan target pengurangan emisi karbon 25-40% pada 2020 harus terwujud.

Upaya tersebut merupakan bagian dari pencapaian keadilan iklim. Ini penting, sebab, pembangunan yang kini berkiblat pada paham neo-liberalisme dengan jargon liberalisasi perdagangan dan investasi kerap mengabaikan kelestarian lingkungan. Model pembangunan semacam inilah yang menyebabkan ketidakadilan global dalam hal iklim.

Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Amerika Serikat menghasilkan 6 ton karbon per tahun dan rata-rata seorang warga Eropa menghasilkan hampir 3 ton karbon pertahun, sedangkan di negara berkembang lainnya masih dalam kondisi miskin.

Pada tahun-tahun terakhir, bencana iklim telah mengambil nyawa lebih dari 3 juta orang dunia, 800 juta korban, dan kerusakan-kerusakan langsung yang melebihi 23 miliar dolar, dan dari semua kerusakan-kerusakan itu 90% terjadi di negara-negara berkembang. Artinya, kerusakan yang justru lebih banyak dilakukan negara-negara maju, implikasi terbesarnya malah banyak dirasakan di negara-negara berkembang.

Dalam momentum di Bangkok ini, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang sepatutnya dapat mengambil peran dalam arus utama di forum tersebut, dengan mendesak negara-negara maju untuk bertanggung jawab atas dosa-dosa iklim yang dilakukannya.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar