Seruan Demokrasi Para Biksu

Gelombang unjuk rasa besar-besaran dilakukan biksu beriringan bersama masyarakat di Myanmar pada Agustus-September lalu. Sebuah hal yang tidak biasa terjadi, semenjak unjuk rasa terbesar satu dasawarsa sebelumnya, yang berakhir dengan sikap represif pemerintahan junta militer.

Gerakan yang dimotori kaum agamawan ini turut membangkitkan solidaritas dunia. Sebab, aksi menentang otoritarianisme pemerintahan Than Shwe itu dibalas dengan gas air mata dan tembakan membabi buta ke arah para demonstran.

Ratusan biksu ditangkapi. Beberapa tewas terkena tembakan. Tak terhitung jumlah yang dianiaya. Bahkan, wartawan AFP asal Jepang, Kenji Nagai (50) tewas saat seorang tentara menembaknya dari jarak dekat.

Myanmar dulu dikenal dengan nama Burma. Perubahan nama dari Burma menjadi Myanmar dilakukan oleh pemerintahan junta militer pada 18 Juni 1989. Junta militer mengubah nama agar etnis non-Burma merasa menjadi bagian dari Negara itu.

Sejak memeroleh kemerdekaan pada 4 Januari 1948, negeri seluas 680 kilometer persegi ini tak pernah sepi dari pergolakan. Pada 1962, pemerintahan yang demokratis tumbang setelah terjadi kudeta yang dipimpin Jenderal Ne Win.

Pada 1988, kudeta kembali terjadi di bawah komando Jenderal Saw Maung. Pada 19 September di tahun yang sama, terjadi pemberontakan yang dikenal dengan pemberontakan 8888 yang disokong biksu dan rakyat. Gerakan itu disusul kemenangan Aung San Suu Kyi dari Partai Liga Nasional (NLD) yang memenangi pemilu 1990. Namun, kemenangan itu tak diakui rezim militer. Bahkan, Suu Kyi menjalani tahanan rumah hingga saat ini.

Gerakan yang dimotori para biksu tahun ini dimulai pada 28 Agustus dengan turun ke jalan di kota Sittwe. Pada 24 September jumlah demonstran mencapai puncak mencapai 100 ribu.

Fenomena gerakan massa terbesar sejak 1988 ini merupakan wujud kekecewaan yang tak tertahan lagi dan terungkap sejak 20 tahun terakhir. Alasan ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan rakyat kelas bawah bergerak melakukan perubahan. Harapannya jelas, yaitu perbaikan taraf hidup. Gerakan ini merupakan gerakan spontan karena sudah tidak bisa lagi menahan rasa kecewa dan tidak puas yang menumpuk.

Meski dianugerahi kekayaan alam melimpah seperti gas, kesejahteraan di Myanmar masih jauh panggang dari api. Dengan PDB per kapita yang hanya sebesar USD200 per tahun, Myanmar berada dalam urutan teratas daftar negara termiskin di dunia. Jeritan rakyat semakin keras tatkala junta militer menaikkan harga BBM mencapai 500 persen.

Kondisi itu sangat kontras dengan gaya hidup mewah para penguasa junta. Para anggota keluarga Jenderal Than Shwe dilaporkan bergelimang harta dan gemerlap kekayaan.

Saat Thandar Shwe, putri Than Shwe, menikah dengan Mayor Zaw Phyo Win misalnya, keluarga mempelai menjamu para tamu dengan sampanye mahal. Bahkan, ranjang pengantin mereka dikabarkan berlapis emas. Thandar Shwe pun mengenakan perhiasan mahal. Pasangan ini juga menerima hadiah pernikahan senilai USD50 juta (Rp450 miliar). Hadiah itu antara lain berupa perhiasan dan beberapa rumah.

Lemahnya Tekanan Internasional

Setelah ditekan dari segala penjuru, junta militer Myanmar mengumumkan telah membentuk komite untuk merumuskan konstitusi baru. Langkah itu diklaim sebagai lanjutan dari peta menuju demokrasi.

Namun langkah maju ini dinilai sekadar lipstik untuk meredakan tekanan internasional. Sebab, dalam panduan pembentukan konstitusi baru yang disusun komite itu masih melarang Aung San Suu Kyi untuk maju dalam pemilu. Artinya, junta militer masih ingin mencengkeramkan kekuasaannya di negeri itu. Bahkan, hingga kini belum ada tanda-tanda akan dibebaskannya Suu Kyi.

Meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengirimkan utusan khusus Ibrahim Gambari ke Myanmar, namun misi diplomat itu tidak berhasil. Ajakan Gambari untuk mempertemukan tiga pihak –junta, PBB, dan Aung San Suu Kyi– ditolak. Hal ini merupakan tamparan telak bagi PBB, setelah misi serupa pada 1990 gagal.

Terlebih, Jenderal Than She kini masih memiliki daya tawar di hadapan internasional. Sebab, sejumlah negara masih sangat bergantung pada kekayaan alam Myanmar. Thailand misalnya. Sekira 20% negeri itu dihidupkan gas dari Myanmar.

China bahkan menjadi pendukung junta Myanmar, karena memiliki kepentingan strategis. Selain bakal mengeksplorasi minyak dan gas di Teluk Bengal, China sudah meneken kontrak pembangunan jaringan pipa dari Myanmar dengan menggandeng India. Itu dilakukan China untuk mengurangi ketergantungan mereka jika arus BBM melewati Selat Malaka dan Laut China Selatan, yang secara militer dikuasai Amerika Serikat.

Maka wajar saja jika draf berisi kecaman dan sanksi PBB dimentahkan China, juga Rusia. Sebab, dua negara tersebut menjadi pemasok peralatan militer utama bagi Myanmar.

Lemahnya tekanan internasional kembali terjadi tatkala KTT ASEAN gagal mengadili Myanmar atas terjadinya serangkaian pelanggaran HAM. Padahal dalam KTT yang berlangsung di Singapura pada November lalu itu ASEAN melahirkan piagam yang merupakan komitmen penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.

Kini, di saat belum terwujudnya demokrasi di Myanmar, jeritan yang disusul perlawanan para biksu dan rakyat yang lebih dahsyat bakal terjadi. Sejarah mencatat, perlawanan yang digerakkan kelompok moral dan kaum agamawan merupakan kekuatan dahsyat untuk meruntuhkan kelaliman.

avatar Tidak diketahui

Penulis: NBN

Strategic Management; Strategic Communication; Enterpreneurship; Media and Social Media.

Tinggalkan komentar